٤٥ [نهاية]✓

909 40 0
                                    

Cinta yang abadi adalah cinta Allah dan Rasul Nya

    
Nizam melepas pecinya dan mengucek matanya yang masih setengah mengantuk. Beginilah rutinas mereka semua di dini hari. Kumpul di Musholla atas dan sholat malam, ziyadah serta murojaah bersama-sama.
    
Alma ngambek sebab anak itu lagi futur. Katanya, dia capek murojaah terus. Dirinya masih mengantuk.
    
Alzam menggeleng seraya mengelus kepala Alma yang berbalut mukena. "Kasih paham, A, adiknya biar ngerti!"
    
Anak sulungnya tersenyum. "Gapai surga emang nggak mudah. Karena surga itu indah. Perlu pincang-pincang buat gapainya. Kalo dikata capek, ya, capek. Tapi kalo kita cuma sampe hari ini aja hidup di dunia capek itu bakalan hilang. Namanya juga dunia tempatnya capek, kalo istirahat tempatnya di surga. Bahkan Rasulullah bilang, apapun aktivitas kita nanti di surga semua itu adalah istirahat. Alma paham, kan, maksudnya? Paham, lah... Aa nggak bisa definisikannya. Saking indahnya semua terasa istirahat di sana."
    
"Kalo kita gagal?," Tanya Nizam yang berusaha mengusir kantuknya.
    
Alzam tersenyum. "Nanti di Pandang Mahsyar bukan pertanyaan, kenapa kamu gagal atau nggak bisa. Tapi pertanyaan yang kamu dapatkan dari Nya adalah, kenapa kamu tidak memulainya?" Ada jeda. Alzam menggeleng pelan melihat istrinya yang menutup mata dan pahanya sebagai bantalan. "Segala sesuatu yang kita awali dengan niat karena Nya nggak ada yang sia-sia di sisi Nya. Kebaikan sekecil apapun tidak akan disia-siakan kelak oleh Nya di hari kiamat begitu pula dengan kejahatan sekecil apapun yang kita lakukan."
    
Kasyaf menutup kitabnya lalu bertanya. "Kenapa kita harus murojaah?"
    
Mawar yang tadinya menutup mata seketika membuka matanya mendengar pertanyaan Kasyaf. "Aneh banget pertanyaan kamu!" Ada jeda. Mawar bangun lalu menepuk paha Kasyaf.
    
"Ziyadah itu cinta, murojaah itu setia, ziyadah hafalan Qur'an tanpa sering murojaah sama kayak cinta tapi nggak setia."
    
Kasyaf mundur mendengar perumpamaan itu sedangkan Alzam tertawa. "Kaku banget kayaknya soal cinta, Kak?"
    
Kasyaf menggeleng. "Bukan gitu."
    
Alzam mengangguk. Paham maksud Kasyaf. "Di Shaidul Khatir halaman seratus tiga puluh tujuh oleh Ibnu Jauzi, beliau berkata. Betapa banyak seseorang yang telah meremehkan dari memurojaah ilmu yang telah ia hafal, hingga ia membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mengembalikan lagi ilmu yang telah terlupakan."
    
Perkataan Alzam sukses membuat anak-anaknya yang tadinya kurang bersemangat kini justru masing-masing dari mereka membuka kitabnya. Ziyadah sekaligus murojaah.
    
Alzam tersenyum lebar diikuti dengan istrinya.
    
"Abi sekalian cerita, ya. Kalian dengerin. Semoga jadi pembelajaran bagi kita semua."
    
Alzam berdehem. "Lelaki gagah itu mengayunkan pedangnya menebas tubuh demi tubuh pasukan romawi. Ia dulunya termasuk dari Tabi'in dua ratus tujuh puluh Hijriyah yang hafal Al Qur'an. Namanya adalah sebaik-baik nama, 'Abdah bin 'Abdurrahiim. Keimanannya nggak diragukan. Apa ada bandingannya di dunia ini seorang mujahid nan hafal Al Qur'an, terkenal akan keilmuannya, kezuhudannya, ibadahnya, puasa Daudnya serta ketaqwaan dan keimanannya? Tapi nggak disangka, akhir hayatnya mati dalam kemurtadan dan hilang semua isi Al Qur'an dalam hafalannya, melainkan dua ayat saja yang tersisa."
    
Serempak keempat anaknya itu menatap Alzam penuh. Alzam tersenyum puas dapat menarik perhatian anak-anaknya. "Kalian tau ayat apa dan apa penyebabnya?"
    
Mereka menggeleng.
    
"Pedangnya masih berkilat-kilat memantul cahaya mentari yang panas di tengah padang pasir yang gersang. Masih segar berlumur merahnya darah orang Romawi. Ia hantarkan orang Romawi itu ke neraka dengan pedangnya. Tak disangka pula, nantinya dirinya pun diantar ke neraka oleh seorang wanita Romawi. Bukan dengan pedang melainkan dengan asmara."
    
Mereka mulai menegang. Karena cinta, kah? Serempak keempat anak itu menggeleng. Tidak ingin hal itu terjadi kepadanya.
    
"Kaum Muslimin lagi mengepung kampung Romawi. Tiba-tiba mata 'Abdah tertuju kepada seorang wanita Romawi di dalam benteng. Kecantikan dan pesona wanita pirang itu begitu dahsyat mengobrak-abrik hatinya. Dia lupa bahwa tak seorang pun dijamin tak lolos su'ul khotimah. Tak tahan, ia pun mengirimkan surat cinta kepada wanita itu. Isinya kurang lebih, Adinda, bagaimana caranya agar aku bisa sampai ke pangkuanmu? Perempuan itu menjawab, Kakanda, masuklah agama Nasrani maka aku jadi milikmu."
    
Kasyaf mendelik sedangkan Nizam sudah terbatuk-batuk.
    
"Syahwat telah memenuhi relung hati 'Abdah sampai-sampai ia menjadi lupa beriman, tuli peringatan, dan buta Al Qur'an. Hatinya terbangun tembok anti hidayah. Khotamallaahu 'ala qulubihim wa'ala sam'ihim wa'ala abshorihim ghisyawah. Astaghfirullah, ma'adzallah."
    
"Pesona wanita itu telah mampu mengubur imannya di dasar samudera. Demi tubuh cantik nan fana itu, ia rela tinggalkan Islam. Ia rela murtad. Menikahlah dia di dalam benteng. Kaum Muslimin yang menyaksikan ini sangat terguncang. Bagaimana mungkin? Bagaimana bisa seorang hafidz yang hatinya dipenuhi Al Qur'an meninggalkan Allah Ta'ala dan menjadi hamba salib?"
    
Alma menelan ludahnya kasar.
    
"Ketika dibujuk untuk taubat, ia tak bisa. Ketika ditanyakan kepadanya, di mana Al Qur'anmu yang dulu? Ia menjawab, Aku telah lupa semua isi Al Qur'an kecuali 2 ayat saja yaitu, رُبَمَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ كَانُوا مُسْلِمِينَ. Yang artinya, orang-orang yang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang Muslim. ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الْأَمَلُ ۖفَسَوْفَ يَعْلَمُونَ. Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka). Qur'an surat Al Hijr ayat dua sampe tiga."
    
"Seolah ayat ini adalah hujjah untuk dirinya, kutukan sekaligus peringatan Allah Ta'ala yang terakhir, namun tak digubrisnya. Dan ia bahagia hidup berlimpah harta dan keturunan bersama kaum Nasrani. Dalam keadaan seperti itulah dia sampai mati. Mati dalam keadaan murtad."
    
Mereka kompak membuang muka dan menggumamkan istighfar.
    
Mawar beringsut di hadapan Alzam dan menatap lekat suaminya itu seraya berkata lirih. "Ya Allah, seorang hafidz nan mujahid saja bisa Kau angkat nikmat imannya berbalik murtad jika sudah ditetapkan murtad. Apalagi hamba yang banyak cacat ini. Tak punya amal andalan."
    
Kasyaf tersenyum lalu berkata. "Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang maha dahsyat bahayanya bagi lelaki kecuali fitnah wanita. Muttafaq 'alaih."
    
Alzam terkekeh. "Mau denger kisah sufi Rabiah Al-Adhawiyah nggak?"
    
Spontan anak-anaknya mengangguk begitu pula dengan Mawar. Kasyaf tersenyum, karena cowok itu sudah tau sedikit tentang beliau.

My Heart is Calling You✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang