Bismillah,
Hai Semua, Semoga suka!
***
Pernah dengar ungkapan bahasa Jawa yang berbunyi 'Witing tresno jalaran soko kulino?' (WTJSK) Dalam bahasa Indonesia bermakna Cinta tumbuh karena terbiasa. Sepasang insan manusia yang pada mulanya tidak saling menyimpan rasa, tidak saling suka, dan tidak saling cinta, jika terbiasa hidup bersama, terbiasa bertatap muka, terbiasa bersenda gurau, dan terbiasa melakukan banyak hal bersama, lama-lama rasa cinta dan suka akan tumbuh juga. Percaya nggak?
Percaya nggak percaya. Yakin nggak yakin. Kasus seperti demikian banyak dijumpai dalam kisah romansa manusia. Perlu bukti? Kisah Kismi dan Kapten Gibran ini contohnya, hihihi.
Ah, masak mereka saling cinta sih?
Kapan mengungkapkannya?
Ehm, jadi begini, Kapten Gibran dan Kismi memang tidak saling terbuka tentang perasaan. Tidak terang-terangan mengatakan aku cinta kamu, i love you, Uhibbu ilaika, aku tresno awakmu, saranghae, wo ai ni, aishiteru, Ich liebe dich, Ik hou van je, main tumase pyaar karata hoon ataupun ungkapan cinta dari berbagai bahasa yang lainnya . Tidak, kata-kata cinta sedemikian rupa memang tidak terucap, namun, bahasa tubuh dan perilaku mereka lebih fasih dari sekedar kata-kata.
"Astaghfirullah, Kismi! Baju yang kamu bawa nggak kebanyakan?" Kapten Gibran bertanya seraya menatap heran lipatan beberapa baju Kismi di dalam koper yang hendak mereka bawa.
Setelah ujian kelulusan Kismi berakhir tadi siang, mereka berdua langsung berinisiatif pergi pada waktu sorenya juga. Kismi dan Kapten Gibran sepakat untuk pergi ke sebuah pelosok desa di Yogyakarta, dekat dengan pesantren kilat yang diikuti Kismi tempo lalu.
"Nggak papa, Kapten! Dari pada kekurangan lebih baik kelebihan."
"Tapi kalau berlebihan juga nggak baik, Kis!" Kismi manyun, mulai sedikit kesal. Akhir-akhir ini dia memang merasa Kapten Gibran berubah menjadi lebih bawel dari biasanya. Apalagi selama ujian kelulusannya berlangsung, kebawelan Kapten Gibran sudah melebihi bundanya saja.
"Kenapa kamu tiba-tiba ingin pergi ke pelosok desa di Jogja? Bukannya kemaren-kemaren ingin pergi ke Labuan bajo ya?" tanya Kapten Gibran. Kismi menoleh sekilas, menghentikan sejenak kegiatan berkemasnya.
Kismi menghela napas panjang, "Lagi pengen mencari ketenangan disana. Suasana desanya cocok banget untuk dijadikan tempat healing. Biaya kesana nggak mahal juga hehe. Akhir tahun kemaren, Kismi nyantri kilat di pesantren dekat sana. Nyaman banget pokok!"
"Kamu tau alamatnya 'kan?"
"Ya tau dong! Desa Sumringah kecamatan Bungah Kabupaten Bejo, dusunnya kalau nggak salah sih krajan!" jawab Kismi, kemudian melanjutkan kegiatannya. Kali ini dia sedang mengemas baju bawaan Kapten Gibran yang tak sebanyak bawaanya.
"Desa Sumringah, Kecamatan Bungah, Kabupaten Bejo. Nama Pesantrennya Nurul Muttaqin bukan?" Kismi mengangguk heran "Kapten Gibran kok tau?"
"Ya Allah, dulu saya pernah mondok disana selama 3 tahun waktu Madrasah Tsanawiyah. Biasanya, setiap setahun sekali saya memang sowan kesana, Kis! Kebetulan sekali berarti."
"Pengasuhnya Kyai Mannan dan Ibu Nyai Shobibah 'kan?" tanya Kismi memastikan, takut salah.
"Iya."
"Di halaman pesantrennya ada pohon kelengkengnya 'kan?"
"Iya."
"Cat tembok gedung pesantrennya warna hijau 'kan?"
Kapten Gibran terdiam, "Tahun lalu masih abu-abu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah kasih Kismi (Sudah Terbit)
ChickLit"Ehem, Bismillah. Jadi begini Nak, sebenarnya yang dinikahi Gibran putra saya bukan Elsa, tapi kamu!" *** Kismi yang baru saja pulang dari kegiatan Pesantren Kilat di Yogyakarta harus dikagetkan dengan kenyataan bahwa hidupnya kini tak lagi sama se...