Di ruang kelas ini hanya tersisa aku dan dia saja, murid lain beserta Chef Jeff sudah meninggalkan kelas sejak tadi. Dan mengapa aku masih disini disaat orang-orang lain sudah pergi meninggalkan kelas? Tentu saja karena Chef yang satu ini memanggilku.
"Oh Roseline, tolong jangan panggil ibu seperti itu."
"Bukankah itu yang ibu inginkan? Menyandang embel-embel itu di depan nama ibu sebagai tanda pencapaian karier yang selama ini ibu kejar." Entah mengapa emosiku yang selama ini kupendam meluap sudah. Aku tidak mengerti emosi apa yang harus kutampilkan ketika berhadapan dengan ibu. Aku ingin marah sekaligus ingin memeluknya. Aku benci sekaligus merindukannya.
"Roseline... Maafkan ibu. Ibu tahu ibu sangat egois dan hanya memikirkan keinginan ibu saja dulu. Ibu menyesal. Ibu ingin memperbaiki hubungan kita, seperti ibu dan anak pada umumnya."
"Aku sudah memaafkan ibu. Uhm, memangnya apa yang ingin ibu lakukan untuk memperbaiki semua ini?" Ibu melihat sekeliling ruang kelas dan berkata, "Dengan... memasak bersama?" Aku tersenyum memandang ibu. "Aku suka itu." Jawabku setuju.
Kami berjalan bersama menuju meja demonstrasi yang biasa digunakan oleh para Chef pengajar. Aku merasa agak gugup ketika tahu bahwa kami akan menggunakan meja itu, tetapi karena saat ini ibuku berstatus sebagai Chef pengajar tamu, maka ibu mempunyai hak untuk menggunakan meja ini, dan juga mungkin ada hak tambahan untuk mengajak putrinya yang berstatus sebagai calon koki dari jurusan Culinary Arts LAMC untuk merasakan bagaimana rasanya menggunakan meja milik Chef sungguhan. Aku merasa beruntung karena status ibu itu.
"Jadi... kita akan membuat apa, ibu?" Tanyaku. Aku ingin menyebutkan kata 'ibu' sesering mungkin, karena sudah sangat lama aku tidak pernah mengucapkannya lagi.
"Kalau cupcake, bagaimana? Kau mau? Bukankah kau sering meminta ibu untuk membuatkan cupcake untukmu dulu?" Aku mengangguk. "Ya, sampai sekarang itu masih menjadi favoritku." Ibu tersenyum menanggapiku. "Ya sudah, ayo kita mulai."
Ibu memasukkan tepung terigu ke dalam mangkuk sementara aku membubuhkan baking soda dan garam ke dalam sana. Setelah aku selesai membubuhkan garam, ibu mengaduk campuran tersebut sebentar, setelah itu ibu mengambil mangkuk lain untuk diisi dengan gula, butter, telur dan vanilla, kemudian gantian aku yang mengaduk campuran kedua itu.
Setelah itu, ibu menggabungkan dua campuran berbeda itu ke dalam satu mangkuk, kemudian diaduknya lagi agar rata.
"Rose, bisakah kau bantu ibu menuangkan adonan-adonan ini ke dalam cetakan?" Ibu mulai menuangkan adonan ke dalam cetakan pertama.
"Tentu." Kemudian aku pun juga melakukan hal yang sama dengan ibu.
Sambil menuangkan adonan-adonan itu, ibu berkata padaku, "Omong-omong, ibu cukup terkejut melihatmu ada disini tadi. Ternyata kau benar-benar melakukan apa yang ibu minta padamu dulu."
"Hm," aku berdeham singkat. "Sebenarnya ayah yang mendaftarkanku kesini. Ayah mengatakan bahwa itulah hal terakhir yang dapat ibu minta, dan itulah hal terakhir yang dapat ayah wujudkan." Setelah semua cetakan terisi adonan, aku memasukkan adonan cupcake itu ke dalam oven.
"Oh iya bu, apakah ibu serius dengan penilaian ibu tadi? Penilaian tadi bukan karena kita memiliki hubungan darah, kan? Aku merasa ragu karena aku belum merasa hasil masakanku sebaik yang ibu katakan."
"Kau tahu ibu adalah orang yang perfeksionis, kan? Kalau sesuatu itu belum pantas dikatakan sempurna, ibu tidak akan mengatakannya. Tapi hasil buatanmu tadi sangat membuat ibu puas, jadi ibu bisa mengatakan kalau yang tadi adalah sempurna." Aku sangat senang mendengar ibu memujiku seperti itu. Setelah bertahun-tahun, akhirnya aku mendapatkan pengakuan atas kemampuan memasakku dari seorang Chef restoran Perancis yang juga adalah ibuku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cupcakes For A Missing Heart
Teen FictionRoseline tidak percaya cinta. Roseline tidak pernah percaya jika hubungan yang bahagia memang benar adanya, karena orang tuanya sendiri yang membuatnya tidak meyakini hal itu. Michael percaya cinta, dan ia yakin jika seseorang yang tidak seng...