٨ [الجانب الآخر]

350 52 1
                                    

"Dalam hal toleransi jadilah seperti air laut."
-Jalaluddin Rumi-

Mawar mencicipi masakannya itu dengan tenang.

"Enak banget, Tan, masakannya," komentar Mawar seraya terus menikmati ayam bakar saus tiram yang dibuat oleh Kejora dibantu Shila.

Kini mereka sudah siap semua di ruang makan. Ruangan itu sangat luas, sehingga bisa menampung puluhan orang di dalamnya, bahkan masih tersisa banyak bangku padahal mereka semua hampir sudah berkumpul. Tak terkecuali dengan Revan dan Alya yang masih berada di Musholla lantai paling atas rumahnya Magma.

Kejora memandang puas masakannya. "Pasti suami Tante seneng," ucapnya dengan tersenyum dan menarik bangku, duduk di sebelah Mawar.

Shila masih saja perang dingin dengan Darel. Entah sampai kapan mereka akur.

Mawar menghela napas pelan.

Magma yang duduknya berhadapan dengan Mawar tersenyum puas ketika sambal goreng buatan kekasihnya dicicipi olehnya bersamaan dengan tempe.

"Mawar...," Panggilnya lirih.

Mawar memandang Magma seolah bertanya, ada apa?

Magma tersenyum sebelum meraih gelas di hadapannya. "Nanti kalo udah nikah sama aku, sering-sering masak sambel, ya. Enak banget soalnya," ujarnya tak peduli tatapan semua orang yang menatapnya dengan tatapan berbeda-beda.

Kejora tersedak. "Jangan gitu, lah. Serem amat udah bahas rumah tangga," sanggah Kejora lalu detik berikutnya ketawa ketika melihat wajah Mawar sudah memerah.

Lagi asik-asik makan tiba-tiba Alya yang memang lebih lambat selesai sholat Maghribnya dibanding mereka itu berjalan tergesa-gesa dengan mata yang berkaca-kaca.

Mawar dan Shila yang melihat itu antispasi sedangkan Edward maju paling depan.

"Kenapa, Al?," Tanya Edward dengan raut muka yang tak bisa dijelaskan.

Mereka semua diam. Perlahan cewek itu menangis. "Tasbih yang dikasih Ayah hilang," lirihnya, dan dalam sekejap cewek itu terisak.

Mawar berdiri dari duduknya begitu juga dengan Shila.

"Jangan gitu, Al. Coba cari lagi," usul Shila yang tak kalah paniknya memegang bahu Alya.

Mawar mengangguk. "Ketinggalan apa gimana?," Tanya Mawar.

Alya menggeleng. "Gue nggak pernah nggak bawa tasbih itu," jawabnya cepat.

Edward berjalan ke arah atas tak peduli dengan tatapan semua orang. Orang-orang terdekat Alya sudah tahu betapa berharganya tasbih yang dikasih oleh Ayahnya itu. Ayahnya yang berprofesi sebagai pilot itu memang sudah menjadi konsekuensinya jika jarang sekali ada waktu bersama keluarga.

Meskipun begitu hubungan keluarganya terjalin harmonis. Hingga pada suatu hari, ketika Ayahnya kembali bertugas pria itu memberikan tasbih berwarna biru laut yang sangat indah. Nama lengkap Alya terukir begitu indah di beberapa butiran tasbih yang terbuat dari berlian dan permata itu, dan ujung tasbih yang menjuntai ke bawah itu terukir lafadz Allah yang sangat agung.

Mawar menatap penuh perhatian kepada sahabatnya itu. Ia tahu betapa berharganya tasbih yang selalu dibawa Alya itu. Pernah suatu ketika pada saat Mawar dan Shila bingung kenapa Alya sangat menyayangi tasbih itu, perempuan itu menjawab.

My Heart is Calling You✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang