7. The Swear

5.5K 890 187
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Marsha berusaha untuk tetap tersenyum, meski hatinya dongkol. Ia sendirian kali ini, setelah berpisah dengan Joseph sekitar satu jam lalu. Leader-nya itu harus meeting dengan procurement dari perusahaan lain. Sementara di sini, Marsha harus menjelaskan ulang pada perwakilan dari PT. Megap Tak Bersayap, perkara warisan peninggalan yang belum juga lunas ke SV Commerce.

Apes bin kampret, ternyata orang pengadaan yang dulu berurusan dengan Nia, juga sudah resign. Miskomunikasi itu yang menyebabkan kerja sama mereka tersendat. Email yang selalu terpental, dan telepon yang tak pernah digubris. Orang itu tidak mau repot-repot sekadar bilang pada mantan relasi perusahaannya, bahwa dia sudah tidak bekerja lagi di PT. Megap Tak Bersayap. Bagus benar attitude-nya! Jempolan! Bikin anak orang ikut morat-marit!

Catatan mental untuk Marsha, dia tidak boleh bertingkah sekampret ini, seandainya suatu saat dia harus resign. Semuanya harus diselesaikan secara profesional, setidaknya ia pergi dengan tenang. Bukan orang meninggal saja yang harus tenang, orang resign juga harus tenang. Jangan sampai meninggalkan res-resan jasjus buat orang-orang sekitar.

Gadis itu pun tanpa ragu bertukar kontak dengan representatif baru dari PT. Megap Tak Bersayap. Bapak-bapak usia tiga puluhan itu sempat memohon maaf soal ketidaklancaran relasi mereka, dan berharap SV Commerce masih mau membantu pengadaan-pengadaan mereka ke depannya.

"Oh, iya ... ngomong-ngomong, Mbak Marsha nih, baru apa gimana di SV Commerce?" tanya bapak itu.

"Nggak juga sih, Pak ... udah mau setahunanlah," jawab Marsha sambil menyesap kopinya.

"Oh gitu ... kalau boleh tahu, usianya berapa nih, Mbak?"

Marsha sekilas terkesiap karena pertanyaan yang tidak relevan dengan kerja sama mereka. Gadis itu memasang senyum profesionalnya. "Kelihatannya berapa, Pak?"

Bapak bernama Gunawan itu terkekeh sambil meneliti Marsha dari atas ke bawah. "Waduh ... kayaknya sih, tujuh belas ya?" ujarnya dengan nada jahil.

Marsha ikut tertawa, kendati dibuat-buat. "Wah, Bapak bisa aja! Makasih ya, Pak! Nggak sia-sia skincare saya kalo gitu," balasnya.

"Hahaha! Lucu banget Mbak Marsha nih, jadi gemes saya!"

Marsha mengangkat alis karena komentar yang semakin jauh dari plot utama meeting mereka. Sehalus mungkin Marsha menggeser posisi duduknya, dan menyilangkan kakinya ke arah lain. "Ehm, jadi kalo gitu, untuk urusan pembayaran bisa dibantu ya, Pak, agar diutamakan? Karena perusahaan Bapak bisa-bisa di-blacklist kalau kejadian sulit dihubungi terulang lagi," tegas Marsha, masih berusaha mengumbar senyum terbaiknya.

"Oh tentu, tentu! Nanti saya langsung yang awasi tagihannya ke pihak finance, supaya nggak ada kejadian keselip lagi. Jadi mohon kerja samanya ya, Mbak Marsha, PT kami jangan di-blacklist dulu. Akhir tahun biasanya ada penghabisan budget, dan tutup buku, bakalan banyak belanja kita peralatan kantor baru!"

Ideal CutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang