40•OH SHUT UP!- Kenyataannya

144 11 5
                                    

"Maaf Zidan. Kita gak bisa sama-sama. Kita sama-sama sakit. Kita bakal saling nyakitin. Maafin Nia, kakak." lirih Tania seraya melepaskan genggaman Zidan.

"Bangun, Zidan. Bangun! Mami mohon nak,"

Zidan refleks membuka mata dengan dada membusung keatas. Matanya membulat terkejut. Zidan menarik nafasnya kencang. Ia menoleh kekiri melihat siapa yang menangisinya. Ternyata, Yola, sang bunda. Tangan kanannya tertusuk infusan dan capitan monitor pendeteksi jantung. Dada Zidan juga dipenuhi dengan selang-selang yang menempel.

"Mami."

"Astaga, sayang. Kamu akhirnya bangun juga. Kamu bisa lihat Mami, nak?"

Zidan memicingkan matanya tidak mengerti maksud sang bunda. Bukannya dia sudah bisa melihat dari dulu. Namun sekarang yang terpenting diotaknya adalah Tania. Tanianya pergi.

"Mami, Tania."

"Tania?"

Tiba-tiba dokter masuk beserta susternya. Zidan memusatkan matanya kearah dokter yang tidak asing baginya. Ia mengingat bagaimana Tania memanggil dokter itu dengan sebutan, mas Wildan.

"Nama dokter, dokter Wildan?" tanya Zidan dengan ragu.

Dokter Wildan mengerutkan dahinya seraya tersenyum. Ia memeriksa Zidab dengan khidmat. "Iya, kamu tahu saya?"

"Dokter punya istri?" tanya Zidan lagi padahal suaranya saja masih belum jelas.

"Iya,"

Hati Zidan semakin remuk ketika dokter itu menhawabnya dengan santai. "sedang hamil?"

Lagi-lagi dokter Wildan mengangguk. Zidan menghela nafasnya panjang berusaha untuk tidak berharap bahwa semuanya nyata.

"Mami, Tania punya aku. Mami tahu kan? Papii... "

Yola semakin tidak mengerti dengan tingkah anaknya yang baru sadar dari koma. "Bukannya kamu gak mau ketemu lagi sama Tania?"

Zidan menggeleng kencang. Ia tidak bisa menjauhi Tania. Separuh hatinya berada di Tania. Tiba-tiba Zidan menangis begitu pilu sampai yang ada diruangan itu ikut merasa sedih.

"Kamu kenapa sayang? Ada yang sakit, nak?" tanya Yola seraya mengusap rambut Zidan. Zidan bingung dengan tubuhnya yang terasa kaku. Namun dari pada itu, pikirannya tertuju pada si bayi merahnya.

"Mami, aku mau Tania, hiks. Tania punya aku bukan punya siapa-siapa."

Yola menoleh kearah suamianya. Yola menyuruh Tara untuk menelpon Karel karena mungkin dengan kehadiran Tania, Zidan akan sedikit tenang.

"Tenang, ya Zidan. Tania akan kesini." ucap dokter Wildan diselingi senyuman. Persis dengan yang ada di otaknya. Wildan adalah lelaki yang menebarkan senyumannya.

"Dok, dokter tahu kan kalau Tania punya aku."

Doker Wildan mengangguk mencoba mengerti dengan kondisi pasiennya yang baru siuman itu. "Jadi jangan ambil Tania. Tania punya aku."

"Iya, Tania punya kamu, Zidan."

"Tapi Tania hamil anak dokter!" Zidan menjerit.

Tara yang memantau anaknya disofa langsung berdiri dan menghampiri sang putra. "Kamu kenapa sih. Bangun-bangun ngomongin gak jelas. Harusnya kamu senang bisa liat dan siuman lagi."

Tangis Zidan terhenti mendengar penuturan Tara. "Aku udah lama sembuh, Pih."

"Yaampun, nak." Yola yang memang selalu khawatir berlebihan merasa anaknya memiliki keanehan. Ia menangis takut anaknya kenapa-napa.

"Aku kemarin ada ditaman, Pih. Tapi kenapa aku sekarang disini?"

"Sehubung kamu baru siuman, lebih baik simpan pertanyaan yang bikin kamu tambah sakit." dengkus Tara.

Dokter Wildan hanya tersenyun samar. Ia memberikan suntik kearah selang infusan untuk menambah cairan. Setelah itu dokter Wildan menyuruh Zidan untuk istirahat dan mereka berpamit keluar ruangan.

Bukannya istirahat, Zidan gelisah menunggu kedatangan Tanianya. Zidan tengah mencari kata agar Tania kembali bersamanya. Zidan tidak bisa jauh dari Tania. Apapun kedepannya Zidan akan selalu mengejar Tania. Zidan juga tidak apa-apa jika harus merawat bayi Tania dan dokter Wildan.

-

Tania mengusap rambut Zidan dengan penuh kehati-hatian. Zidan tertidur karena obat yang beberapa menit lalu ia minum sebelum kedatangan Tania. Setelah apa yang terjadi, Papi Tara menghubungi Tania agar kembali kerumah sakit. Tania takut Zidan kenapa-napa. Namun sampai disana, kekhawatiran Tania meluap digantikan rasa lega karena melihat Zidan sudah mulai membaik.

"Tania... " lirihan Zidan membuyaran lamunan Tania. Zidan mengigaukannya?

"Zidan, ini Nia."

"Nia... "

"Iya, ini aku. Bangun Zidan. Aku rindu kamu."

Zidan menggeleng. Air matanya menetes dan jatuh kebantal. Ia tidak mau membuka matanya. "Aku takut kamu pergi. Aku takut kamu sama orang lain, Tania. Aku takut. Jangan tinggalin aku."

"Zidan. Tania punya Zidan."

Zidan mulai membuka matanya. Dan pertama yang ia lihat adalah paras cantik Tania. Tania semakin cantik dari hari ke hari.

"Kamu gak bakal ninggalin aku?"

Tania mengusap pipi Zidan yang berair. "Zidan milik Tania."

Zidan membawa tangan nya menuju perut Tania. Ia bersedih dikala mengingat bahwa Tania mengandung anak orang lain bukan dari dirinya.

"Tania. Berapa usianya?" tanya Zidan seraya mengusap perut Tania yang terhalang baju.

"Apa?" kaget Tania.

"Tania, dari tadi Zidan bersikap aneh." tungkas Yola. Ia juga bingung menyikap Zidan yang sangat aneh.

"Usia siapa, Zidan?"

"Kandungan kamu."

Tania tergagap. Ia menoleh kearah orang-orang yang tengah berkumpul melihat Zidan dan Tania. Tania membawa tangan Zidan menjauh dari perutnya. Ia mengecup tangan itu lalu tersenyum.

"Kamu kenapa, Zidan?" tanya Tania dengan lembut.

"Aku, aku mimpi kamu nikah, kamu ninggalin aku, kamu hamil anak orang lain. Kamu pergi. Kamu ketakutan. Bener kan? Itu gak kayak mimpi, Tania."

Tania menitikkan air matanya. Ternyata ketika Zidan komapun, Tania selalu ada dimimpinya. Tania terharu dengan itu semua.

"Itu semuanya mimpi, Zidan."

"Kamu punya dokter Wildan, kan?"

Tania menggeleng. Ia tidak tahu siapa dokter Wildan itu. Bagaimana ia bisa berpaling dari Zidan kalau Zidan pun patut untuk dipertahankan.

"Nia milik Zidan."

Zidan tersenyum lega. Ia menoleh kearah keluarganya yang turut tersenyum haru. Dan setelah dijelaskan, semua itu adalah bunga tidurnya. Tahun masih sama hanya berbeda bulan saja. Setelah operasi mata, tubuh Zidan mengalami penurunan hingga tubuhnya kejang kembali dan down. Sampai disana Zidan dinyatakan koma.

Zidan menggeleng tidak mengerti kenapa ia harus memimpikan hal yang mengerikan seperti itu. Ia juga harus meminta maaf kepada dokter Wildan. Lagian, pertanyaan Zidan dibenarkan oleh dokter Wildan hingga membuat Zidan semakin percaya-percaya saja dengan mimpi yang terasa nyata itu.

-

Gue pen banget ini kisah sad ending. Cuman, hidup gue udah terlalu sad. Karya gue gak boleh sad pokoknya. Gak tau sih kalo yang lain, mehehe:')

Tania Jolie(SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang