If Qur'an siad it's haraam, your opinion doesn't matter
Mawar membasuh wajahnya itu dengan facial wash yang ia punya. Hari sudah malam dan esok pagi dirinya sudah harus kembali lagi ke negara asalnya bersama Gladis. Untuk kali ini, cewek itu berdiam diri berpura-pura untuk tidak terlalu peduli apa urusan kedua orang tuanya bersama yang lain masih di negara ini ketika dirinya bersama Gladis sudah kembali ke negara asal.
Cewek itu berjalan ke arah tempat tidur tapi tiba-tiba Gladis masuk ke kamarnya seraya membawa senyum manisnya.
"Kamu keluar, gih!" Titah Gladis kepada Mawar.
Mawar menyeringit heran. "Ada apa?"
Gladis mengedikkan bahunya. "Ada Alzam sama keluarganya di bawah."
Mawar memandang ragu sedangkan Gladis sudah selimutan. "Cek aja kalo nggak percaya."
"Bukannya lusa baru ke sini?
Gladis menggeleng. "Terlalu kangen jadi dipercepat."•••
"Afwan jiddan."
Lolosan kalimat Alzam barusan membuat Mawar tak kuasa untuk tak memandangnya.
"Aku bener-bener minta maaf."
"Begitu juga dengan kita," timbrung Marwah, Uminya Alzam.
Mawar mengangguk. "Dimaafkan."
Afzal menepuk pahanya lalu berdehem. "Jadi gimana?"
Mawar memandang bingung. "Gimana apanya, ya?"
Raut wajah Alzam berubah. "Mawar, apa kamu masih mau lanjut ta'aruf sama aku?"
Baru saja Mawar ingin menjawab tapi tiba-tiba ada dua orang pemuda yang ikut bergabung bersama mereka bersamaan dengan memberikan salam.
Serempak mereka menjawab. "Wa'alaikumussalam."
Sumpah! Kalo kayak gini jadinya, mending cewek itu pura-pura tidur aja tadi di kamarnya. Seumur-umur dirinya tak menyangka akan berada di posisi ini. Magma---mantannya juga Alzam---ta'arufnya di sini bersama seluruh keluarganya.
Awkard banget!
Masalahnya... Mau jawab juga nggak enak karena ada Kejora pula di sini. Merasa berdosa banget jadinya. Apalagi si Revan yang mulutnya selalu ambles.
Marwah tersenyum. "Kenapa lama banget di Masjidnya?," Tanya Marwah mengetes Magma.
Magma tersenyum dan menunduk. "Karena hidayah Allah itu indah."
Di sampingnya---Kejora menahan air mata yang ingin tumpah itu. Terlalu bahagia.
Xilcia tersenyum dan membenarkan jilbabnya. "Barakallah, Kak!"
Marvel gemas. Dirinya merapatkan tubuhnya bersama tubuh Xilcia dan membekapnya, tak tahu situasi. Mereka semua hanya menggelengkan kepalanya.
Biasa, pengantin baru.
Afzal memandang Mawar lagi. "Jadi gimana? Apa kamu siap dikhitbah anak saya?"
Mawar spontan menegakkan tubuhnya dan terkekeh pelan. "Sebentar, deh. Nggak salah ngomong, kan?"
Alzam menggeleng. "Nggak, Mawar. Apa kamu siap aku khitbah?"
Mawar bimbang dan menatap Alifa dan Raka yang sedari tadi hanya diam.
"Kalo kamu siap, malam ini juga, detik ini juga aku akan khitbah."
Tiba-tiba Magma bangkit dan membawa tas Kejora. Cowok itu berdehem. "Umi, ayo kita pulang!" Ajak Magma tiba-tiba.
Mereka hanya diam.
"Kenapa?"
Magma tersenyum dan merangkul Kejora. "Umi lupa? Besok siang, kan, sidang penceraian, jam satu pagi kita udah berangkat. Alangkah lebih baiknya, Umi tidur dari sekarang biar nggak capek nantinya."
Marvel ikutan bangkit begitu juga dengan Xilcia. Cowok itu tidak tega melihat mata Magma yang jika diperhatikan baik-baik sudah memerah.
Kejora mengangguk. "Ah, iya.... Kita pamit duluan, ya. Assalamu'alaikum." Ada jeda, Kejora mendekat ke arah Mawar dan tersenyum simpul."Mawar, ikutin apa hati kamu jawaban apapun itu. Kamu tenang aja. Dari dulu seberat apapun masalah, bahkan sampe masalah rasa nggak akan mempan buat mutusin tali persaudaraan kita semua. Jadi kamu jangan sungkan, ya. Pilih yang kamu mau."
Selepas kepergian Magma bersama keluarganya, suasana berubah menjadi canggung.
"Apa nggak kecepatan? Bahkan aku baru mau S2, loh."
"Emangnya ada larangan di univ kamu kalo nggak boleh nikah?"
Pertanyaan spontan dari Alzam itu membuat mereka semua tertawa.
Qiara menepuk pelan pundak Abangnya. "Apa, sih! Buru-buru banget kayaknya."
"Bukan buru-buru, Sayang. Ini, tuh, namanya menjemput takdir Allah," sahut Alzam cepat seraya menoleh ke arah Adiknya itu dengan senyum sayang.
"PREETT!!" Revan mulai mengacau.
"Kasih aku waktu."
Ucapan Mawar barusan berhasil memberhentikan interaksi mereka semua.
Alzam mengangguk. "Oke, sampe besok!"
Sontak saja Marwah yang sudah tidak tahan itu menepuk gemas paha Alzam. "Yang bener aja kamu, Al!"
"Bercanda, Umi... Satu minggu."
Mereka saling mengkode dan tersenyum.
"Oke."
Selepas berbincang hal-hal yang lumayan penting, akhirnya keluarga Alzam pamit undur diri. Alzam duluan masuk ke dalam mobil dibantu dengan Qiara yang membukakan pintu mobilnya untuk Alzam. Cowok itu masih sama, masih selalu memakai penutup mata.
Revan izin sebentar kepada kedua orang tuanya untuk mengobrol bersama Mawar.
Mawar memandang bingung. "Ada apa, ya?"
Revan bergerak gelisah. "Gimana, ya, ngomongnya." Ada jeda, lumayan lama. "Minta nomor Alya boleh?"
Mawar terkejut. "Buat apaan, Kak?"
Revan meraup mukanya kasar. "Apa Alya selalu sholawatin gue sampe gue ke inget dia terus setelah lulus dari SMA? Lo tau berapa lamanya, kan, sampe sekarang?"
Mawar memandang Revan jijik dan bersiap untuk berbalik. "Minta aja langsung sama orangnya."
Revan jengkel. "Nggak bisa gitu. Gue aja nggak tau sekarang dia di mana."
Refleks Mawar berbalik dan kembali menghampiri. "Sebentar. Jangan bilang lo nyamperin ke rumahnya?!" Tuding Mawar dengan tatapan mengintimidasi.
Revan mengangguk. "Iya. Tapi kosong."
Mawar menghela napas. Ikut bingung dan ikut merasa iba.
Si Revan kasihan juga kalo lagi bucin gini.
"Gue kasih nomornya, tapi..."
"Tapi?"
"Sebelum gue ngasih nomor Alya ke lo, lanjutin kemantepan hati lo buat Alya. Apa lo yakin udah nggak sama Anisa lagi?"
Revan bungkam sedangkan Mawar tersenyum mengejek. "Gue nggak akan biarin Alya disakitin."
Mawar agak mendekat. "Satu lagi. Alya itu paling disayang dikeluarganya karena dia anak satu-satunya. Bundanya jangan ditanya apalagi Ayahnya! Dan kalo lo ketauan sama Edward suka sama Alya, gue nggak tau seberapa lama lo diinterogasi sama Edward. Mantannya aja yang ngajak pacaran dipepet terus tujuh hari tujuh malam sama si Edward apalagi lo yang mungkin bakalan ada keinginan serius sama Alya."
Revan mundur. "Sebenernya, selama ini tanpa henti gue selalu sholat istikharah," kasih tahu Revan tanpa ada minat pamer.
"Dan hati gue selalu condong sama Alya."
"Terus mau lo ke manain Anisa?"
Mawar ikut berfikir. "Anisa yang lo suka dari kecil, Kak. Gue nggak mau lo nyesel. Coba sekali lagi, minta ajak ta'aruf Anisa, kalo reaksi jantung lo sama kayak waktu dulu itu tandanya lo masih ada rasa sama dia. Gue nggak mau Alya disakitin."
Revan menelan salivanya, takut kemungkinan terjadi. "Kalo Anisa nerima?"
Seketika Mawar tertawa. "Kalo reaksi lo masih kayak waktu dulu pas ngajak dia ta'aruf, ya, gas aja!"
"Jadi gue belom bisa dikasih nomor Alya, nih?"
Nyatanya Revan tak gentar.
"Kalo nomor Ayahnya aja gimana? Langsung ngomong ke Ayahnya?" Tawar Mawar dengan nada menantang.
Revan tersenyum sinis. "Siapa takut? Justru itu tujuan utamanya." Ada jeda. "Kalo gitu, mana nomornya? Mau gue ajak ketemuan."
Mawar memandang geli dan beringsut mundur. "Seperti yang gue bilang tadi, mantepin dulu, Kak! Kalo udah mantep baru gue kasih atau nggak, langsung dateng ke rumahnya aja. Beberapa bulan lagi dia pulang, kok."
Revan bingung. "Alya emangnya ke mana?"
Mawar tersenyum. Cewek itu sebenarnya dapat melihat jika Revan sudah mantap dengan Alya. Tapi siapa tahu, kan?
"Semenjak lulus SMA, Alya dibawa langsung sama Ayahnya ke Turki buat kuliah di sana."
Revan terkejut. "Bundanya juga ikut?"
"Ya, semuanya, lah!" Sentak Mawar bete. Dirinya sudah mulai mengantuk tapi Revan masih ingin mengulik Alya darinya.
Revan menggeleng dan mengenyahkan pikirannya. Apa mungkin ketika beberapa bulan yang lalu itu beneran Alya yang dia temui bersama suaminya Qiara di Turki?
"Oke. Makasih infonya."
Akhirnya hanya itu yang Revan ucapkan sebelum naik ke dalam mobil keluarganya tanpa ada minat untuk mengasih tahu apa yang terjadi ketika tanpa sengaja dirinya bertemu dengan sosok Alya bersama keluarga cewek itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Heart is Calling You✓
EspiritualMawar Syakila Putri. Perempuan yang dipaksa untuk menjadi pacar dari seorang Magma Farel Danendra untuk mencapai tujuannya. Berkali-kali Mawar menolak, berkali-kali juga lah dirinya mendapatkan tolakan dari cowok itu. Hingga sebuah persyaratan cewek...