Bagian 5 - Lover's Lake and Cigarettes

1.2K 51 2
                                    

Aku duduk di dalam kelas bersama murid-murid Culinary Arts lainnya. Kami semua mengenakan seragam putih khas koki, duduk menghadap ke depan, menghadap seseorang yang mengenakan pakaian yang sama dengan kami, namun bedanya, orang tersebut mengenakan topi kokinya, sementara kami tidak.

Ketika kusebut 'kelas', jangan bayangkan bahwa kelas yang kumaksud adalah kelas dengan papan tulis dan banyak meja membosankan khas meja sekolah. Kelasku ini lebih mirip seperti dapur yang biasa ditampilkan di tv show.

Seseorang yang berada di hadapan kami saat ini adalah Chef Jeff, pengajar utama yang akan mengajari kami sampai kami lulus nanti. Meski Chef Jeff adalah pengajar utama, namun katanya, beliau akan dibantu oleh chef tamu yang akan membantunya mengajar di beberapa materi.

Hari ini, Chef Jeff hanya membahas soal teknik-teknik dalam memotong beberapa jenis daging hewan. Namun pada pertemuan kali ini, beliau tidak membiarkan kami untuk menyentuh alat-alat memasak. Katanya, pertemuan kali ini bukan saatnya untuk praktek, kami hanya diminta untuk memperhatikan Chef Jeff beraksi. Ah, sayang sekali. Padahal tanganku sudah gatal ingin segera memasak.

Tunggu. Sejak kapan aku merasa tidak sabar untuk memasak seperti ini? Dari mana dorongan ini berasal? Aku tidak pernah seantusias ini ketika berhubungan dengan masak-memasak.

Setelah sekian lama di dalam kelas, aku pun merasa bahwa mataku mulai lelah karena terus menerus digunakan untuk memperhatikan kelihaian Chef Jeff dalam mengolah daging hewan tersebut menjadi makanan lezat yang ditata dengan indah. Meski masakannya terlihat menarik, tetapi tetap saja mataku ini sudah lelah sehingga aku mulai bosan dan mengantuk.

Untungnya, kelas segera berakhir tepat ketika aku merasa bahwa mataku akan terpejam. Jika saja aku ketahuan tertidur di kelas, bisa-bisa aku terkena masalah. Untungnya, hal itu tidak terjadi dan aku bisa kembali ke kamar dengan tenang setelah ini.

Aku masuk ke kamarku dan berniat untuk segera merebahkan diri di kasur. Namun hal itu urung kulakukan ketika aku melihat orang itu di dalam kamar, sibuk berkutat dengan buku-buku tebal yang berserakan. Melihat itu, aku menjadi kehilangan keinginanku untuk tidur. Aku malas berada di satu ruangan yang sama dengannya--meskipun aku dalam keadaan tak sadar sekalipun. Jadi, aku pun memutuskan untuk mengganti seragamku dengan tank top hitam dengan hot pants berbahan jeans, kemudian aku keluar dari kamar.

Selanjutnya, aku tidak tahu ingin kemana. Sebentar lagi langit berubah gelap dan aku tidak punya ide tentang tempat apa yang harus kudatangi di sore menjelang malam seperti ini.

Dengan modal nekat, aku berkeliling tempat ini disaat langit sudah berubah gelap. Aku melewati asrama putra, gedung pembelajaran, gymnasium, menara dan gedung-gedung lainnya. Aku berjalan terus ke bagian belakang tempat ini sampai aku menemukan taman bunga--yang warnanya tidak terlalu terlihat jelas karena sudah malam. Taman bunga tersebut mengarahkanku ke suatu tempat lain dari tempat ini--sebuah danau.

Wow, tempat ini indah--dan tersembunyi! Cocok untuk menjadi tempat persembunyianku kalau aku sedang bosan atau tidak mood seperti tadi.

Aku berjalan santai menuju jembatan di atas danau tersebut, memandangi air danau yang tenang. Aku pun menyalakan rokokku, menghembuskan asap tersebut dengan santai meskipun LAMC adalah lingkungan bebas-rokok. Tapi, hey, siapa peduli? Memangnya bakal ada yang menemukanku di tempat tersembunyi seperti ini malam-malam, eh? Sepertinya kemungkinannya kecil, sih. Jadi, aku bisa bebas merokok disini tanpa ketahuan siapapun.

Eh, sedang asik-asiknya merokok, tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Aku segera melempar puntung rokokku ke danau. Aku agak was-was juga menebak-nebak siapa yang akan datang kesini. Siapapun yang datang kesini, pasti dia akan menanyakan sederetan pertanyaan kepadaku tentang penyebab mengapa aku berada disini, sendirian, malam-malam.

Cupcakes For A Missing HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang