Bagian 3 - The Night Club

1.2K 62 0
                                    

Satu tahun kemudian...

Sebenarnya ada perasaan berdebar di dalam dadaku ketika melewati bouncer itu sendirian. Ini dikarenakan aku yang sebenarnya masih di bawah umur. Tapi dengan mengumpulkan keberanian dan kepercayaan diriku, aku pun memperlihatkan ID palsuku yang dibuat oleh temanku Mary kepada bouncer. Untungnya hanya dengan sekali lihat, bouncer tersebut mempersilahkanku masuk.

Setelah masuk, aku pun memilih untuk duduk dan memesan minuman sambil mendengarkan musik yang seakan ingin merobek indera pendengaranku.

Aku benar-benar butuh minum. Aku benar-benar ingin membuat masalah-masalah yang kualami selama ini melayang sejenak dari benakku. Ketika aku sedang menenggak vodkaku entah yang keberapa kalinya, aku seperti merasakan ada tatapan yang tertuju padaku. Kulihat sekelilingku, banyak orang yang berada di dekatku, mungkin saja salah satu dari mereka ada yang tidak sengaja mengarahkan pandangan padaku.

Aku meneruskan meminum minumanku lagi, tetapi aku tetap saja merasa jika gerak-gerikku sedang diperhatikan. Aku mencoba untuk mengedarkan pandanganku lagi, dan tak sengaja aku menemukan sosok pemuda berambut cokelat gelap cepak dan sedikit spike yang tertangkap sedang memperhatikanku. Aku tidak bisa melihatnya lebih jelas lagi karena cahaya yang remang dan juga pandanganku yang mulai kabur akibat cairan yang masuk ke dalam tubuhku beberapa saat yang lalu. Merasa tidak nyaman, aku pun memutuskan untuk meninggalkan klub tersebut dengan terburu-buru.

Angin malam terasa menusuk ketika menerpa kulitku yang tidak dibalut dengan pakaian tebal yang cukup. Meski sudah merasa kedinginan, aku tidak ingin kembali pulang sekarang. Aku menyalakan rokok dan menghembuskan asap putih tersebut dengan cepat. Aku berjalan gontai karena pengaruh alkohol tadi. Meski aku tidak terlalu lama berada disana, tapi aku sudah minum cukup banyak tadi, sehingga sekarang rasanya aku ingin ambruk saja.

Sudah setahun ini aku mulai merokok dan pergi larut malam tak tentu arah. Aku tahu banyak soal ini dari Mary, salah satu temanku yang terkenal suka menyusup dari satu klub malam ke klub malam lain setiap malamnya. Aku sadar bahwa ini bukanlah diriku yang selama ini kukenal, namun aku tahu hanya dengan cara inilah aku bisa tetap bertahan.

Meski sudah satu tahun berlalu, namun perasaan kecewaku terhadap ayah belum juga menghilang. Aku sangat kecewa ketika ayah menikah dengan wanita itu secara diam-diam. Mengapa ayah tidak pernah membicarakan soal pernikahannya denganku sebelumnya? Seharusnya, aku juga berhak tahu itu, seharusnya aku hadir di pesta pernikahannya, tapi aku malah tidak tahu apa-apa.

Tapi setelah dipikir-pikir, jika aku diperbolehkan menghadiri acara pernikahan ayah sekalipun, belum tentu aku akan datang. Aku mulai sadar jika aku tidak bisa menggantikan posisi ibu dengan siapapun. Meskipun ibu selalu bersikap dingin padaku, selalu sibuk di dapur dan jarang sekali berbicara padaku, tetapi dia tetap ibuku. Tiba-tiba, aku merasa rindu padanya.

Tidak terasa, setahun berlalu sejak ayah menikahi wanita itu. Dan mungkin, ini sudah lewat tiga tahun sejak perginya ibu dari rumah. Tetapi mengapa, perasaan bersalah ini datang terlambat?

Aku baru saja menyadari satu hal lain yang mungkin saja menjadi faktor perpisahan antara ayah dan ibu. Selama mereka bersama, yang kutahu mereka tidak pernah cocok dalam segala hal, mereka selalu berdebat dan mengakhiri segala sesuatu dengan pertengkaran. Hal sepele pun dapat menjadi penyebab percekcokan besar di rumah kami. Tapi, aku selalu tidak mau ambil pusing dengan 'hal sepele' itu. Namun, kini aku baru menyadari bahwa faktor terbesar yang membuat mereka selalu bertengkar adalah... aku.

Jika aku cerna apa yang mereka ucapkan di setiap pertengkaran mereka, itu semua merujuk kepadaku. Aku ingat pertengkaran mereka yang terakhir kali kudengar. Pada saat itu, ibu mengajukan protesnya kepada ayah karena ayah selalu meninggalkan kami untuk perjalanan bisnisnya, sementara ayah membalikkan keadaan dengan mengkritik sikap ibu yang jarang sekali berbicara padaku. Ya, ya, ya, ini semua tentangku, ini semua karena aku, akulah sumber malapetaka dalam keluargaku sendiri.

Cupcakes For A Missing HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang