٤٣ [أنت في قلبي دائما]

289 36 0
                                    

"Mencintai itu tidak cukup dengan tidak melukai hati orang yang dicinta, tapi juga harus bersabar saat dilukai orang yang dicinta."
-Imam Al Ghazali-

Alzam memegang gawainya dengan raut wajah yang sulit diartikan seraya memandang istirnya itu yang sedang memasangkan popok ke anak kembarnya yang telah lahir beberapa bulan yang lalu.

Kembar dua. Dan cowok semua. Kakaknya dikasih nama Zayyan Ibrahim Al Tareem Siraj dan Adiknya diberi nama Fawwaz Al El Emran Al A'raf Siraj.
    
Alhamdulillah. Nggak rese-rese banget. Cuma kemarin muka abinya abis dikasih berbagai macam make up sama si kembar yang udah mulai aktif bulu kakinya juga dicabut.
   
Nggak marah. Kan ummanya yang nyuruh. Si abi cuma bisa bersabar.
    
"Sayang...."
    
Alzam menghampiri dan duduk di pinggiran kasur seraya memeluk bantal.
   
Mawar mengerutkan alisnya. "Kenapa, Bi?"
    
"Adam..."
    
"Adam kenapa, Bi?"
    
"Adam udah nggak ada."
    
"Innalillahi...."
    
Mawar langsung beranjak dari duduknya dan memeluk suaminya itu. Alzam tak menangis, hanya saja mata cowok itu memerah menahan tangis.
    
"Hawa sama anak-anaknya..." Lirih Alzam.
    
Mawar mengelus pundak suaminya. "Kafa udah tau?"
    
Alzam tersenyum tipis. "Hari ini dia sekolah, pasti pulang-pulang langsung minta ke sana."
    
"Yaudah. Tunggu Aa aja."
    
"Umma?"
    
"Iya, Bi?
    
"Abi nggak sanggup jauh dari anak Abi. Tapi mau gimana lagi? Kafa minta yang nggak bisa kita prediksi sama sekali sebelumnya dan ini awalnya. Bukan hukuman tapi sedikit dikasih pelajaran aja. Dia jauh dari Shanum apa masih bisa untuk nyimpen rasanya?"
   
Mawar tersenyum. Paham akan maksud suaminya itu. "Kalo Umma percaya, Kafa nggak akan pernah berpaling. Sama kayak kamu. Sekalinya dia ya tetep dia."

•••
    

Zaki memandang Kafa dengan raut muka dongkol.

"Nyari Shanum, sih, di situ-situ aja," komen Zaki seraya memainkan ponselnya.
    
Kafa mendengus. "Shanum di mana?"
    
"Di makam Papinya. Ke sana aja."
    
Itu Putra yang menyahuti.
    
Kafa izin pamit kepada umma dan abinya untuk menghampiri Shanum di makam Adam yang terletak tepat di sebelah halaman rumah cewek itu.
    
Entah. Kafa tak tahu apa yang dibicarakan orang tuanya dengan maminya Shanum.
    
Kafa berjalan pelan lalu berdiri tepat beberapa meter di hadapan Shanum yang tengah menangisi makam papinya.
    
"Shanum?," Panggil Kafa.
    
Shanum berbalik dan tersenyum. Cewek itu berjongkok lalu menatap makam yang ada di hadapannya.
    
"Papi Shanum kenapa?"
    
"Kenapa Papi Shanum di taro di bawah tanah?"
    
"Kenapa Papi Shanum mau di taro di sana?"
    
Pertanyaan polos berturut-turut itu membuat Kafa tak kuasa untuk menjawabnya. Dia pikir Shanum tahu, dia pikir Shanum mengerti. Tapi Shanum persis seperti anak kecil lainnya yang belum tahu apa itu makna kembali kepada Nya.
    
"Papi kemarin sakit. Bilang ke Shanum katanya Papi bakalan selalu ada di samping Shanum minimal sampe Shanum menikah."
    
Kafa terkejut.
    
Hal itu sudah terjadi...
    
"Tapi Shanum belum nikah, kan?"
    
Udah...
    
Shanum mencoba menggapai tangan Kafa tapi nihil justru Kafa malah menjauh.
    
Anak itu....
    
Kafa tersenyum dan ikut berjongkok. "Jangan sentuh, ya. Aku takut nggak kuat."
    
"Kak Kafa tahu kenapa Papi Shanum di taro di sana? Zaki sama Putra tau, Abang tau tapi pada nggak mau ngasih tau."
    
Kafa tersenyum tipis. "Papi kamu udah kembali sama Allah."
    
Shanum menengok dengan mata basahnya. "Kembali sama Allah?"
    
"Iya..."
    
"Allah yang milikin kita?"
    
"Iya, Shanum...."
    
Seketika air matanya turun bertambah deras. "Kata Bang Afif kalo kita minjem barang terus kalo dipinta sama yang punya kita nggak boleh marah."
    
Kafa mengangguk. "Iya. Maksudnya itu."
    
Shanum menggeleng. "Shanum nggak marah tapi Shanum cuma sedih, Shanum kangen, Shanum rindu. Kak Kafa aja masih punya Umma Abi, masih bisa ketemu tapi kok Shanum cuma bisa ketemu sama Mami doang?"
    
"Shanum tenang aja. Papi Shanum, tuh, udah bahagia di sana."
    
Shanum mengerjapkan matanya. "Udah bahagia? Nggak ngerasain sakit lagi gitu maksudnya?"
    
Kafa memandang gemas Shanum yang lebih muda dua tahun darinya.
    
"Iya. Karena kan udah kembali sama pemiliknya dan mustahil pemiliknya itu nyakitin apa yang di milikinnya."
    
"Contohnya gimana?"
    
Kafa menggeleng. Cowok itu selalu fokus akan semburat merah yang selalu terpatri dikedua pipi cewek itu.
    
Jamilatan wa helwa jidan.
Cantik dan manis sangat.
    
"Kayak aku ke kamu."
    
"Kenapa bisa gitu?"
    
"Karena Allah mengizinkan kamu untuk meminjamkannya kepadaku."
    
Shanum makin tak paham.
    
"Kak?"
    
"Hm?"
    
"Kenapa keempat Abang kembarnya Shanum semuanya di pesantrenin sedangkan Shanum mau pondok nggak dibolehin?"
    
"Karena kamu anak terakhir. Kamu perempuan yang jelas lebih dijaga sama Mami." Ada jeda. "Kayak Umma dan Abi yang nggak pernah rela jauh dari anak-anaknya."
    
"Tapi Shanum, kan, mau pesantren? Mau jadi lebih baik lagi di sana."
    
Kafa tersenyum. "Cukup belajar di rumah aja, Shanum... Sampe waktu---"
    
"Sampe waktu apa, Kak?"
    
"Intinya tetep belajar di rumah. Tenang aja, suatu saat ada yang bimbing kamu. Tugas kamu jaga diri dari lelaki ajnabi."
    
Shanum menunduk. "Kak Kafa mau pesantren, ya?"
    
"Iya."
    
"Untuk apa?"
    
"Banyak. Salah satunya untuk bimbing istri Kafa nanti."
    
Shanum mendongak. "Tugas Kakak di pesantren apa?"
    
"Banyak. Salah satunya selalu Kafa dzikir, doa dan sholawat untuk istrinya Kafa."
    
Shanum berjalan melewati Kafa. Kafa mengikuti Shanum dari belakang.
    
"Dua hari aku udah di pesantren."
    
Shanum meneteskan air matanya. "Bang Afif, Bang Ibra, Bang Azhar, sama Bang Alif semua juga bakalan pulang lagi ke pesantren." Ada jeda. "Putra sama Zaki juga katanya bakalan ke pondok bareng Kak Kafa, kan?"
    
Kafa mengangguk. "Iya."
    
Anak itu meraih tangan Shanum.
    
"Katanya nggak boleh sentuh-sentuh?"
    
"Boleh. Kalo sama aku boleh tapi sama yang lain jangan."
    
"Kenapa?"
    
"Dia nggak halal untuk kamu nanti kamu dosa."
    
"Emangnya kamu halal untuk aku?"
    
"Halal. Bahkan dapet pahala."
    
"Humaira Shanum Ar Siregar?"
    
Shanum terkejut dipanggil Kafa dengan nama lengkapnya.
    
"Kenapa?"
    
"Janji, ya?"
    
"Janji apa?"
    
"Jangan pacaran."
    
"Kenapa?"
    
"Dosa, Shanum. Bahkan dosa besar."
    
"Kalo aku lupa?"
    
"Jangan pernah lupa."
    
"Gimana caranya?"
    
Kafa tersenyum lalu melepas genggamannya. Takut tidak kuat.
    
"Selalu ingat aku."
    
"Kalo aku lupa dan pacaran?" Shanum mengulang pertanyaannya.
    
Kafa tersenyum lebar. "Ya mau gimana lagi?" Ada jeda. "Kata Abi, Imam Al Ghazali pernah berkata. Mencintai itu tidak cukup dengan tidak melukai hati orang yang dicinta, tapi juga harus bersabar saat dilukai orang yang dicinta."
    
Shanum otomatis menengok. "Kalo aku pacaran apa itu ngelukain Kak Kafa?"
    
"Kafa aja manggilnya."
    
"Jawab dulu!"
    
"Iya."
    
"Apa marah?"
    
"Enggak."
    
"Kenapa nggak marah?"
    
"Abi selalu ngajarin. Kalo kita dilukai sama orang yang kita cinta jangan marah sama orangnya tapi marah sama diri-sendiri. Sebab apa? Sebab kita yang lalai dalam membimbingnya."
    
Shanum tersenyum dan memandang Kafa yang sangat sempurna dimatanya.
    
"Kafa cinta sama Shanum?"
    
Kontan Kafa tersenyum lebar. Mereka saling berhadapan. Anak itu mengacak surai Shanum.
    
"Jidan. Bahkan lebih dari itu. Anti fii qolbi da iman."
   
Sangat. Bahkan lebih dari itu. Kamu akan selalu ada dihatiku.

Zaki memandang dari arah kejauhan bersama Putra seraya menggelengkan kepalanya. Mereka lihat dari tadi itu orang jalan lama banget. Padahal kalo jalan biasa aja nggak ada lima menit udah nyampe ke sini.
 
Zaki berdiri lalu bergumam. "Ada ada aja kelakuan makhluk yang bersemayam di planet tiga dari tata surya galaksi bimasakti yang mempunyai satu satelit alam yang namanya bulan dan berlapis lima atmosfer dan tujuh puluh satu persen planetnya itu lautan, dalam suatu negara maritim dengan tujuh belas ribu lima ratus tiga pulau yang berkoordinat di enam LU, sebelas LS dan sembilan puluh lima BT, sampe seratus empat puluh satu BT, yang di lewati garis ekuator dan cuma punya dua musim, punya gunung berapi aktif terbanyak di dunia, bekas jajahan Portugis, Jepang dan Belanda yang merdeka pada tanggal tujuh belas Agustus sembilan belas empat lima. Antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia dalam sebuah benua Asia yang berkode negara plus enam dua."
 
Putra menyumpal telinganya dengan earphone. "Demi! Gue males banget denger ocehan lo!"
 
Syahnaz yang merupakan kakak perempuan dari Zaki itu menggelengkan kepalanya pelan.
 
"Lebih aneh si Zaki. Entah aliran darah mana dia."

•••

Mawar mempersiapkan keberangkatan Kafa dengan hati yang kuat. Cewek itu terus-menerus mencium seluruh permukaan wajah anaknya begitu juga dengan Alzam.
 
"Intinya... Baik-baik di sana."
 
"Iya, Abi..."

"Sekali dapet panggilan kalo kamu ditakzir, dua bulan nggak dikasih uang jajan," ancam Mawar seraya menggendong Zayyan yang tengah rewel.
    
"Besok kamu udah berangkat. Nanti sore ikut kita."

Mawar menengok. "Ke mana, Bi?," Tanyanya. Sebab Alzam langsung berkata seperti itu tidak bilang dahulu kepadanya.
    
"Ada..."
    
"Ke mana, Bi?," Sambung Nizam yang penasaran.
    
Alzam berdiri dan mengacak rambut anaknya. "Ke tempat pertama kali Umma dan Abi bertemu."

My Heart is Calling You✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang