٣١ [عرض]

330 33 0
                                    

"Carilah hatimu di tiga tempat. Temui hatimu sewaktu bangun membaca Qur'an. Tetapi jika tidak kau temui, carilah hatimu ketika mengerjakan sholat. Jika tidak kau temui juga, carilah hatimu ketika duduk tafakur mengingat mati. Jika kau tidak temui juga, maka berdoalah kepada Allah. Pintalah hati yang baru karena hakikatnya saat ini kau tidak mempunyai hati."
-Imam Al Ghazali-

Alzam duduk di pelataran rumahnya bersama Magma yang berada di sampingnya. Cowok itu berkali-kali melirik Magma lalu mengembuskan napas. Ingin bicara, tapi tidak tahu bagaimana caranya.
    
Magma mendengus. Alzam kalau belum ditegur memang suka tidak sadar.
    
"Mau ngomong apa?"
    
Alzam melirik. "Seperti yang kamu tau. Aku bakalan ngelamar Mawar."
    
Firasat Magma sudah tak enak.

"Terus?"
    
Alzam kontan menghadap ke arah Magma. "Apa kamu serius udah lupain Mawar?"
    
Magma menduduk. "Mau gue lupa atau enggak itu bukan urusan lo, Al. Bukan urusan Mawar juga. Karena emang dari awal, gue nggak pernah bisa dapetin hati Mawar."
    
Mendengar penuturan Magma, Alzam tersenyum simpul. "Seperti yang kamu bilang, kalo misalnya perempuan itu suka telat menyadari." Ada jeda. Alzam meminum teh hangat miliknya. "Aku nggak mau kalo seandainya Mawar telat sadar terus jadi nyesel nikah sama aku."
    
Magma menoleh lalu terkekeh. "Jaman sekarang masih ada yang nyesel nikah sama yang modelan kayak lo?," Ada jeda. "Mustahil banget!"
    
Alzam mengibaskan tangannya. "Aku nawarin, nih, ke kamu. Pake dengan sebaik-baiknya."
    
Magma menaikan salah satu alisnya.
    
"Mari sama-sama lamar Mawar di hari yang sama."
    
Seketika itu juga Magma refleks menepuk pahanya lumayan kencang.

"Istighfar! Serius, nggak gitu juga kali?," Tanggap Magma cepat tak habis pikir.
    
"Justru itu. Itu satu-satunya cara supaya kita tau hati Mawar bakalan lebih condong ke siapa. Urusan menang atau enggak, itu urusan Allah. Karena hakikatnya itu takdir. Sama kayak dulu, permasalahan kayak gini nggak ngebuat kekeluargaan kita bakalan rusak gitu aja. Karena pondasi tetap sama, pentingin tali persaudaraan, geserkan sedikit rasa dan ego. Jadi gimana?"
    
"Apa lo nggak nyesel?"
    
Alzam mesem. "Bau-baunya udah PD banget kayaknya."
    
Magma tertawa nyaring. "Bukan gitu. Gue optimis dikit, lah. Tapi pasti ada yang ditolak, kan. Apa bakalan baik-baik aja?"
    
Alzam mengerti. "Kita sama-sama nggak punya hak untuk cemburu kepada perempuan lain sebelum bisa menghalalkannya."
    
"Jadi gimana?"
    
Magma tersenyum. "Oke."

•••

Mawar meletakkan cemilan di atas meja. Cewek itu terkejut ketika sore hari datanglah Alya juga Shila ke rumahnya. Padahal, tempo lalu Alya bilang beberapa bulan baru balik.
    
"Kok, udah balik, Al?," Tanya Mawar penasaran dan menempatkan dirinya di samping Shila yang perutnya semakin membuncit itu.
    
"Gue, kan, emang udah selesai wisudanya. Gue kira bakalan masih betah di sono tapi udah puas, ah. Terlalu kangen sama yang di sini."
    
Shila mesem seraya mengupas kulit jeruk. "Kangen sama siapa?"
    
Alya terbelalak. "Nggak gitu bumil!"
    
"Udah punya calon?," Mawar bertanya.
    
Alya menggaruk lehernya yang tak gatal. "Nggak tau."
    
Mawar mendekat lalu setengah berbisik kepada Alya dan Shila. "Beberapa hari yang lalu masa Revan minta nomor lo ke gue!"
    
Alya melotot. "Lo serius?!"
    
Mawar mengangguk mantap. "Serius seratus persen." Lalu detik berikutnya tertawa. "Gue nahan tawa! Waktu orangnya bilang, apa Alya sholawatin gue terus sampe gue selalu inget dia?"
    
Otomatis Shila tersedak air jeruk yang membuat Mawar dan Alya panik. "Pelan-pelan, Shil! Nanti debaynya kenapa-napa!" Lontar Alya khawatir.
    
Shila berdecak. "Gue dilupakan."
    
Mawar tertawa.
    
"Sebenernya waktu di Turki gue ketemu sama dia."
    
"HAH?!" Refleks Shila berteriak. Jiwa keponya mulai keluar. "Coba ceritain!"

"Ya, gitu.... Waktu pas lagi ada acara di maskapai penerbangan Ayah ketemu sama keluarga Revan. Awalnya gue nggak yakin, sih, itu dia, karena beda banget! Tapi setelah gue tanya ke Ayah gue ternyata itu bener dia. Jadi, gue baru tau.... Maskapai tempat Ayah kerja itu punya keluarga dia." Alya ngakak. "Gue dulu kayaknya agak songong sama si Revan. Nggak saling nyapa, sih, di sono, cuma saling lirik dikit-dikit aja. Mungkin emang gue juga udah beda kali, ya?"
    
Mawar tersenyum menggoda. "Ck! Beda banget, Al, sama diri lo yang dulu!"
    
"Gue nggak pernah sholawatin Revan. Ada-ada aja."
    
Shila ngakak. "Emang pedenya Revan, tuh, udah mendarah daging!"
    
"Gue nyuruh dia suruh langsung datengin rumah lo. Tapi nyatanya beberapa kali emang udah ke sono tapi kosong, sempet minta nomor Ayah lo juga. Cuma gue tolak, Al. Gue nggak mau lo disakitin."
    
Alya manyun, setengah terharu.
    
"Bener banget! Apalagi kalo emang Revan belum sepenuhnya lupa sama Anisa," opini Shila cepat tanggap.
    
"Kalo Revan lamar lo, lo siap, Al?," Tanya Mawar hati-hati seraya membuka ponselnya.
    
Sedikit diam. "Nggak tau."
    
Seketika hati Mawar ikut tercubit ketika ada pesan masuk dari Revan.
    
Anisa nerima
    
Pesan itu hanya dibaca oleh Mawar lalu menaruh ponselnya kembali.
    
Menatap Alya seraya memegang gelas. "Cari calon imam lain aja, deh, Al!"
    
Mawar berkata dengan nada sedikit sewot yang membuat Alya dan Shila menatapnya bingung.

My Heart is Calling You✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang