32. The Dare

3.9K 703 129
                                    


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Balok-balok Jenga berjatuhan diiringi jeritan kesal. Teriakan "Uno!" ada di pojok lain ruangan. Malam itu sebagian besar mengorbankan waktu tidur untuk bercengkrama. Main, gibah, bahkan minum minuman tidak ringan pun dihajar tanpa malu-malu. Toh semua sudah cukup umur, dan rata-rata memang doyan. Dinding-dinding ruangan dipenuhi gerombolan berbeda. Suara musik juga menghentak di lantai dua, karena ada yang karaoke.

Beberapa botol bir dengan kadar alkohol rendah terselip di antara lingkaran kecil yang tengah menghabiskan waktu bersama. Lingkaran itu berkomposisi ajaib, karena pada hari-hari biasa, mereka mungkin jarang terlihat nongkrong bersama. Kenal, jelas, tapi tidak dalam tahap intim. Barangkali malam itu bisa jadi puncak keakraban, atau permusuhan?

Alvin mengeluarkan desah puas yang dibuat-buat ketika berhasil menghabiskan botol bir miliknya. "Aaahhh! Mantap!"

Marsha memicing, ekspresinya campuran geli dan jijik karena rasa birnya saja tidak enak-enak amat, tapi Alvin seolah baru minum bir ternikmat sejagat. Alvin jelas belum mabuk, bir ini tidak akan membuat mabuk kepayang, kecuali toleransi peminumnya terlalu jongkok. Namun ide Alvin berikutnya—usai ngobrol-ngobrol tak keruan mereka soal klien-klien menyebalkan yang banyak minta tapi belinya sedikit— adalah menyebalkan.

"Guys, botol gue udah kosong, mendingan kita main game!" serunya dengan mata agak merem.

Dodo yang tidak minum bir—hanya minum coke zero sampai kembung— justru memandangi botol di tangan Alvin. "Main masukin paku ke botol?"

"Anjir, tujuh belasan kali??" sembur Alvin, nyengir-nyengir. "Main itulah, yang kayak di pelem-pelem!"

"Apa tuh?" balas Clarissa, sambil meneguk botolnya sendiri. Tidak peduli orang di seberangnya curi-curi pandang sejak tadi. Toh Clarissa tidak beranjak pergi dari situ saja harusnya sudah bersyukur.

Alvin meletakkan botol kosongnya di tengah-tengah mereka, yang duduknya tidak terlalu simetris, justru lebih mirip jajaran genjang dibanding bulat. Maklum, beberapa oknum memang tidak terlalu nyaman duduk bersisian, tapi terlalu sayang untuk pergi. Dengan presisi yang cukup oke untuk ukuran orang agak teler, Alvin merapikan botolnya dengan posisi horizontal, badan botolnya yang dijadikan landasan. Usai mengatur sepenuh hati, pemuda oriental itu manggut-manggut.

"Siapa mau main?" serunya lagi, sambil meneliti orang-orang yang sejak tadi diam saja, entah mabuk atau ngantuk. Joseph, Yudis, Mario, yang duduknya jauh-jauhan, tapi masih di jarak pandang Alvin.

"Sini, sini!" Alvin melambaikan tangan kecil-kecil, seperti mengajak main bocah yang butuh dibujuk.

Marsha mendekati botol dan duduk di poros yang dibuat Alvin. Clarissa pun duduk di sebelah Marsha. Bagai semut, ketiga pemuda sok diam itu akhirnya bergerak, memenuhi ajakan Alvin main. Dodo sudah duduk di sisi lain Marsha, kali ini dia bawa tamborin. Seharusnya itu barang ada di lantai dua sebagai bahan pelengkap karaoke, tapi ajaibnya justru ada di tangan Dodo sekarang.

Ideal CutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang