Hari minggu kali ini terasa berbeda dengan yang lalu-lalu. Biasanya pesan bombardir dari bunda sudah kuterima sejak pagi, tetapi kali ini beliau hanya menyapa lewat pesan singkat, mengatakan jika hari ini tak bisa berkumpul bersama.
Aku tak masalah sama sekali. Toh, keadaan Aulion juga sedang tidak sehat. Kami juga harus berangkat ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi pria itu.
Seperti halnya Rafa, keluarga inti Aulion juga turut diundang ke acara pertunangan Jihan. Meski mereka sudah tahu bagaimana hubungan Aulion dan Jihan berakhir, mereka tetap harus datang karena pada dasarnya orangtua Aulion berteman dekat dengan orangtua Jihan.
Kadang kala kenyataan itu yang membuatku merasa tidak percaya diri. Kendati keluarga Aulion benar-benar menerimaku apa adanya, aku tetap merasa tak sebanding dengan mereka.
Andai saja aku menjalin hubungan dengan lelaki biasa-biasa saja, aku pasti tak akan merasa insecure setiap saat.
Dibandingkan dengan Jihan, aku tidak ada apa-apanya sama sekali. Jihan berasal dari keluarga terpandang, sepantaran dengan latar belakang keluarga Aulion. Tak seperti diriku yang sangat tidak jelas asal-usulnya.
Kalau saja waktu itu aku tidak membocorkan tentang perselingkuhan Jihan pada Aulion—ah, tidak! Aku tidak boleh lagi mempermasalahkan apa yang menjadi keputusanku sekitar empat tahun yang lalu.
Kugelengkan kepalaku beberapa kali seraya mencoba mengenyahkan memori-memori lama yang sekonyong-konyong hadir memenuhi benakku.
Tidak.
Aku tak boleh lagi menyalahkan diriku sendiri atas apa yang kuperbuat empat tahun silam. Kalau aku tidak seberani itu, aku tak mungkin bisa bersanding dengan Aulion saat ini.
“Sekarang mikirin apa lagi?”
Interupsi berupa sebuah pertanyaan datang dari Aulion. Buru-buru kutelengkan kepalaku ke sumber suara dan menemukan pria itu yang rupanya sudah keluar dari ruangan dokter. Dia lantas mengambil duduk di sampingku sembari menenteng resep obat di satu tangannya.
“Udah selesai?” Aku mengabaikan pertanyaan Aulion sebelumnya. Malah melontarkan sebuah pertanyaan baru untuknya.
Jemari Aulion bertengger di satu sisi wajahku, bergerak memindahkan rambutku ke belakang telinga. “Udah,” jawabnya kemudian.
“Apa kata dokter?” Aku kembali menuturkan pertanyaan lain, dan membiarkan Aulion tetap memainkan jemarinya di rambutku.
“Cuma terlalu capek.”
Aku hanya mengangguk-anggukkan kepalaku karena diagnosis dokter sama seperti yang kupikirkan sejak tadi malam. Aulion memang akan jatuh sakit bila terlalu memforsir dirinya sedemikian rupa. Kapasitas energi dalam tubuhnya juga punya batas walaupun pria itu gila kerja.
“Kamu kenapa bisa secantik ini ya, Ra?”
Mendadak Aulion mengubah topik pembicaraannya. Tangannya yang semula berada di sisi kepalaku, kini berpindah ke atas kepalaku, memberi tepukan-tepukan ringan di sana. Sorot matanya juga sudah sepenuhnya mendarat di wajahku, menatapku dengan maniknya yang seolah-olah begitu memujaku.
Dengkusan geli keluar begitu saja dari mulutku. Ditambah dengan gelengan kepala karena Aulion yang jadi se-random ini.
Tanpa menanggapi ucapannya sebelumnya, aku mengambil resep obat dokter dari Aulion untuk segera menebusnya. Sementara Aulion kupaksa untuk tetap bertahan di kursi tunggu sampai aku kembali.
•••
“Sebentar dulu, Mas. Aku pindahin supnya ke mangkuk dulu.” Aku menegur Aulion yang sejak tadi bergelayut manja di tubuhku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Partner
Romance[TAMAT - CERITA MASIH LENGKAP] Bagi Tiara, Aulion adalah cinta pertama sekaligus patah hati pertamanya. Bagi Aulion, Tiara selayaknya obat yang tiba-tiba hadir di sela-sela patah hatinya. Keduanya sama-sama menyimpan luka. Lalu, memutuskan untuk ber...