Sejatinya di dunia ini tidak ada manusia yang suci, semua berdosa. Manusia adalah ladang dosa. Tidak salah jika kita melakukan dosa yang tidak disengaja sebab hakikatnya kita semua memanglah pendosa. Yang salah itu, sudah tahu kita ini adalah pendosa tapi tidak ada niatan sama sekali untuk memperbaiki diri dan mengurangi masing-masing kadar dosa.
-My Heart is Calling You-
Mawar menutup pintu mobilnya disusul oleh Gladis dan kedua orang tuanya yang ikut keluar.Kaki mereka berpijak ke dalam tempat pemakaman seseorang. Rasanya, kaki Mawar seperti jelly, terasa lambat sekali.
Hingga tiba pada lantai keramik makam seseorang itu, Mawar berjongkok diikuti oleh Gladis dan kedua orang tuanya. Mereka berdoa yang dipimpin oleh Raka agar orang itu diberi tempat terbaik di sisi-Nya juga memohon ampunan meskipun orang tersebut masih suci dari dosa.
Dengan tangan bergetar, Mawar mengelus batu nisan itu. "Sayangnya, Mawar... Aku pamit, ya. Doain semoga baik-baik aja."
"Maafin aku yang nggak becus jaga kamu."
Pada saat itu pula rintikkan air mata keluar. "Aku takut dia nyariin kamu."
Gladis menepuk bahu Mawar. "Udah, yuk."
Mawar mengangguk dan mereka pun mulai meninggalkan area pemakaman itu. Tapi seketika Mawar diam membeku ketika tiba-tiba tepat di pintu gerbang pemakaman terlihat Magma juga keluarganya yang tengah ingin berkunjung ke sini.
Alifa tersenyum melihat Kejora. "Mau ketemu Husain, ya?," Tanya Alifa yang diangguki oleh Kejora.
Mawar mengalihkan pandangan ke arah lain. Bertahun-tahun tidak bertemu hingga pada akhirnya takdir-Nya mempertemukannya lagi.
Mawar menunduk dan memilin tangannya sendiri. Bisa Mawar sadari, cowok itu terus memperhatikannya. Sungguh, Mawar tak kuasa melihatnya. Cowok itu sangat berbeda dari dirinya yang dulu. Semakin Mawar lama melihatnya, semakin ada jiwa pemberontak dalam dirinya untuk bisa membahagiakan cowok tersebut.
"Tan, kayaknya kita harus berangkat sekarang, deh," ucap Gladis seraya memperhatikan jam dipergelangan tangannya juga menyadari situasi yang sulit dihadapi, seenggaknya untuk kedua orang itu.
Kejora melihat Mawar seraya tersenyum. "Mau ke mana emangnya?," Tanya Kejora.
Raka menatap Mawar. "Nganter anak ke bandara."
Sekarang memang waktunya untuk dimulai dengan dimainkan oleh masing-masing peran terbaik. Sayang sekali, takdir mempertemukan mereka hanya untuk bertemu bukan untuk saling tukar sapa. Sebab, sampai mobil keluarga Mawar hilang dari pandangannya pun tak ada satu pun kalimat yang dapat bisa memulai interaksi kedua orang tersebut.
Magma cukup sadar diri. Meskipun belum ada kata putus di antara mereka, perilaku pun sudah lebih dari cukup untuk mewakili hal tersebut.•••
Mawar tersenyum senang ketika tiba di tempat tujuannya. Rumah ini adalah rumah yang dia pernah singgahi beberapa tahun lalu.
Gladis mendudukkan dirinya di sofa. "Mau ketemu dia kapan?"
Mawar masih diam dengan pikirannya. "Sekarang udah malem. Besok aja."
"Mau Kakak antar?"
Mawar mengangguk. "Boleh. Tapi tunggu di mobil aja, ya."
Gladis mengangguk mengerti.•••
Darah Mawar berdesir hebat ketika dirinya sedang menunggu petugas yang tengah memanggilkan seseorang untuk bertemu dengannya. Langkah kaki seseorang terdengar hingga seseorang yang ditunggu-tunggu tepat di hadapan matanya dengan kondisi yang bahkan masih baik-baik saja meskipun sedang memakai baju tahanan.
Seketika isakan lolos begitu saja dari mulut Mawar. Cowok itu masih seperti dulu dan tidak akan pernah berubah. Selalu memakai kain penutup mata.
Dapat Mawar lihat juga kain penutup mata cowok itu basah, pertanda jika orang itu pun menangis.
Mawar mendekat dan duduk di hadapan Alzam yang dibatasi oleh meja.
Mawar masih terisak. Rindu yang menyesakkan, yang tertanam bertahun-tahun kini terbayar sudah atas izin-Nya.
"Kiafa haluk, Kak?," Tanya Mawar dengan suara serak.
Cowok itu tersenyum. "Alhamdulillah, bikhair. Wa kaifa haluki anti?"
"Alhamdulillah."
Hening. Hingga pertanyaan cowok itu membuat Mawar mati-matian menahan isakan yang lebih kencang.
"Gimana keadaan dia? Apa dia sehat?"
Cowok itu bertanya dengan raut berseri-seri.
Ya Allah, bagaimana ini?
"Maaf, Kak."
Raut wajah Alzam berubah. "Ma baluk?"
"Dia udah nggak ada." Bertepatan dengan itu tubuh Mawar merosot ke bawah menghadap ke Alzam dengan berderai air mata.
"Maafin aku, aku nggak bisa jaga dia. Dia udah nggak ada, Kak."
Alzam masih diam. "Innalillahi wa inna illaihi roji'un. Astaghfirullah." Ada jeda, nampak air mata Alzam yang mengalir perlahan. "Kenapa, Mawar? Apa kamu bunuh dia?"
Mawar menggeleng keras. "Enggak, Kak! Demi Allah, aku nggak ada niatan buat bunuh dia! Kakak tau, kan? Di situ aku down, sedangkan umurku juga terlalu muda untuk mengandung," terang Mawar berharap cemas-cemas.
Terdengar decitan kursi yang nyaring. "Laa, Mawar. Jangan kayak gitu! Berdiri!"
Mawar berdiri dengan pandangan linglung sedangkan tubuh Alzam berbalik.
"Barakillah fiik."
Mawar terpenjat. Ada sesuatu yang hilang di dirinya ketika tiba-tiba Alzam berbicara seperti itu. Cara mengetahui Alzam marah apa tidak itu sangatlah mudah, jika cowok itu mengucapkan barakallah fiikum dari lisannya itu sudah lebih dari cukup untuk kita mengetahui jika cowok itu marah besar.
Beginilah marahnya orang shalih. Abdullah bin 'Aun adalah seseorang yang tidak pernah marah, apabila ada seseorang yang marah kepadanya, dia berkata, "Barakallah fiik (semoga Allah memberi keberkahan kepadamu." (Hilyatul Aulia Li Abi Nu'aim, 39/3).
Hendaklah kita menjaga lisan meskipun sedang marah."Dia menyeru dengan seruan yang baik bagi orang yang marah kepadanya, dia mengucapkannya dalam keadaan senang dan dia menikmatinya, sungguh itu adalah kekuatan dan kebutuhan yang harus dia miliki ketika dia sedang marah." (Lihat kitab At Tuhab, karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al Badr, hal. 42).
"Fii amanillah."
Alzam mengusirnya?
Mawar mengelap air matanya. "Kenapa, Kak? Kenapa Kakak sayang banget sama anakku? Dia bukan ulah kamu, Kak!
Alzam spontan berbalik. "Mawar...." Dengan nada lembutnya, Alzam menerangkannya meskipun sedang berbalut amarah. "Karena seorang anak kecil hanya pantas untuk dicintai dan disayangi. Dia nggak tau apa-apa." Ada jeda. "Apa aku salah?"
Mawar menggeleng. "Maafin aku."
Alzam mengangguk. "Qadarullah."
Mawar mengelap air matanya itu dan tersenyum lebar. "Kakak tau? Aku udah jadi hafidzah." Kasih tau Mawar dengan pancaran bahagia.
Seketika Alzam tersenyum. "Masya Allah, alhamdulillah. Makasih udah nepatin janji."
Mawar mengerutkan keningnya. "Janji apa itu?
"Kamu lupa?" Ada jeda. "Terakhir kita ketemu, kamu bilang bakalan ke sini dengan membawa tiga puluh juz hafalanmu."
Mawar terkejut bukan main. Bahkan dirinya lupa akan janjinya sendiri.
Mawar menunduk. "Kak... Maafin aku yang udah langgar terus janji Kakak."
Seraya berkata, Mawar menggelengkan kepalanya berharap akan baik-baik saja. "Aku pacaran."
Kalimat itu berhasil membuat Alzam linglung. "Pacaran?" Beo Alzam yang sepertinya masih tidak percaya.
"Iya. Sama Magma namanya."
Lagi, ada jiwa yang retak di dalam diri Alzam ketika nama itu terucap.
"Tapi, Kak... Aku udah lama putus, kok, sama dia."
Alzam menggeleng. "Mending sekarang kamu pergi, Mawar."
"Ada satu hal lagi, Kak." Mawar menatap Alzam tak tahan. "Kak Faris udah nggak ada," bertepatan dengan itu air mata Alzam keluar dengan deras.
"Kenapa?"
"Bunuh diri di penjara. Magma yang lapor."
Alzam menipiskan bibirnya. "Tolong apapun nanti yang terjadi pilih sesuai kata hatimu."
"Aku bakalan pilih Kakak."
Alzam hanya tersenyum. "Makasih banyak, Mawar... Udah ke sini."
"Aku beneran hampir putus asa ketika bertahun-tahun menanti izin-Nya untuk bertemu sama kamu tapi belum juga dikabulkan." Alzam menunduk. "Tapi sekarang.... Tepat hari ini, kamu di sini."
Mawar tersenyum pedih. Alzam dengan segala kesempurnaannya mencintai Mawar dengan segala ketidaksempurnaan yang dimiliki cewek itu.
"Sekarang, Kak!" Mawar mendekat. "Buka kain penutup itu."
Dengan tegas Alzam menggeleng. "Fakartu an uhdika uyuni, walakin khiftu an asytaq ilaiki fala aroki," terang Alzam dengan jelas.
Aku berpikir untuk menghadiahkan mataku untukmu, tapi aku takut jika aku merindukanmu, aku tidak akan bisa melihatmu.
"Kapan Kakak bakalan keluar dari sini?," Mawar mengalihkan topik pembicaraan lain.Tidak bagus dengan kesehatan jantungnya ketika terus-menerus membahas topik yang tadi, apalagi jawaban Alzam yang membuat dirinya merasa beruntung begitu saja.
"Secepatnya, Mawar... Mungkin emang ini waktunya."
"Maafin aku kalo buat kamu kecewa nantinya."
Mawar mundur selangkah. Kenapa sering sekali tiap orang berkata seperti itu kepadanya?
"Abaikan." Ada jeda. "Waktunya nggak lama lagi jam berkunjung habis."
"Aku mau tanya satu hal sama kamu. "Kamu tau sekarang Magma jadi apa?"
Mawar diam. Dirinya dapat info dari Shila jika cowok itu sekarang menjadi pilot.
"Pilot, Kak."
Alzam refleks berbalik tidak ingin raut mukanya itu dilihat oleh Mawar ketika kata itu terucap. "Tolong telpon orang tua kamu suruh ke sini besok juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Heart is Calling You✓
EspiritualMawar Syakila Putri. Perempuan yang dipaksa untuk menjadi pacar dari seorang Magma Farel Danendra untuk mencapai tujuannya. Berkali-kali Mawar menolak, berkali-kali juga lah dirinya mendapatkan tolakan dari cowok itu. Hingga sebuah persyaratan cewek...