٤٠ [انت حبي زوجتي]

408 34 0
                                    

"Seindah apapun rumah yang engkau bangun, semewah apapun kendaraan yang engkau miliki, sebesar apapun penghasilan yang engkau dapat, sebanyak apapun kawan dan teman ngobrolmu. Tanpa istri sholehah yang mendampingimu pada hakikatnya hidupmu bak malam yang gelap gulita tanpa purnama yang menerangi. Karena engkau belum meraih perhiasan terbaik di dunia ini."
-Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, MA Fafidzahullah-

    
Mawar mengelus perut buncitnya yang sudah memasukki bulan kesembilan itu. Dirinya sekarang mengerti bagaimana suka dan cita dari mengandung sang buah hati.
    
Mawar tersenyum seraya menikmati semilir angin yang diterpa hujan. Wanita itu tengah duduk di teras rumahnya seraya melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan tangan yang senantiasa mengelus perutnya. Berharap generasi yang dia juga suaminya bangun kelak akan menjadi harta di dunia juga di akhirat begitu juga generasi selanjutnya.
    
Mawar meringis sedikit ketika tiba-tiba perutnya terasa sakit. "Kak Alzam kapan pulang, ya?," Gumamnya dengan nada lirih berusaha menahan sakit.
    
Pasalnya, Alzam sudah bekerja di salah satu rumah sakit milik keluarga Gladis. Gladis yang menawari dan Alzam pun menerimanya dengan syarat pasien yang dia tangani hanya seorang lelaki meskipun cowok itu berprofesi sebagai dokter bedah.
    
"Sabar, ya," ujar Mawar pelan dengan tangan yang masih setia mengelus perutnya itu.
    
Mawar merutuki dirinya. Sebab, dari jauh-jauh hari pun Alzam sudah sangat mewanti-wanti istrinya itu. Alzam ingin cuti tapi ditolak oleh Mawar, juga Alzam ingin membawa Mawar bersama kedua orang tuanya agar lebih aman hanya saja Mawar tidak ingin merepotkan. Pasalnya, kedua orang tua mereka sedang berada di luar kota.
    
Cewek itu makin merintih kesakitan tatkala kontraksi yang dirasakannya makin menjadi-jadi.
    
"Ya Allah..."
    
Hanya itu yang dapat Mawar ucapkan. Dirinya ingin masuk dan mengambil ponselnya tapi sakitnya yang begitu hebat membuat tubuhnya tak bisa berkutik sama sekali.
    
Mawar meneteskan air matanya. Sebentar lagi dirinya akan beneran menjadi seorang ibu. Lagi, pertolongan Allah itu dekat dan tidak akan pernah terlambat. Bersamaan dengan Mawar yang tiba-tiba menjerit sebab ketubannya pecah lalu sebuah mobil masuk ke perkarangan rumahnya. Beruntung hujan sudah reda.
    
Alzam langsung berlari ketika melihat Mawar yang sepertinya sangat kesakitan itu.
    
"Kak!" / "Sayang!"
    
Pada sekon yang sama mereka saling menyapa.
    
Alzam buru-buru menggendong tubuh Mawar itu, mengesampingkan rasa pegal akibat kerja seharian. Sebelum menyetir, dirinya menelpon beberapa sanak keluarganya untuk meminta tolong.
    
Alzam memanggil supirnya itu yang sudah kembali selesai berbelanja.
    
Di dalam perjalanan cowok itu terus memangku tubuh Mawar yang basah keringat. Alzam, dengan hati yang lembut itu dirinya tak kuasa melihat istrinya menahan sakit. Jadi teringat uminya.
    
Alzam mengecup kening Mawar dengan lama bertepatan dengan air mata yang mengucur bebas. "Kuat, ya. Demi Allah, demi aku, demi anak kita."

•••

Mawar menggenggam tangan Alzam erat. Cowok itu terus-menerus berdzikir kepada Allah dengan membawa tasbih ditangannya. Ketika Mawar ingin mengenjan, Alzam berbisik lirih.
    
"Jangan sebut namaku tapi sebut Asma Allah."
    
Mau tak mau Mawar mengeluarkan air matanya dan mengangguk patuh mendengar ucapan Alzam yang sukses membuat dirinya bungkam. Alzam, lelaki langka yang ditemui di dunia nyata. Dan untuk kesekian kalinya dirinya benar-benar beruntung dapat ditakdirkan bersama orang itu.
    
"Siap, ya, Bu."
    
Intruksi dari dokter terdengar. Mawar mengangguk lemah. Alzam tangisnya pecah, dirinya seenggukan. Selain melihat Mawar yang kesakitan itu, dirinya jadi tahu bagaimana gambaran ketika uminya melahirkannya dulu. Cowok itu tidak cengeng. Apa salahnya menangis sebab pengorbanan wanita yang di mana lelaki tak dapat melakukannya? Hati cowok itu terlampau lembut.
    
Beberapa menit kemudian tangis bayi pecah bersamaan Alzam yang terduduk lemah di kursi. Mawar, cewek itu seketika rasa sakitnya meluap entah ke mana tergantikan dengan rasa haru yang menyelimuti dada.
    
Alzam bangun lalu menunduk untuk mencium seluruh wajah Mawar sedangkan Mawar hanya diam. "Makasih, Sayang..." Bahkan saking tak tahunya bagaimana cara mengungkapkan hanya itu yang dapat cowok itu lisankan.
    
Alzam mencium punggung tangan Mawar. "Anti habibati, Ya zaujati. Asyhadu alam ro atan illa Umi wa anti."
    
Engkaulah kasihku, cintaku, sayangku, segalanya bagiku, Wahai Istriku. Aku bersaksi tiada perempuan selain Umi dan engkau.
    
Mawar terkekeh geli tapi pipinya tak dapat bisa bohong. "Kak, mau minum."
    
Alzam dengan gesit mengambil gelas lalu menuntun pelan-pelan istrinya itu untuk minum melalui sedotan.
    
Bertepatan dengan itu seorang suster masuk seraya membawa bayinya. "Di susuin, ya, Ibu. Kalo boleh komen, ini kok aura anaknya beda, ya. Masya Allah banget! Ganteng polll dari perpaduan orang tuanya."
    
Alzam tak dapat menyembunyikan senyum bahagianya ketika tahu anak pertamanya adalah lelaki. Mawar mengambil alih lalu suster itu berlalu. Alzam paham dengan tatapan Mawar. Cowok itu menggendong bayinya dengan mata berkaca-kaca.
    
"Masya Allah, Sayang...."
    
Di dekatkan telinga anaknya itu ke bibirnya lalu mengadzankan anaknya dengan suara lirih.
    
"Allahuakbar Allahuakbar..."
    
Mawar kontan menoleh lalu mengerjap terkejut. Jadi.... Yang beberapa tahun lalu dirinya dengar itu adalah suara suaminya sendiri? Menggeleng miris dan tersenyum lucu.
    
Selesai adzan, Alzam mencium aroma khas anaknya itu dan membawa jagoannya kembali kepada istri.
    
Mawar kontan tertawa ketika Alzam berbalik dan menyembunyikan tangisnya.
    
"Kakak lucu, deh."
    
Punggung Alzam masih bergetar tapi cowok itu langsung berbalik dan merangkul istrinya. "Aku bener-bener bahagia banget."
    
Mawar menengok ke atas seraya menyusui anaknya itu. "Abi..."
    
Alzam terlonjak kaget. "Abi?"
    
Mawar mengangguk dan tersenyum tipis. "Iya, Abi dan Umma."
    
Alzam menatap gemas istrinya itu. "Jadi panggilannya udah berubah." Ada jeda. Cowok itu mengelus rambut anaknya.
    
"Namanya, Kafa Al Kahfi Siraj."
    
"Nama yang indah seperti Abinya," tanggap Mawar cepat yang membuat Alzam salah tingkah sendiri.
    
"Tolong lain kali jangan kayak gitu. Aku nggak kuat."
    
"Dih! Gembel!"
    
Alzam tertawa lepas yang mendapatkan tatapan peringatan dari Mawar karena bayinya seketika menggeliat.
    
"Abi mending pulang, deh! Bersih-bersih, mandi, makan, istirahat."
    
Alzam menggeleng tipis. "Di sini juga bisa. Aku udah minta tolong sama yang lain buat nyiapin salin ke sini. Bersih-bersih sama mandi bisa di sini, ibadah juga. Kalo istirahat, ngeliat istri sama anak aku aja itu udah termasuk istirahat untukku."
    
Mawar mendelik. Bisa-bisanya!
    
"Abi, Umma mau nanya, deh." Ada jeda. "Setelah sepuluh tahun menikah, Abi masih cinta aku nggak?"
    
Alzam menekuk alisnya heran. "Kenapa nanya kayak gitu, hm?"
    
Mawar menggeleng pelan dan menunduk. "Nggak papa, nanya aja. Mungkin karena Umma nggak secantik yang dulu?"
    
Alzam tersenyum lembut. Dengan penuh pengertian dan perhatiannya cowok itu menoel pipi tembem milik istrinya lalu mengelusnya hingga pipi itu berubah menjadi warna merah. Alzam tersenyum penuh kemenangan melihat itu.
    
"Umma.... Mau Umma marah, nangis, cemburuan, sampe keriput Abi tetep cinta. Karena cinta setelah menikah adalah kewajiban."
    
"Gembel! Gembel!"
    
Alzam terkekeh geli melihat Mawar yang menggeliat ke sana ke mari untuk menyembunyikan pipinya yang tambah memerah.
    
"Gembel gimana, sih, Sayang? Kamu nanya, yaudah aku jawab."
    
"Jawabannya rese!"
    
"Itu kenyataannya, Sayang...."
    
"Tuh, kan.... Malah tambah rese!"
    
Alzam mengabaikan pipi perempuan itu yang tambah memerah. Alzam mendekat dan mencium ubun-ubun Mawar yang terbalut dengan jilbab andalannya.
    
"Sampai kapan pun, Abi wajib mencintai Umma seperti matahari yang menyinari bumi."
    
Mawar mesem. Dengan penuh keberanian wanita itu mencium pipi Alzam lalu berkata. "Ana uhibbuka fillah."
    
Meskipun kaget tapi Alzam membalas kalimat itu. "Ana uhibbuki fillah wa uhibbuki fii kulli lahdzotin tamuuru fii hayat."
    
Aku mencintaimu karena Allah dan aku mencintaimu sepanjang waktu dalam hidupku.
 
Mawar memejamkan mataya menikmati cowok itu yang mengelus terus kepalanya.
 
"Tidur aja. Aku tetep di sini."
 
Alzam menikmati objek yang ada di hadapannya. Malaikat kecilnya juga bidadari surganya. Tersenyum tipis lalu mengembuskan napasnya. Mencoba agar tidak menangis lagi.

My Heart is Calling You✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang