٢٣ [التقي مرة أخرى]

291 39 0
                                    

"Pilihlah lelaki yang baik agamanya. Jika marah tidak akan menghina, bila cinta akan memuliakan."
-Imam Hasan Al Basri-

7 tahun kemudian....
    
Mawar tersenyum ke arah kamera bersama Raka dan Alifa. Gladis yang memotretnya.
    
Tepat pada hari ini cewek itu lulus S1 dan akan langsung melanjutkan studinya sampai S2.
    
Shila tertawa bersama Darel. Ngomong-ngomong cewek itu tengah hamil tiga bulan. Nyatanya, Darel menunggu mereka lulus sekolah dulu. Dan Alhamdulillah, sekian lama berusaha akhirnya mereka mendapatkan yang diinginkan tepat tiga bulan yang lalu.
    
Hanya Mawar, Shila dan Darel sajalah yang satu Universitas meskipun beda fakultas. Lain halnya dengan Alya. Alya dibawa oleh Ayahnya ke Turki untuk meneruskan studinya itu.
    
"Cie, yang udah wisuda," goda Gladis seraya memperhatikan hasil jepretannya tadi.
    
Mawar tersenyum. "Mudah-mudahan masuk." Harap Mawar kepada Allah.
    
"Nggak mau langsung nerusin perusahaan Papa aja?," Tanya Raka menawarkan.
   
Mawar masuk ke dalam kursi penumpang diikuti oleh Gladis yang duduk di sampingnya, juga Alifa dan Raka yang ikut masuk ke dalam mobil. Sedangkan Darel dan Shila pulang dengan mobil mereka. Setelah lumayan lama berbincang, akhirnya mereka memutuskan untuk pulang ke rumah.
    
"Papa emangnya udah capek?" Mawar berpikir lalu mengangguk. "Apa aku sampe S1 aja nggak papa? Apa kalian nggak malu?"
    
Sontak saja mereka semua tertawa. Raka tersenyum, hati Mawar terunyuh. Dirinya sangat bersyukur kepada Allah sebab masih ada kedua orang tuanya di sampingnya pada saat dirinya wisuda.
    
"Ngapain Papa malu, Sayang? Memang pendidikan itu penting. Tapi menurut Papa, lebih bagusan kamu langsung nerusin perusahaan Papa karena skill kamu juga udah mantep! Kalo mau lanjut S2 dulu, ya, nggak papa, sih," Raka menghela napas. "Tapi tolong, dong. Papa mau cang-ucang-angge aja di rumah sama Mama kamu. Rasa-rasanya udah terlalu tua Papa, tuh." Raka malah curhat.
    
Mawar tertawa. "Aku pikir dulu."
    
Gladis memegang bahu Mawar. "Ambil keputusan yang tepat, ya. Berdasarkan hati kamu. Pendidikan emang penting, semakin bagus pendidikan orang semakin mudah juga nyari kerjanya. Itu yang kita pandang selama ini, kan?," Mawar mengangguk sedangkan Gladis menggeleng.

"Padahal menurut Kakak... Meski pun pendidikan kita tinggi kalo kita nggak punya skill apapun itu sama aja. Karena banyak yang sekarang lulusan SMP, tuh, banyak yang sukses. "Ada jeda. "Pernah Kakak ceritain, kan? Seorang wanita yang nggak lulus SMP justru sekarang jadi pebisnis kaya, punya perusahaan sendiri. Ini buat pelajaran kita ke depannya aja, sih... Pendidikan emang penting tapi harus dikejar juga pake skill. Begitu juga dengan orang yang pendidikannya tinggi harus punya adab yang baik pula jangan mandang rendah orang yang pendidikannya nggak setinggi dia. Karena nilai hanya angka yang bukan menjadi tolak ukur kesuksesan orang. Selebihnya semua terserah Allah, kita nggak boleh takabur duluan."
    
Alifa tiba-tiba menyerahkan sebuah tiket.
    
Mawar melotot. "Tiket pesawat?!"
    
Gladis geleng-geleng kepala melihat ekspresi sepupunya itu.
   
Tubuh Mawar bergetar. Tanpa sadar dirinya terharu lalu menangis. Dengan bergetar dia mengelus tiket pesawat itu. "Ma, Pa... Ini serius?!"
    
Raka mengangguk. "Hadiah buat kamu karena udah sabar selama ini sama kelakuan kita yang nyangkut orang itu."
    
Mawar tertawa seraya mengeluarkan isakannya. Terlalu bahagia. "Fix! Kalo gini aku nggak bisa nolak keinginan Papa. Tapi tetep aku bakal lanjut S2 supaya bisa banggain Papa Mama. Aku bakalan nerusin perusahaan Papa sambil kuliah."

•••

Sesampainya di kamar Mawar masih terus memeluk tiket pesawat yang bertujuan ke negara itu. Dirinya tak menyangka akan dikasih kejutan seperti ini.
    
"Sebentar lagi, Kak.... Kita bakalan ketemu."
    
Gladis masuk ke dalam kamar sepupunya itu terlihat cewek itu yang sedang menggeret koper.
    
Mawar terkekeh. "Makasih, ya, Kak! Udah luangin waktu buat nemenin aku ke sana. Padahal setauku dokter itu sibuk banget, loh."
    
Gladis hanya tersenyum.
    
Mawar berjalan ke arah jendela kamarnya. Di bukanya tirai itu lalu seketika senja terlihat begitu indah. Dirinya tersenyum. "Kalo Kak Alzam nanyain dia gimana, Kak?," Tanya Mawar cemas.
    
Gladis duduk. "Jelasin ke dia. Kakak tau dia nggak bisa marah orangnya."
    
Mawar menghempaskan dirinya di tempat tidur. "Kak Magma gimana, ya, kabarnya?"
    
Refleks Gladis melempar bantal ke sepupunya itu sedangkan Mawar hanya tertawa.
    
"Jangan maruk! Pilih salah satu!"
    
Mawar tak menggubris. Dirinya membuka mushaf Al-Qur'an lalu senyumnya mengembang sempurna.

My Heart is Calling You✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang