Joseph menghentikan langkah saat tiba di ruangannya, lalu tumitnya berbalik untuk menghadap Marsha yang mengekor di belakangnya. Sorot matanya yang biasa teduh itu terasa dingin ketika memandang Marsha. Helaan napas Joseph kentara saat ia melemparkan ponsel berlogo apelnya ke atas meja kerjanya. "Oke, gue kasih lo kesempatan ngomong dulu dari sisi lo, Marsha."
Marsha menunduk, lalu menceritakan apa yang ia utarakan pada Leni tadi, mengenai ancaman customer dan juga soal kinerja tim merchandising yang ia rasakan kurang mensupport tuntutan tim sales. Joseph tidak menyela sama sekali, ia hanya bersedekap sembari meneliti puncak kepala Marsha, karena gadis itu tetap tidak memandang ke arahnya sekali pun. Ketika Marsha menuntaskan kisahnya, Joseph lagi-lagi menghela napas panjang. "Lo udah cek memangnya history dari SO nya?"
Marsha menggeleng. "Gimana mau cek, Mas? Saya nggak ada akses untuk cek Beta System." Beta System, aplikasi yang didesain perusahaan mereka untuk tim merchandising memproses setiap orderan yang masuk.
Joseph pun mengangkat dagunya. "Ya berarti sama aja lo nggak ada hak untuk bilang dia telat proses dong, tuduhan lo nggak ada dasar."
Akhirnya Marsha mendongak, dan sorot matanya menantang. "Sebenernya kasus-kasus kayak gini nggak perlu kejadian sering-sering, Mas. Andaikan kita punya satu program yang integrate semua aplikasi. Alpha, Beta, Omega harusnya bisa diakses dalam satu kesatuan, supaya tiap tim bisa saling ngingetin dan update setiap order udah sampai mana. History-nya bisa diakses semua orang, jadi nyata yang miss tuh di mana."
Joseph tersenyum sekilas. "Oke, makasih sarannya. FYI, hal ini udah jadi pertimbangan direksi sejak lama, dan realisasinya masih dalam progress. Membuat satu program baru itu nggak semudah bikin akun email, Marsha. Gue paham maksud lo apa, gue juga paham kekesalan lo. But it's a startup company, everything we have is created from scratch. And we're on our way to be better, okay?"
Marsha mengatupkan bibirnya lagi, seolah berusaha menelan pendapat yang sudah di ujung lidah. Joseph menangkap mikro ekspresi itu, dan menegakkan bahunya. "Anything else? Gue minta lo omongin aja semuanya, gue tahu lo punya banyak pendapat dan usulan. Gue suka kok dengar pendapat orang lain, asal di depan gue, bukan di belakang gue."
Gadis di hadapannya sontak memicing karena kalimat terakhir Joseph yang sepertinya bermakna ganda. "Maksudnya gimana, Mas?"
"Nggak gimana-gimana, gue cuma tanya ada masalah lain lagi, nggak? Gue jujur agak bingung soalnya sama lo. Gue tanya baik-baik, lo bilang nggak ada apa-apa. Giliran ada masalah, main hakim sendiri, nggak terbuka duluan juga sama gue. I get it, lo masih lebih nyaman cerita sama Clarissa, dan itu hak lo. Tapi gue ingatkan, kalau menyangkut pekerjaan, ada baiknya lo sampaikan langsung ke gue, misalnya lo kurang suka gue begini, begitu, kita saling kasih masukan aja. Kerja dibikin gampang aja, Marsha, dasarnya ya komunikasi."
Marsha sedikit ternganga, tapi buru-buru menguasai ekspresinya. "Ya gini, Mas. Saya udah berusaha bilang kemarin yang soal Pak Gunawan, PT. Megap Tak Bersayap, apa tanggapan Mas? Mas tetap belain dia, kan? Intinya saya kan yang salah, saya yang terlalu sensitif, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ideal Cut
ChickLit| Chicklit - Humor | Part of Chaotic Company Series | All the things happening here is part of madness. Marsha, si Account Manager junior yang baru dipindahkan ke tim Joseph, kesulitan untuk berbaur dengan tim barunya. Tim Joseph berisi empat lelaki...