Drama yang kuciptakan berhasil menimbulkan kehebohan, membuat mereka bertanya-tanya penyebab aku menangis. Tuduhan pertama tentu saja jatuh pada Aulion. Pandangan curiga langsung mengarah padanya, dituntut untuk segera memberi penjelasan.
Sejujurnya aku malu membuat kehebohan di kediaman keluarga Aulion. Andai saja Aulion tak menahanku pergi, mungkin aku bisa menangis dengan bebas di dalam kamar kosku tanpa perlu memikirkan akan seperti apa efeknya nanti. Sayangnya aku tak bisa mengulang waktu.
Begitu tangisku mereda, aku langsung dibawa masuk ke dalam. Dikelilingi oleh keluarga Aulion untuk dimintai keterangan. Semua bertanya kenapa, kecuali Aulion tentunya. Ah, ayah juga tampak tak terlalu memedulikan kejadian barusan. Beliau berpikir jika itu urusan pribadi antara aku dan Aulion.
Sementara aku yang dibombardir oleh interogasi tak berkesudahan hanya bisa bungkam. Sebab, aku juga tak tahu harus menjelaskan semuanya dari mana. Terlalu rumit bila diceritakan dari awal. Pada akhirnya, Aulion menjadi pihak yang disalahkan.
Aku juga tidak jadi pulang. Setelah suasana cukup kondusif, semuanya kembali normal meski terkadang mereka masih menyinggung perihal tangisanku tersebut. Aulion tampak cuek sekalipun dia disalahkan oleh banyak orang.
Alhasil, aku tetap ikut mengantar Lara ke bandara. Kasihan juga gadis itu yang sejak beberapa hari yang lalu sudah memintaku untuk ikut mengantarnya. Dia begitu berharap akan keikutsertaanku.
Pesawat Lara juga sudah terbang sekitar satu jam yang lalu. Kami sudah meninggalkan bandara. Aku satu mobil dengan Aulion walau sepanjang perjalanan kami tak bicara sama sekali. Aku juga tidak tahu kenapa bisa berakhir bersamanya.
Dan di sinilah aku sekarang, di apartemen Aulion. Aku pikir pria itu akan mengantarku ke kosanku, tetapi nyatanya aku malah dibawa ke apartemennya. Tak ada penolakan. Aku hanya menuruti kata hatiku yang memintaku untuk tetap bersama Aulion. Dan semoga saja aku tidak menyesalinya.
“Maaf berantakan, Ra,” ujar Aulion begitu kami memasuki apartemennya.
Hidungku mengernyit ketika bau alkohol menusuk indra penciumanku. Baunya terasa begitu pekat. Asalnya dari ruang tengah. Di atas meja ada beberapa botol alkohol yang mungkin telah kosong. Beberapa puntung rokok pun tak luput dari penglihatanku.
“Mas, kamu mabuk-mabukan?” Air mukaku menunjukkan ketidakpercayaan tatkala bertanya.
Aulion terlihat salah tingkah. Dia sempat menggulung lengan kemejanya terlebih dulu sebelum membersihkan ruang tengah yang benar-benar terlihat seperti kapal pecah.
“Dikit doang, Ra,” jawabnya dengan suara yang begitu pelan.
Aku berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalaku. Tak habis pikir dengan kelakuannya yang satu itu. Namun, sekarang aku mendapat jawaban kenapa pagi tadi Aulion datang terlambat.
Kuletakkan tasku di atas kursi lantas bergabung bersama Aulion untuk ikut menyingkirkan sampah di atas meja.
“Biar aku aja, Ra. Kamu duduk aja.”
Ucapan Aulion tak kuhiraukan. Tak juga kubalas dengan suara. Bibirku terkatup rapat. Fokus pada sampah-sampah yang baunya sangat tidak sedap. Apalagi sisa makanan cepat saji yang Aulion beli dibiarkan begitu saja di atas lantai.
Pada akhirnya, Aulion tak lagi melarangku untuk membantunya membereskan kekacauan di apartemennya. Sesekali aku menangkap dia sedang curi-curi pandang ke arahku, kelihatan ingin mengutarakan sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Partner
Romansa[TAMAT - CERITA MASIH LENGKAP] Bagi Tiara, Aulion adalah cinta pertama sekaligus patah hati pertamanya. Bagi Aulion, Tiara selayaknya obat yang tiba-tiba hadir di sela-sela patah hatinya. Keduanya sama-sama menyimpan luka. Lalu, memutuskan untuk ber...