٥ [روح هشة]

546 84 6
                                    

"Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari Kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa di jauhkan dari neraka dan di masukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia adalah kesenangan yang memperdaya."
(QS. Al Imran: 185)

Magma turun dari mobilnya dan melepas kaca mata hitamnya. Cowok itu mengembuskan napasnya sebelum menginjakkan kaki ke dalam gedung pencakar langit ini. Cowok itu sesekali tersenyum ramah kepada orang yang menyapanya.
    
Ah—dirinya tidak sejahat yang kita pikirkan.
    
Magma membuka pintu tanpa dirinya ketuk. Cowok itu memandang pria paruh baya yang sedang duduk di kursi kebesarannya dengan dingin.
    
"Ada yang bisa saya bantu?"
    
Daddy nya tersenyum. "Duduk sini. Udah lama, kan?"
    
Magma mengepalkan tangannya. "Katanya ada yang penting?," Tekan Magma berusaha sabar.
    
"Ada. Rindu Daddy yang penting."
    
Refleks cowok itu terkekeh miris. Mengasihani dirinya sendiri.

"Keadaan udah nggak kayak dulu lagi," lontar lelaki itu tanpa ingin duduk.
    
"Mau sampe kapan kamu kayak gini?," Tanya pria itu dengan tatapan sendu.
    
"Sampe anda menceraikan Umi saya!"
    
Hening.
    
Pria paruh baya itu meneteskan air matanya. "Kenapa kamu sebegitu bencinya sama saya?"
    
"Saya pikir anda cukup tau diri."
    
"Daddy nggak bisa menceraikan Umi kamu."
    
Magma menipiskan bibirnya. "Kenapa nggak ngurusin istri pertama anda aja yang udah gila?"
    
Kini gantian pria itu yang memandang anaknya dingin. "Jangan sesekali bawa-bawa bidadari saya!"
    
Pemuda itu tertawa keras. "Nggak cinta, kan, sama Umi? Kenapa masih dipertahanin?"
    
"Bukannya kamu udah tau jawabannya?"
    
Magma menghalau air matanya agar tak keluar. "Tau. Tau banget..." Ada jeda. "Kalian terpaksa, kenapa nggak sama-sama mencoba buat pisah aja? Nggak ada yang sakit hati."
    
"Ada!" Tegur pria itu menatap anaknya dengan mata yang sudah memerah.
    
Magma menggeleng keras. "Enggak! Abi cuma salah ngomong...." Ada jeda. "Abi juga nggak mau Umi nikah lagi."
    
Pemuda itu menatap Aufar---Daddy nya itu dengan tatapan sendu.
    
"Udahan, kan? Nggak ada yang mau dibahas lagi?"
    
"Magma pulang."
    
Cowok itu meninggalkan ruangan tanpa ada yang mencegahnya sedangkan Aufar mengurut pelipisnya merasakan pusing.
    
Magma terkejut melihat Xilcia melambaikan tangan ke arahnya.

Cowok itu membuang muka.
    
"Kak Magma dipanggil Daddy?"
    
"Daddy lo, bukan gue!"
    
Xilcia tersenyum maklum. "Sampe kapan kayak gini, Kak? Ayo bangkit! Aku juga mau ngerasain punya keluarga yang keadaannya normal."
    
Magma tersenyum miring. "Ceraikan dulu Umi gue, minta sono sama Daddy lo!" Ada jeda. "Urus Ibu lo yang ada di rumah sakit!"
    
Tanpa menunggu jawaban, Magma meninggalkan Xilcia dengan sejuta rasa sakit yang cowok itu berikan. Air mata gadis itu merembes keluar.
    
"Kangen.... Kangen Kak Magma yang dulu."

•••

Cowok dengan gitar di pangkuannya itu menyeruput teh kesukaannya. Teh yang selalu menjadi penenang, penghangat, sekaligus penyejuknya dikala pilu. Satu kata yang cowok itu inginkan darinya.
    
Kembali.
    
Tapi bagaimana pun tidak bisa. Semesta alam sudah bekerja dengan semestinya.
    
Di bawah gemerlapnya bintang dan rembulan sang bulan cowok itu menelisik ke segala arah. Berharap dapat menemukan orang tersebut.
    
Namun lagi-lagi cowok itu gagal, tidak dapat bisa menemukannya lagi sampai kapan pun. Bagaimana pun dunia mereka telah berbeda.
    
Cowok yang sering kita panggil Magma itu kini mulai memainkan senar gitarnya dengan penuh penghayatan dan berharap kepada Tuhan semoga orang tersebut tenang di sisi-Nya meskipun hati Magma terus merindukan dan merengek supaya beliau kembali lagi.
    
Saatku sendiri, ku lihat foto dan video
    
Bersamamu yang telah lama ku simpan
    
Hancur hati ini melihat semua gambar diri
    
Yang tak bisa, ku ulang kembali
    
Satu bait cowok itu masih bisa menahan rasa gejolak api yang siap meledak kapan saja.
    
Ku ingin saat ini, engkau ada di sini
    
Tertawa bersamaku, seperti dulu lagi
    
Walau hanya sebentar, Tuhan tolong kabulkanlah
    
Bukannya diri ini tak terima kenyataan
    
Hati ini hanya rindu
    
Perlahan tapi pasti, amarah yang ia simpan bertahun-tahun itu kian melunak ketika cowok itu selalu ingat pesannya. Pesannya yang ia selalu patuhi sampai sekarang meski harus mengorbankan batinnya yang terus kian berceceran darah.
    
Segala cara telah kucoba
    
Agar aku bisa tanpa dirimu
    
Namun semua, berbeda    
    
Sulitku menghapus kenangan bersamamu
    
Cowok itu bukan tidak rela orang itu pergi dari sisinya, karena bagaimana pun ini sudah takdir. Tapi cowok itu tidak rela, posisi orang itu di gantikan oleh orang baru. Magma terlalu masih anak-anak jika berurusan dengan hal yang seperti ini. Cowok itu dipaksa kuat oleh keadaan. Cowok itu berkali-kali berteriak dalam batinnya berharap orang itu kembali untuk menjelaskan yang sebenarnya kenapa orang itu rela sedangkan dirinya saja tidak rela.
    
Ku ingin saat ini, engkau ada di sini
    
Tertawa bersamaku, seperti dulu lagi
    
Walau hanya sebentar, Tuhan tolong kabulkanlah
    
Bukan diri ini tak terima kenyataan
    
Hati ini hanya rindu
    
Cowok itu rindu. Rindu hari hari bersamanya dan juga keluarganya. Rindu menikmati tawa canda dan angin malam seraya ditemani oleh teh hangat seraya berbincang apa saja.
    
Cowok itu rindu dengan petuah dan nasihat yang tegas namun tak pernah melukai hatinya.
    
Cowok itu rindu. Rindu segala tentangnya.
     
Satu tetes air mata mengalir di pipinya.
    
Magma tidak pernah mengalah di dalam hidupnya, bahkan satu kali pun tak pernah. Ia selalu bersikap egois demi kebahagiaan dirinya.
    
Tapi hanya karena orang itu, orang yang sangat berarti untuknya, cowok itu rela melepaskan prinsip hidupnya yang selama ini ia jalani.
    
Bukanlah Mawar. Bukan pula cewek lain. Tetapi tetap sama, orang itu. Orang yang telah tiada.
    
Magma tidak pernah menangis. Bahkan pada saat umur dua tahun kepala cowok itu bocor dan berceceran darah cowok itu sama sekali tidak menangis dan tidak merasakan rasa sakitnya. Karena orang itu tetap berada di sisinya. Masih berada di sisinya.
    
Tapi untuk pertama kalinya, Magma menangis ketika mengetahui kabar jika orang itu pergi meninggalkannya.
    
Magma mengalah dan menangis untuk pertama kalinya karena orang itu.
    
Ketika cowok itu menangis dan mengalah akan hal yang sangat jarang cowok itu lakukan---percayalah, Magma, cowok itu menyematkan jika orang itu sangat berharga dan sangat disayanginya.
    
Termasuk cewek yang bernama Mawar Syakila Putri. Mawar, orang kedua yang mengajarkan Magma bagaimana rasanya mengalah demi orang yang sangat disayangi dan berharga dimata cowok tersebut.
    
Cowok itu terkekeh mentertawakan nasibnya. Dari cinta yang tertolak pada saat dulu dan lebih memilih sepupunya, dari dirinya yang selalu egois tapi seketika dilepas begitu saja prinsipnya untuk orang yang telah tiada, dari dirinya yang selalu gagal dalam hal apapun itu. Tapi ngeyelnya, cowok itu tak pernah menyerah.
    
"Kangen Abi..."
    
Entah yang ke berapa ratus kalinya cowok itu mengutarakan kata tersebut. Tapi hasilnya sama saja. Tak ada yang membalas.
    
Tatapan cowok itu berubah menjadi dingin dan tajam. Sekelabat rencana terus memenuhi otaknya yang tertuju hanya untuk satu perempuan.
    
Mawar Syakila Putri.
    
"Maaf kalo gue jahat."
    
"Bales dendam nggak akan pernah bisa nyelesain masalah!" Peringat Marvel---abangnya yang tiba-tiba datang.
    
"Abi dibunuh lo diem aja?!"
    
"Qadarullah..."
    
Dirinya tertawa. "Kenapa takdir jahat banget, sih?"
    
"Cari Tuhan lain kalo lo bilang takdir itu jahat!" Murka Marvel dengan wajah yang sudah merah paham.
     
Magma diam. Merasa tertampar. Mencari Tuhan lain? Tidak akan pernah bisa.
    
"Kalo takdir jahat nggak mungkin lo masih bisa napas normal sampe detik ini. Nggak mungkin lo masih bisa ngeliat dengan normal, jalan dengan normal, kehidupan yang normal. Jangan cuma satu masalah bisa ngucapin hal yang kayak gitu. Apapun itu yang terjadi, semua mau-Nya."
    
Pundak Magma bergetar pertanda cowok itu menangis. "Kalo dia nggak ngebunuh Abi pasti Abi di sini, udah sembuh." Ada jeda. "Bedanya gue sama kalian itu.... Gue liat dengan mata kepala gue sendiri kalo Abi dibunuh sedangkan kalian semua cuma liat hasil akhirnya."
    
Magma berdiri lalu berjalan ke arah kamarnya meninggalkan Marvel di belakang.
    
"Jangan pernah sakitin Mawar!"
    
Refleks Magma tertawa renyah. "Sejahat itu gue dipikiran lo semua?" Ada jeda. "Kalo gue nyakitin Mawar, itu sama aja gue nyakitin Umi."
    
"Gue cuma jadiin dia perantara doang." Ada jeda. "Ngasih dia balesan sedikit nggak papa, kan?"
    
"Magma...." Marvel memperingati adiknya lagi.
    
"Jangan ikut campur. Cukup sarannya, cukup larangannya. Selebihnya semua dosa gue yang tanggung sendiri, kan?"
    
Marvel menggeleng tak menyangka. "Lo nantangin Allah?"
    
Magma membuang wajah. "Nggak punya adab gue kalo kayak gitu."

My Heart is Calling You✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang