33. The Shot

4.8K 645 124
                                    


"Ha-halo?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ha-halo?"

Pandangan Mario terangkat sedikit. Ia diam untuk sesaat, orang-orang di kiri kanan pun tak terdengar embusan napasnya. Alvin membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tapi menutupnya lagi buru-buru, saat Mario berdeham kecil.

"Ca, gue ... boleh berhenti nggak, jadi temen lo?"

Marsha menatap Mario lurus-lurus. Bibirnya agak terbuka, mencoba mencerna kalimat yang barusan mengalun dari ponselnya, sekaligus udara di ruangan. Pertanyaan yang mungkin sudah pernah berkelebat di pikiran keduanya, tapi tak pernah menyangka akan ada yang mengatakannya. Dengan cara seperti ini.

Semuanya menanti balasan Marsha, dan mendadak hanyut dalam suasana. Bahkan Alvin tak repot-repot lagi mengajak mereka untuk putar botol, meski tantangan yang dilakukan Mario sudah lebih dari cukup. Namun sesungguhnya penyelesaiannya belum ada. Putaran ini, rupanya game masih berlanjut.

Clarissa memandangi sisi wajah Marsha yang tegang. Gadis berambut panjang itu menahan senyuman, karena harapannya selama ini ternyata berbuah hasil. Sepasang sahabat itu mungkin bisa saja mengakhiri hubungan mereka dengan status yang baru. Atau, hancur berkeping-keping tanpa kesempatan kedua. Pilihan-pilihan itu berisiko. Namun bukankah hidup harus selalu mengambil risiko, atau tak ada hasil sama sekali? Gagal bukanlah opsi menyenangkan, tapi tidak dapat apa-apa juga bukan jawaban.

Clarissa akan mendukung apa pun keputusan Marsha. Karena ia sudah paham apa maksud omongan Mario barusan. Ia yakin, Marsha pun jauh lebih paham inti pertanyaan tersebut.

Suasana senyap di antara ketujuh muda-mudi itu menyesakkan. Joseph yang pertama mengalihkan pandang, ketika Marsha tak kunjung menjawab.

Koneksi sambungan diputus tanpa kata oleh Marsha. Gadis itu bangkit dari karpet, dengan satu langkah panjang, ia meraih lengan Mario. Ketika Mario kembali berpijak dengan kedua kakinya, Marsha menyeretnya ke lantai dua. Masih tanpa kata-kata sekadar untuk berpamitan pada rekan-rekan sepermainan mereka.

Alvin gelagapan karena lapaknya ditinggal begitu saja oleh dua peserta, ia menoleh cepat ke kiri kanan. Sayangnya Clarissa mulai pamit, dan melangkah ke arah pintu. Beberapa menit kemudian Yudis menyusul ke tempat yang sama.

Alvin menatap penuh harap pada Joseph yang masih duduk bersila dengan tatapan kosong. "Mas Jos, anu—"

"Gue tidur duluan ya, Vin. Ngantuk banget nih ternyata! Thanks buat games-nya, ya!" Joseph tersenyum sambil menepuk pundak Alvin. Benar saja ia berlalu ke arah kamar-kamar berjejer.

Tersisalah Dodo dan kerincingan. Dodo menggosok belakang lehernya, sambil menguap lebar. "Koh, rahasia gue, aman kan?" bisiknya kemudian.

Alvin mengangguk tanpa nafsu. Karena game seru buatannya musnah begitu saja, saat Dodo juga beralih dari sana, gabung dengan geng karaoke di lantai dua. Alvin pun merebahkan punggungnya di karpet, menatap langit-langit dengan tatapan nelangsa.

Ideal CutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang