٢٠ [الشاطئ ومليون آلام]

330 42 2
                                    

"Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ditanya, "Siapakah yang paling berhak mendapat perlakuan yang paling baik dariku?" Rasulullah menjawab, "Ibumu." Orang itu bertanya, "Siapa lagi?" Rasulullah menjawab, "Ibumu." Orang itu bertanya, "Siapa lagi?" Rasulullah menjawab, "Ibumu." Orang itu bertanya, "Siapa lagi?" Rasulullah menjawab, "Bapakmu."
(HR. Bukhari dan Muslim)

"Tenang, Magma. Oke, lo harus tenang."
    
Magma berkali-kali mengucapkan kata tersebut di depan cermin. Cowok itu sudah siap dengan baju yang dia pilih untuk ke pantai hari ini bersama Mawar.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua, mereka akan pulang ketika sunset sudah hilang.
    
Magma berjalan turun. Terlihat Marvel yang sedang menilai penampilannya.
    
"Penampilannya udah oke tapi gue nggak jamin suasananya juga nanti bakalan oke."

Setelah mengucapkan itu Marvel ketawa dengan watados. Di sampingnya Magma hanya melirik sekilas.
    
"Gue kok ngeri, ya," gumam Magma tiba-tiba.
    
Marvel mencibir. "Bukan laki lo!"
    
"Oke, gue berangkat sekarang."

•••

Mawar tersenyum cerah ketika mereka telah sampai di tempat tujuan. Cewek itu membuang kantung kresek bekas memakan cireng isi bersama dengan Magma tadi di dalam mobil.
    
Tersenyum lalu tertawa. "Secepat itu ya, Kak? Tau siapa yang lapor," papar Mawar tiba-tiba.
    
Magma tersenyum. "Aku kan banyak koneksi."
    
Magma berjalan mendahului Mawar. Cowok itu menghampiri bibir pantai.
    
"Sini." Magma mengisyaratkan tangannya agar Mawar mendekat ikut duduk di sampingnya.
    
Mawar membuka tas selempangnya.
    
"Apa yang kamu suka dari pantai?," Tanya Magma tiba-tiba.
    
Mawar menerawang. "Nggak ada. Bahkan aku takut sama pantai."

Setelah mengucapkan itu tawa Mawar mengudara. Magma refleks menoleh, hatinya teriris.

Apakah tawa itu masih ada dikala dirinya mengungkapkan hal tersebut?
   
"Kenapa takut sama pantai?," Magma bertanya.
    
"Aku takut sama air lautnya yang gimana kalo nyerang tiba-tiba? Aku juga takut sama sunset kalo terlalu deket."
    
Penjelasan Mawar berhasil membuat Magma penasaran detik itu juga.

"Terus, kenapa kamu mau ke sini kalo takut?"
    
Mawar tersenyum aneh. "Karena Kakak. Karena aku mau tau siapa yang lapor Kak Faris."
    
Magma diam membeku. Hampir saja dirinya limbung jika tidak menyangga dengan tangannya.
    
Mati mati mati
    
"Apa selama ini kamu nggak pernah ke pantai?," Tanya Magma memastikan.
    
"Sekali."
    
"Terus, apa yang kamu sukai?"
    
"Entah." Ada jeda. "Mungkin mulai detik ini aku bakalan suka sama pantai dan bakalan sering ke sini. Karena di tempat ini aku bakalan tau siapa yang lapor Kak Faris ke polisi."
    
Magma tersenyum miris.
    
Apa kamu bakal tetep ke sini kalo kenyataannya nyakitin kamu?
    
"Kak, aku mau main pasir-pasiran, deh!"
    
Mawar mengatakan itu dengan semangat. Cewek itu sudah bangun dari duduknya dan mulai mengambil pasir untuk membentuk apa saja yang cewek itu suka.
    
"Aku beli es dulu sebentar." Magma pamit undur diri.
    
Mawar meremas-remas pasir yang berada ditangannya dan memandangi sekitar. "Udah mulai sore," gumamnya.
    
Cewek itu mengeluarkan ponsel lalu memotret pemandangan yang indah itu. Terlihat Magma yang mendekat dengan membawa dua es kelapa. Mawar menerimanya.
    
Magma tertawa melihat hasil karya Mawar yang super abstrak itu. Tapi tak urung cowok itu memotretnya dan dia simpan ke galeri. Barangkali hanya ini yang dapat dia simpan.
    
Tapi bukan Magma jika tidak nekat. Cewek itu memotret pula diri Mawar yang tidak menyadari.
    
"Kakak mau foto?"
    
Tawaran Mawar barusan membuat Magma kaget.
    
"Kalo mau foto, ayo!" Ajak Mawar disusul dengan senyum mengembang.
    
Magma tersenyum. Dirinya mengangguk. Kesempatan tidak boleh ditolak.
    
Cowok itu menyewa orang yang lewat untuk memotret mereka.
    
Magma berdiri begitu juga dengan Mawar. Mereka berpose dengan gaya masing-masing. Ada jarak sekitar 60 cm.
    
Setelah dirasa cukup, Magma mengasih beberapa lembar uang lalu melihat hasil fotonya. Dirinya tersenyum puas.
    
"Makasih, Mawar," gumamnya kecil.
    
"Kakak berapa tahun kira-kira di sana?," Tanya Mawar.    
    
"Kalo udah di sana sering-sering ngabarin, ya!"
    
"Aku mau kita tetep komunikasi."
    
Alih fokus Magma terganggu. Mawar, kenapa di saat-saat seperti ini cewek itu mulai berbeda?
    
"Aku sampe S1 di sana, S2 nya lanjut di tempat sepupu," kasih tahu Magma.
    
"Mawar.... Aku nggak tau rasa kamu ke aku itu gimana. Tapi tolong inget, dari awal aku nggak pernah main-main sama ucapan aku."
    
Kini es kelapa yang Mawar minum terasa hambar setelah cowok itu mengutarakan hal tersebut.
    
"Aku sayang sama Kakak, aku cinta sama Kakak." Mawar berujar dengan cepat.
    
Bohong
    
Magma dapat melihat semua itu. Cowok itu tersenyum miris. Memang seharusnya dari awal tidak seperti ini.
    
"Kamu udah tau tentang aku, kan?"
    
Mawar menoleh. Menatap terkejut.
    
"Xilcia yang izin sendiri, kok," kasih tau Magma.
    
"Jangan bilang kayak gitu kalo aslinya bukan kayak gitu, Mawar," lirih Magma dengan nada menyedihkan.
    
Mawar menggeleng meralat ucapan Magma. "Aku serius, Kak!"
    
Magma mendekat. "Kamu nggak serius."
    
"Aku mau bahagiain, Kakak," gumam Mawar dengan kepala tertunduk.
    
Magma menelan salivanya. Hampir menangis. "Aku semenyedihkan itu, ya?"
    
"Jangan gitu, Kak!"
    
"Mawar, apa aku boleh peluk kamu?"
    
Magma menampar dirinya sendiri. Jelas ini jalan yang terlanjur salah.
    
Mawat menatap tak percaya. "Apa Kakak lupa sama persyaratan itu?"
    
Magma menggeleng. "Hal apapun yang bersangkutan sama kamu, aku nggak akan pernah lupa."
    
"Kenapa kamu minta hal itu?"
    
Dapat Mawar lihat, cowok itu ketakutan. Matanya menjawab semuanya.
    
"Maaf."
    
Satu kata seribu makna.
    
Mawar mundur, Magma maju.
    
"Maaf, Mawar."
    
Mawar menggeleng. "Aku yang harusnya minta maaf karena selama ini selalu nyakitin Kakak!"
    
Tiba-tiba suara gemuruh petir menggema. Mawar ketakutan.
    
"Mawar, tolong jangan mundur. Jangan jauh dari aku," pinta Magma dengan khawatir.
    
"Jauh sebelum nyakitin aku, aku udah nyakitin kamu duluan."
    
Mawar maju. "Maksud kamu apa, Kak?," Tanya Mawar seraya memperhatikan garis wajah Magma.
    
"Aku minta maaf."
    
Mawar jengah. "Tolong jangan minta maaf apapun itu!"
    
"Gimana sama jawaban kamu?,"
    
Mawar mengangguk. "Seperti yang aku bilang tadi, Kak. Balasan aku sama perlakuan aku akhir-akhir ini mewakili semuanya, kan? Kakak tau jawabannya."
    
Magma.... Untuk pertama kalinya, dirinya menyesal karena merencanakan sesuatu.
    
"Kalo gitu, jangan pergi dari aku apapun yang terjadi."
    
Mawar mengangguk. "Aku udah kasih jawabannya. Sekarang, tolong kasih tau aku siapa pelakunya, Kak."
    
Magma goyah, terlebih nada suara Mawar yang kelewat lembut itu.
    
"Aku."
    
Satu kata berhasil membuat dunia Mawar runtuh seketika. Cewek itu mundur dengan raut muka yang terbaca.
   
Magma maju. "Aku bisa jelasin, Mawar."
    
"Bohong!"
    
"Kakak pasti bohong!"
    
Ada jeda bicara. Ada pula langkah kaki yang mundur dan maju.
    
"Nggak mungkin!"
    
"Aku yang lapor, Mawar..."
    
"Nggak, Kak! Kakak baik! Kenapa bisa ngelakuin itu?!"
    
Magma mengeluarkan air matanya. "Karena dia yang udah ngebunuh Abi."
    
Seketika Mawar berhenti mundur.

My Heart is Calling You✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang