Yudis berjalan santai ke arah ruang meeting, sudut matanya menangkap sosok Clarissa yang tengah sibuk dengan ponselnya, selagi melangkah dari arah berlawanan. Ujungnya mereka pasti ke ruangan yang sama. Pria itu membuka pintu lebar-lebar, tapi Clarissa justru melewati ruang meeting, dan berjalan masih dengan keadaan menunduk. Yudis menunggu sampai gadis berambut panjang itu sadar kalau ia sudah jalan kejauhan, atau menabrak meja mungkin? Nampaknya tidak ada yang bisa menghentikan Clarissa dengan layar ponselnya. Yudis melipat kedua tangan dan bersandar di tembok samping pintu, menonton Clarissa yang tiba-tiba berhenti melangkah, tengok kiri kanan, baru putar balik. Mungkin Clarissa akhirnya sadar ia salah jurusan.
Dengan langkah dua kali lebih cepat seolah dikejar hantu, gadis itu tiba juga di depan Yudis, sambil tersenyum masam. Padahal Yudis tersenyum semanis cinnamon roll-nya Starbucks. "Makanya kalau jalan lihat-lihat, untung nggak sampe Bintaro tuh, jalan cepet bener. Udah gue bukain pintu juga," canda Yudis.
Clarissa hanya memberinya lirikan antagonis, dan memilih untuk buru-buru masuk. "Gue bisa buka pintu sendiri," balasnya.
Yudis angkat bahu, dan menuju ke belakang ruangan, karena kursi belakang rupanya masih banyak yang kosong. Ibarat kelas di sekolah, yang depan itu khusus anak-anak rajin. Clarissa duduk depan tentunya, karena ya dia di situ biasanya untuk debat dengan Sammy kalau lagi kambuh jiwa advokat rakyat jelatanya. Kadang Yudis pikir, Clarissa cocokan jadi pengacara, terus kalau bisa banyak-banyak deh pegang kasus Pro Bono*.
Tak lama Yudis duduk, Joseph masuk ke ruangan dengan tampang lelah, seolah baru maraton bolak balik Rawa Buntu— Alam Sutera.
Joseph memilih duduk di barisan pinggir tembok, hawa-hawanya mau numpang tidur begitu proyektor dinyalakan nanti. Yudis pun memandangi kaca besar yang dijadikan papan tulis, bonus belakang kepala Clarissa yang sedikit menghalangi. Gadis itu tengah ngobrol dengan Mario, dan leader-leader merchandising. Si Mario itu juga kurang tahu diri, sudah tahu badannya tiang, malah duduk di depan.
Yudis mengembuskan napas panjang sambil mengecek email yang masuk di ponselnya. Ia mengulir layar ponselnya, dan mendapati begitu banyak RFQ*, yang harus segera ia respon. Toh, atasan mereka belum tiba, jadi Yudis memanfaatkan waktu untuk melempar beberapa permintaan harga barang dari customer ke tim merchandising.
"Selamat siang, guys!" Suara lantang Sammy pun menarik perhatian Yudis yang masih mengetik cepat di ponselnya. Bos divisi sales itu tahu-tahu sudah eksis di depan ruangan. Yudis mengirimkan email terakhirnya, sebelum menyalakan fitur voice recorder di ponselnya. Itu inisiatifnya sendiri, agar kalau suatu waktu ia mau review kebijakan-kebijakan yang dilontarkan Sammy atau bos besar mereka, dia masih ada bukti. Notulen memang selalu ada, tapi kadang detil-detil macam itu terlewat, dan berada di dunia startup yang serba dinamis, orang-orang seringkali malah 'lupa' sama janji atau keputusan di hari tertentu. Ya maklum, sekarang ini orang makin mudah amnesia dadakan, jadi ada baiknya diantisipasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ideal Cut
أدب نسائي| Chicklit - Humor | Part of Chaotic Company Series | All the things happening here is part of madness. Marsha, si Account Manager junior yang baru dipindahkan ke tim Joseph, kesulitan untuk berbaur dengan tim barunya. Tim Joseph berisi empat lelaki...