٢١ [شوق]

314 42 0
                                    

"Dalam keadaan marah dan murka, jadilah seperti orang mati."
-Jalaluddin Rumi-

Magma datang ke rumah dengan basah kuyup. Kejora yang sudah terlanjur kecewa apa yang telah diperbuat oleh anaknya itu seketika meneteskan air matanya. Magma bersimpuh.
    
"Maaf, Umi..."
    
Kejora tak menjawab.
    
"Umi, maaf..." Magma memohon dengan nada yang begitu dalam. Bukannya mendapat maaf, seketika dirinya terhempas begitu saja mendapatkan tamparan keras dari Marvel. Xilcia yang melihat itu ikutan menangis.
    
"Siapa yang ngajarin lo jadi pembunuh?!" Sentak Marvel begitu murka.  
    
Magma berdiri seraya terkekeh sinis. "Ini nggak ada yang nanya ke gue, gimana keadaan lo gitu?"
    
Mendapatkan penuturan seperti itu, mereka semua terdiam. Magma terkekeh. "Iya, gue bego banget, ya? Mau hilangin Mawar? Padahal, cuma dia yang bisa buat gue bahagia." Ada jeda. "Hancur. Semua terlanjur kecewa, ya? Bahkan diri gue sendiri."
    
Cowok itu duduk di lantai. Tak peduli dengan dirinya yang kedinginan akibat kehujanan.
    
Aufar datang dengan raut wajah datar. "Keterlaluan kamu, Magma! Abimu bakalan kecewa tahu kelakuan kamu seperti apa sekarang."
    
"Jangan sok ikut campur!"
    
"KAK!" Refleks Kejora berteriak.

"Sopan! Kamu lagi ngomong sama orang tua. Siapa yang ngajarin kamu kayak gitu?!"
    
"Keadaan." Magma tersenyum sendu. "Aku cuma mau kalian cerai apa itu susah banget, ya? Kalian juga terpaksa, kenapa nggak pisah aja? Dengan begitu, keadaan bakalan kayak dulu lagi. Aku nggak rela Abi ada penggantinya."
    
Marvel membuang muka. "Jangan kekanakan! Lo pikir pernikahan sebercanda itu?"
    
Magma bangkit. "Lo pikir, deh! Dari awal emang kayak dipermainkan, kan? Mereka terpaksa. Hubungan jadi kayak gini!" Cowok itu menatap tajam Marvel. "Berhenti memanfaatkan keadaan hanya untuk bisa deket terus-terusan sama Xilcia."
    
Refleks mereka secara menyeluruh menatap Magma penuh sedangkan Marvel sudah memasang raut wajah tegang.

Magma tersenyum jahat. "Lo pikir gue nggak tau kalo lo suka sama Xilcia dari dulu? Dan sengaja manfaatin keadaan supaya selalu bisa deket-deket sama si doi?" Ada jeda. "Padahal itu lebih rumit. Kenapa nggak dukung mereka supaya cerai aja, dengan itu lo bakalan nikahin Xilcia tanpa adanya desas-desus yang berlebihan?"

•••

Mawar terisak kencang dipelukan Alifa. Beberapa menit yang lalu dirinya sudah sadar, lalu seketika ingatannya langsung mengarah pada kejadian beberapa waktu lalu.

"Aku tambah benci pantai, Ma." Kasih tau Mawar dengan berlinang air mata.

   
"Maafin aku bicara yang enggak-enggak ke kalian. Sekarang aku paham kenapa kalian nggak ngasih tau siapa yang ada di sidang itu."
    
Alifa tersenyum mengurut bahu anaknya itu. "Nggak papa, Sayang. Semua udah terjadi."
    
"Andai dulu sampe sekarang aku selalu bersikeras buat ngusir Kak Magma, pasti rasa ini nggak bakal muncul. Sakit, Ma... Mawar sayang sama Kak Magma."
    
Mawar melepas pelukannya dan mengusap air matanya begitu saja.

"Aku udah maafin Kak Magma," Mawar berucap dengan senyum mengembang.
    
Alifa tertegun. "Secepat itu?" Wanita itu spontan mendekat. "Kamu tau? Papa sama Mama nggak bakal ngizinin kamu sama Magma."
    
Mawar menoleh lalu memberikan senyum terbaiknya. "Emangnya siapa yang bilang kalo aku suka sama Kak Magma?," Perempuan itu terkekeh pelan. "Dari awal, aku nggak suka, Ma... Semua perilaku aku selama ini ke dia itu cuma pura-pura."
    
"Kamu masih suka sama orang itu?"
    
Cewek itu menyunggingkan senyum tipisnya. "loh? Emangnya siapa lagi yang doanya lebih kuat dibandingkan dia selain Mama Papa?"
    
Alifa berdiri dan mencium pipi anaknya itu. Kedua orang tua itu terlampau sayang sama anak semata wayangnya, sampai-sampai tidak tahu bagaimana cara yang benar untuk membuat anaknya bahagia.
    
Alifa mengeluarkan secarik kertas. "Ini dari Faris buat kamu. Dia nulis surat ini waktu di dalem penjara."
    
Mawar menerimanya. "Bakal aku baca nanti di rumah."

My Heart is Calling You✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang