Sari pov
****
Setelah berita kehamilanku kemarin keluarga diaz sangat antusias bahkan mereka mengadakan syukuran bersama. Dan tentunya aku juga senang karena yang dinanti mama akhirnya terwujud. Diaz bahkan selalu menanyakan aku mau apa setiap menit nya. Aku sebenarnya gak risih, hanya saja aku merasa kalau aku lagi gak butuh apa-apa.
"Ini buat apa az?" Aku menghampiri diaz yang baru saja keluar rumah dateng-dateng bawa kardus gede banget.
"Kursi pijat." Diaz menyuruh beberapa orang yang aku rasa itu karyawan kantornya. "Makasih gais, nih buat kalian. Hati hati ke kantornya." Diaz memberikan uang cash kepada karyawannya.
"Az... buat apa ih, hambur-hamburin uang." Aku capek melihat nya mondar mandir benerin posisi kursi pijat supaya gak makan tempat di ruang tv kami.
"Sayang coba deh sinih, ini udah aku colokin kabelnya." Diaz menuntun aku pelan dan menyuruhku duduk di kursi pijat.
Aku menyenderkan badan, memandangi diaz. "Enak kan?" Aku ngangguk.
Tok tok
Aku beranjak berdiri dari kursi tapi diaz menahanku, membiarkan dia yang membuka pintu. "Oh ibu dari yayasan braharja?"
Aku mengintip karena penasaran, diaz membawa masuk ibu-ibu yang umurnya lebih tua dari aku. Tentunya aku bingung dong, mana beliau bawa tas besar.
"Ibu mau apa?"
Diaz menyuruh ibu tadi duduk, "Ibu ini ntar yang bantuin kita beresin rumah sar. Mungkin ngepel dan nyapu, kalau nyuci aku laundry aja karena cucian kita dikit, nah yang setrika ibu nya. Oh ya, kalau kamu lagi gak mood masak, biar ibu nya aja yang kerjain."
Aku senyum canggung, "Ibu dari mana?"
"Oh saya dari kampung neng, sengaja dateng ke kota nyari kerjaan buat keluarga."
Diaz menuntun ibu tadi ke kamar di belakang, "Ibu disini kamar nya, untuk selama 8 bulan kedepannya ibu nemenin dan bantuin kita. Tapi kalau sekiranya saya dan istri saya belum bisa ngandelin semuanya kayak semula, ibu saya perpanjang kerjanya."
Ibu tadi ngangguk, beliau masuk ke kamarnya sementara aku liatin dari sofa. Diaz menghampiri aku, "kamu ada mau sesuatu?"
Aku menggeleng, "Ngga az, mau tiduran aja di kamar."
Diaz bantu aku bangun dari duduk, "Aku masih bisa bangun sendiri kok." Diaz cuma senyum.
Aku menidurkan badanku di kamar, diaz ikut duduk di tepi ranjang. "Az, kamu berlebihan gak sih?"
"Loh? Kenapa?"
"Aku masih dua bulan hamilnya, tapi persiapan kamu hampir kayak udah tujuh bulan."
Diaz tertawa pelan, "malah yang hamil muda gini rentan sayang. Aku cuma bisa kasih semaksimal aku aja, kamu gak suka ya aku kayak gini?"
Aku menggeleng, "nggak... aku cuma pengen kamu kayak biasa lagi, iya aku setuju kamu lebih prepare tapi.. jangan lupain aku juga."
"Lupain?"
"Kebiasaan kita." Aku nunduk, mungkin terdengar aneh tapi rasanya kalau ada kebiasaan diaz yang ilang beneran bikin aku gak mood seharian.
Diaz naik ke ranjang ia menarik tangan aku pelan dan memelukku. "Kayak gini? Bukannya tadi pagi aku juga ngelakuin hal yang sama?"
Aku menggeleng, "Kamu gak cium aku kayak biasanya, nggak pangku aku atau... ngajak aku ke luar kamar. Tadi pagi kamu cuma meluk aku dari samping, keluar kamar ninggalin aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
After Married
Teen FictionStory on going and (21+) apa jadinya jika seseorang yang sangat sibuk di satukan dalam suatu ikatan pernikahan? Diaz dan Sari pasangan kekasih itu merupakan seorang yang cukup dikenal di kalangan pengusaha. Diaz merupakan seorang arsitektur, sementa...