39• OH SHUT UP!- Trauma masa kecil

152 10 8
                                    

Zidan kecil begitu kelimpungan ditaman mencari bocah cilik yang tiba-tiba menghilang. Zidan begitu sibuk bermain dengan teman-temannya sampai tidak fokus menjaga Tania.

"Kau sudah menemukannya?" tanya teman Zidan. Zidan menggeleng, tubuhnya gemetar. Ia harus menemukan Tania dalam keadaan utuh atau Zidanpun harus ikut menghilang.

"Tania!"

"Dimana kamu! Tania ini gak lucu! Keluar Tania."

Teman-teman Zidan ikut mencari adik Zidan. Mereka tidak mengerti dengan bahasa Zidan saat itu karena menggunakan bahasa indonesia.

"Zidan! Zidan! Kemari!!"

Zidan berlari menuju salah satu temannya. Ternyata, dia menemukan boneka beruang warna putih milik Tania hadiah dari Zidan.

"Ini milik adikmu?" tanya temannya.

"Ya! Lalu Tania kemana?"

Hingga sore, Tania belum ditemukan. Teman-teman Zidan hanya bisa pasrah dan pulang kerumahnya masing-masing karena merekapun punya jadwal. Biasalah, anak luar negeri. Namun Zidan berbeda, ia terus mencari Tania. Bocah itu tidak mau meninggalkan Tania seorang diri meskipun sebenarnya Tania bukan disini.

"Tania. Ayo pulang. Tania, hiks. Maafin aku!"

Zidan terduduk ditanah dan menyenderkan tubuhnya kegorong-gorong yang belum dipergunakan untuk pembangunan. Zidan tidak bisa pulang tanpa Tania.

"Hiks."

Lelaki berusia 9 tahun itu menajamkan pendengarannya. Ia takut salah mendengar tangisan. Zidan berdiri kembali mencari Tania sekaligus mencari suara tangis itu.

"Kakak, hiks. Nia takut."

"TANIA KAMU DIMANA. KAKAK DISINI. KELUAR TANIA!"

"Kakak, hiks."

Suara itu jelas milik Tania namun sosoknya tidak terlihat. Zidan kecil begitu frustasi.

"Tania. Jangan takut. Ayo, ini kakak. Kamu keluar, ya. Bang Karel pasti nyari kita."

"Hiks, Kakak. Ini Nia. Nia takut, hiks."

Zidan memutari gorong-gorong namun masih tidak ada Tania disana. Zidan sangat ragu untuk melihat kedalam gorong-gorong itu karena pencahayaannya yang gelap. Lagian, Zidan masih bocah, ia juga mempunyai ketakutan.

"Kakak, hiks."

"Tania kamu didalam?"

"Iya, hiks. Gelap, kak. Tania takut."

Zidan dari luar memasukan tangannya menggapai Tania yang ada di dalam. Zidan takut untuk masuk kedalam.

"Tania. Jangan takut. Ini kakak. Kamu cari tangan kakak, ya."

Zidan terus menggapai angin sampai akhirnya tangan kecil itu tergapai. Zidan langsung menarik lengan Tania yang bergetar hebat.

"Astaga, Tania. Maafin kakak. Udah gagal lagi jagain kamu!" Zidan memeluk Tania erat.

"Nia takut, hiks."

Zidan segera membawa Tania pulang dengan menggendongnya. Terlihat rambut Tania acak-acakan, serta baju yang kotor dan compang camping. Entah Tania main apa sampai segitunya.

Sampai dirumah, satu keluarga kaget melihat Zidan menggendong Tania yang ketiduran.

"Yaampun, nak. Kalian kemana aja. Ini Tania kenapa?"

"Tania... Tania... "

Tara mengusap rambut anaknya. Zidan menunduk takut. Ia takut disalahkan karena membuat Tania seperti ini. Sedangkan Karel belum pulang dari kerjanya, sedangkan Sandra diindonesia bersama Aidan. Mereka tengah menjalin hubungan jarak jauh untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.

"Mas, apa sebaiknya kita bawa kerumah sakit?"

Tara mengangguk. Ia takut terjadi apa-apa terhadap anak berusia enam tahun. Mentalnya terlalu dini untuk memiliki trauma. Mereka akhirnya membawa Tania dan Zidan menuju rumah sakit terdekat.

"Dari yang saya teliti, Tania baru saja mengalami pemerkosaan. Terlihat dari pangkal pahanya yang membiru."

Zidan tahu apa maksud ucapan dokter. Bocah berusia sembilan tahun terpengkur sesaat. Tanianya mengalami pemerkosaan ketika dirinya ada ditempat yang sama? Otak Zidan langsung merespon hal negatif. Ia takut Tania kenapa-kenapa. Zidan menangis histeris dipelukan ayahnya.

"Astaga, mas. Bagaimana ini?" tanya Yola. Ia menitikkan air matanya, menatap miris kearah Tania yang masih tertidur pulas. Bagaimana anak semanis, selucu ini malah menjadi sasaran orang yang tidak bermanusiawi.

"Namun untungnya, tidak ada sobekan di kemaluan pasien. Sepertinya putri anda anak yang pintar."

Yola dan Tara nenghela nafasnya lega. Untuk tidak sampai ditahap lebih mengerikan. Mereka tidak bisa membayangkan bagaimana jadi Karel, selaku ayah Tania.

Tania membuka matanya perlahan seraya menetralkan cahaya. Tania menoleh ke kanan ke kiri dengan resah.

"Tania, sayang?" panggil Yola.

Tania beringsut menghidar saat Yola ingin menyentuhnya. Tania menangis ketakutan seraya memeluk badannya sendiri.

"Jangan pegang, Nia. Jangan!"

"Tania, ini Mami, sayang."

"Enggak! Jangan pegang-pegang Nia. Jangan, hiks."

Alis Tara menukik tajam melihat respon dari Tania yang tidak biasanya. "Dok, kenapa dengan anak saya?"

Dokter itu menyentuh tangan Tania dan langsung di tepis oleh Tania sendiri. "Sepertinya, pasien terkena gejala Haphephobia, yaitu gangguan kecemasan yang ditandai dengan rasa takut pada sentuhan."

Zidan semakin pusing mendengarnya. Setelah mendengar penuturan sang dokter, penyakit yang Tania miliki semakin menganggu sikis Zidan. Zidan selalu diliputi bersalah. Zidan semakin ingin melindungi Tania meski tidak pantas.

Tania masih ketakutan dibrangkar. Dimatanya, Yola dan Tara seperti orang asing. Tania tidak mengenalinya. Tania menangis histeris sampai suaranya hilang.

"Tania... Ini kakak."

Zidan turun dari gendongan Tara. Ia menghampiri Tania yang masih tidak sadar. Zidan memegang kaki Tania dengan pelan.

"Tania, ini Zidan."

Tangis Tania perlahan meluap. Tangan gadis itu mengusap pipinya yang berair. Ia menunduk mencari sosok Zidannya.

"Kak Zidan. Nia takut, hiks."

Yola dan Tara merasa sedih sekaligus haru. Sedih karena Tania seperti itu dan haru karena hanya Zidan yang Tania ingat.

"Enggak usah takut, Nia. Ada kakak disini, ya."

Tania mengangguk. Ia meraih tangan Zidan dan memegang tangan lelaki itu dengan erat. Matanya kembali menutup mungkin karena masih mengantuk atau dokter yang menyuntikkan obat penenang.

***

Jadi dimasing-masing mempunyai trauma. Dibalik trauma itu, mereka saling melengkapi dan mengerti. Begitcuh.

Tania Jolie(SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang