25. The Rain

3.9K 725 120
                                    

Marsha masih mengerjakan kelengkapan untuk tender barunya dengan PT

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Marsha masih mengerjakan kelengkapan untuk tender barunya dengan PT. Sedih Tanpa Kasih. Baru mendapatkan review dari legal tadi sore, mau tak mau gadis itu harus bertahan lebih lama untuk merapikan lagi surat perjanjian, dan persyaratan legalitas yang lain. Ini proyek yang cukup menjanjikan, ada tiga perusahaan lain yang akan ikut, tapi Marsha yakin, harga penawaran dari SV Commerce yang paling kompetitif dibanding pesaingnya. Kesempatan menangnya mungkin 75% kali ini.

Gadis itu berjengit di kursinya, ketika mendengar suara geledek menyambar di angkasa. Hujan. Sudah lah, langit menangis. Di ruangan pun tinggal dia sendiri, karena teman-temannya sudah pulang sebelum jam lima tadi. Marsha merenggangkan otot lehernya yang terasa kaku karena terlalu lama menatap layar laptop. Netranya melayang ke jendela kantor, dan mendapati empasan air yang bertubi-tubi, sepertinya tangisan langit tak akan reda dalam sepuluh menit. Jadi, gadis itu memutuskan untuk membuat secangkir kopi instan di pantry. Ia memutar kursinya, lantas bangkit. Langkahnya tenang menyeberangi ruangan. Namun langkahnya terseret mundur lagi karena mendapati Joseph membuka pintu ruangan dengan terburu-buru.

"Marsha?"

Marsha terbeliak, kaget karena kemunculan Joseph, yang dia kira sudah pulang. "M– Mas Jos? Kok belum pulang?"

Joseph juga menghentikan langkahnya, menggaruk bahunya sebelum menjawab, "Hujan soalnya."

Marsha memiringkan kepalanya, karena setahunya Joseph mengendarai mobil, jadi kenapa takut hujan? Atau barangkali dia parkir di luar, dan bukan di rubanah, jadi pasti basah duluan sebelum sampai ke pintu mobil.

"Gue, parkir di luar, makanya males nyeberangin hujan, hee," jawab Joseph, seolah menyadari ekspresi bingung Marsha. Gadis itu tampak mengangguk singkat.

Joseph menuju tempat duduknya lagi, dan Marsha pun bergerak-gerak canggung, " Uuh, Mas Joseph mau kopi?" tawarnya dengan nada ragu.

"Kalo mau, emangnya lo mau bikinin?" canda Joseph.

"Mau aja, sekalian saya mau bikin juga soalnya biar nggak ngantuk."

Jawaban apa adanya itu membuat Joseph berhenti menyengir. "Oh, mau sih, tapi yaudah kita bareng aja ke pantry!" Ia mengantongi ponselnya lagi, dan beranjak dari kursi.

Marsha sempat menyakinkan Joseph untuk tunggu saja, karena membuat kopi tidak sesusah membangun gedung bertingkat. Gadis itu jelas mampu untuk membuat dua gelas kopi instan. Namun Joseph bersikeras untuk tetap mengikutinya ke pantry.

Beginilah, keduanya berjalan bersisian ke arah pantry— yang sebetulnya tidak jauh-jauh amat— tapi rasanya seperti perjalanan ke negara tetangga.

"Kok lo belum pulang, Sha? Ada yang masih pending ya?" tanya Joseph sambil menyeberangi lorong. Kantor memang lumayan sepi, tersisa makhluk-makhluk korban lembur, ataupun manusia alergi air hujan, yang tidak mau basah-basahan di perjalanan. Sebagian besar lampu ruangan sudah mati karena sensor gerak yang tak mendeteksi pergerakan makhluk hidup di sekitarnya.

Ideal CutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang