33 • OH SHUT UP!- Rujukan

131 10 1
                                    

Tania yang mendapatkan kabar dari sang ayah kalau Zidan tengah menjalani operasi mata semalam, langsung pergi menuju rumah sakit. Memang akhir-akhir ini keluarga Zidan seperti mencueki Tania. Itu Tania sudah sadar diri dari awal. Bahkan mami Yola tidak memberikan pesan lagi kepadanya hanya untuk sekedar; sudah makan? Tania dimana? Sekarang tidak sama sekali. Tania patut disalahkan dari sisi manapun.

"Ayo dong, Idan. Lambat banget bawa mobilnya." ucap Tania tidak sabaran.

Aidan mendengus lalu mengacak rambut Tania, "Hati-hati aja kak. Emang gak trauma apa? Aku aja yang gak ngalamin, trauma bgt pas liat kakak kecelakaan."

Tania menoleh lalu tersenyum kearah Aidan. "Aidan, makasih yah udah ngertiin kakak. Meskipun kita bukan satu rahim, ayah kita sama. Darah ayah kita mengalir di diri kita. Kakak sayang banget sama Aidan. Maaf kalau kakak sering ngerepotin Idan." ucap Tania dengan gemetar. Tentu, sosok Aidan, adiknya merupakan sosok terpenting setelah ayah dan Zidan. Aidan selalu ada untuknya meskipun diselingi dengan pertengakaran antara kakak dan adik.

"Iya, kak. Idan juga sayang sama kakak. Jadi kakak gak usah sedih-sedih lagi. Kakak gak sendiri. Keluarga gak mungkin ninggalin kakak sendirian."

Tania mengangguk. Apapun kedepannya nanti. Entah nanti bersama Zidan ataupun tidak, Tania akan tetap berdiri demi keluarganya. Tania harus lebih kuat dari sebelumnya. Dia bukan lagi umur tujuh belas tahun lagi.

Setelah tiga puluh menit di perjalanan, akhirnya Tania dan Aidan sampai dirumah sakit dimana Zidan berada. Tania segera melaju keruangan yang lima bulan ini dihuni oleh Zidan. Cukup lama ternyata.

Sampai disana, Tania diam sebentar. Mencoba menahan diri agar tidak bertingkah berlebihan. Apalagi nama Tania sudah tidak baik dimata keluarga Natariksa.

Dia membuka kenop pintu dengan perlahan. Senyumnya pun belum pudar. Ia sudah tidak sabar bertemu dengan kekasihnya itu meski hubungan mereka kurang baik.

Pintu terbuka. Namun senyum Tania menyurut. Dilihat ruangan itu dengan teliti. Ruang rawat Zidan sepi tidak berpenghuni. Kasur brangkar nya pun rapih. Tania tidak salah masuk ruangan kan?

"Kemana mereka?" tanya Aidan.

Tania tidak menjawab. Namun bibirnya bergetar hebat dan air mata mulai menetes. Jangan bilang, Zidan pergi lagi. Zidan lagi-lagi menjauh darinya.

"Dokter, pasien yang dirawat disini kemana ya?" tanya Aidan saat salah satu dokter melewati mereka.

"Oh, pasien tadi pagi sudah dirujuk ke rumah sakit yang lebih bagus."

"Dirujuk? Kemana?"

"Ah, saya kurang tahu. Soalnya saya gak ngerawat pasien. Kalian bisa nyari tahu ke dokter Wildan selaku dokter yang menangani pasien tersebut."

Aidan manggut-manggut nengerti dan berterimakasih kepada dokter tadi. Aidan langsung merengkuh Tania yang menangis dalam diam. Aidan membawa Tania menuju ruangan dokter Wildan.

Sampai disana, dokter Wildan ternyata sedang senggang dan tengah beristirahat. Awalnya Aidan dan Tania tidak enak mengganggu istirhat dokter Wildan. Tetapi lelaki berumur 27 tahun itu tersenyum dan menyuruh mereka masuk keruangannya.

"Dok, saya mau tahu, kemana dirujuknya pasien yang bernama Zidan Natariksa?" tanya Aidan karena Tania tidak bisa mengeluarkan satu katapun. Pikirannya sudah buntu.

"Oh Zidan? Dia dibawa ke america oleh keluarganya setelah operasi semalam itu. Tubuh Zidan mengalami down dan ayahnya langsung bergegar membawa Zidan ke amerika dimana alat bantu lebih bagus daripada di rumah sakit ini." ungkap dokter Wildan.

Tania menghela nafasnya pasrah. Kalau sudah begini ia harus bagaimana. Kalaupun pergi ke amerika pun belum tentu ayahnya tidak mengijinkan.

"Ayo pulang, Idan."

Idan mengangguk. "Yasudah, Dok. Saya permisi. Kakak saya tidak enak badan."

Dokter Wildan mengangguk dengan mata yang menyorot kearah Tania. Namun, suara dokter Wildan menghentikan langkah Aidan.

"Ini kartu nama saya. Tolong berikan ke kakak kamu."

Meski aneh, Aidan menerima kartu nama dokter Wildan. Lalu pergi menyusul Tania yang sudah terlebih dahulu pergi dari euangan itu.

"Kak, ini ada kartu nama dari dokter tadi."

Tania yang malas, hanya mengambil kartu itu dan memasukannya ke tas kecil tanpa melihat kartu itu dulu. Ia hanya ingin menenangkan diri. Sudah terlalu lelah dengan hubungan dirinya dan Zidan yang seolah semesta tidak merestui mereka.

-

Tania membuka pintu ruang kerja ayahnya, Karel. Disana sudah ada Karel tengah sibuk dengan laptopnya. Wajah Karel juga sangat muram dan hampir menangis.

Tania mengerutkan dahinya bingung. Siapa yang berani membuat ayahnya menangis malam ini? Tania segera mendekati Karel yang masih belum menyadari keberadaanya.

"Ayah? Kenapa nangis?"

Karel segera menghapus air matanya. Ia menatap Tania dengan bibir melengkung kebawah. Sifat manja Karel memang tidak tahu tempat. Harusnya sekarang Tania yang bersedih atas kepergian Zidan ke amerika.

"Itu, Kurama mati."

"Hah? Temen ayah meninggal?"

"Bukan. Itu temennya naruto dari Zigot."

"Hah?"

Karel merengek. "Kamu gak bakalan ngerti. Kamu gak pernah nonton Naruto kan?"

Tania menggeleng. Memang ia tidak pernah menonton kartun Naruto. Hanya saja ia tahu Naruto itu apa. Teman cowoknya disekolah ada yang selalu menonton Naruto. Ternyata ayahnha juga fans berat Naruto.

"Terus kenapa sampai sesedih itu? Itukan cuman kartun."

Karel mencebik dan membawa Tania kepelukannya. "walaupun kartun, perjalanan mereka panjang tahu. Dari ayah masih kecil. Masih di cebokin nenek kamu."

Tania terkekeh lalu membalas pelukan sang ayah. Biar seperti ini dulu. Tania hanya perlu pelukan dari keluarga terutama ayahnya. Karel pun mengerti dengan keadaan Tania saat ini mencoba menyemangati anaknya. Karel sekarang sudah menyerah. Ia ingin yang terbaik untuk Tania meski tidak harus dengan Zidan.

"AYAH!! KURAMA MATI! HUAAA!"

Tania terlonjak kaget karena pintu ruang kerja Karel terbuka dengan kencang di tambah suara menggelegar milik adiknya memekakan telinga.

"Peluk ayah nak, ayah juga sediiih!"

"Huaaaa!" Aidan berlari menuju Karel dan memeluk ayah dan kakaknya.

"Nanti buat 7 harian ya, yah buat Kurama." celetuk Aidan disela pelukan.

Tania semakin tidak mengerti kenapa harus berlebihan seperti itu. Tapi ia bahagia. Ia kembali merasakan betapa harmonisnya keluarga mereka.

"Loh, kenapa gak ajak bunda?"

Ketiga yang berpelukan itu terkekeh saat Sandra menyilangkan tangannya seolah marah. Tania dan Aidan merentangkan tangannya untuk sang bunda. Sedangkan Karel memeluk tubuh kedua anaknya. Sandra segera berjalan kedalam dan memeluk keluarga kecilnya.

***

Keluarga Karel emang random gaes, gak kayak Natariksa hahha. Mereka terlalu serius. Adara aja dulu heboh, sekarang melempem.

Btw, aku double nih wkwkw..

Tania Jolie(SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang