٣٥ [قدر الله الجميل]

379 36 1
                                    

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui"
(QS. Al-Baqarah: 216)

Revan berdiri dari tempatnya setelah menggumamkan beberapa kata kepada kedua orang tua Anisa lalu berjalan ke arah atas gedung. Cowok itu makin ketar-ketir dibuatnya. Perasaannya tidak enak.
    
Sebenarnya ada apa?
    
Cowok itu membuka pintu yang di mana di dalamnya terdapat Anisa. Dirinya membuka lalu terlihat Anisa yang sedang membelakanginya dengan bahu bergetar.
    
Menekuk alisnya heran seraya berjalan mendekati.
    
"Anisa?"
    
Sang empu terkejut lalu menoleh. Ketika itu pula Revan melihat ada yang salah dengan Anisa. Cewek itu sudah siap segalanya. Tapi kenapa tidak ingin keluar?
    
Bertepatan dengan itu Anisa mendekat lalu berjongkok di hadapan pemuda tersebut.
    
"Maafin aku, Revan..."
    
"Maaf...."
    
Revan makin tak paham dibuatnya. "Kenapa kamu nangis, Nis? Mending sekarang ke bawah. Aku mau ngucap qobul." Ada jeda. "Kamu nggak papa, kan?"
    
"Maaf, Rev...."
    
Isakannya tambah kencang.  "Maaf, aku nggak bisa."
    
Deretan kalimat itu berhasil membuat dada Revan seperti dihimpit batu yang amat besar.
    
"Maksud kamu?"
    
"Maaf, aku nggak bisa nikah sama kamu."
    
Anisa makin terisak kencang.
    
Revan mundur menatap tak percaya. Cowok itu mengeluarkan air matanya.
    
Kenapa rasanya sakit sekali?
    
Bukannya tempo lalu cewek itu menerimanya?
    
"Kenapa?"
    
Anisa menggeleng lalu mendekat. "Aku udah berusaha tapi tetep hasilnya sama. Aku nggak bisa cinta sama kamu."
    
Untuk pertama kalinya, Revan merasa membuat kesalahan yang amat besar di dalam hidupnya. Seharusnya dia sadar jika perempuan yang ada di hadapannya kini dari dulu tak pernah mencintainya dan tak akan pernah bisa untuk membalas perasaannya.
    
Membuang muka ke sembarang arah lalu bertanya dengan nada retoris.

"Jadi gimana?"
    
Anisa makin dibuat kalut. "Batalin, Rev."
    
Revan menatap tak percaya. "Semudah itu kamu bilang?" Cowok itu berpikir lalu mengangguk. "Pernikahan ini akan tetap di laksanakan!"
    
Anisa otomatis mengangkat wajahnya. "Enggak bisa! Yang ada malah menyakiti satu sama lain!"
    
"Setelah berhasil lupa sama Bang Alzam, apa kamu beralih ke Magma?," Tebak Revan mengalihkan topik pembicaraan.
    
Anisa menunduk lalu Revan tersenyum tipis. Sudah pasti jawabannya iya.
    
"Ikut aku sekarang ke bawah!"
    
Anisa menatap bingung.
    
Revan mengembuskan napasnya pelan. "Ijab qobul aku akan tetap ada. Tapi bukan untuk kamu."
    
Revan pergi tanpa menunggu jawaban dari Anisa. Ketika sudah sampai di bawah semua orang melihat ke arahnya.
    
Revan berjalan ke arah di mana tempat kedua orang tua Alya berada.
    
"Om?"
    
Marko yang ditegur menatap bingung Revan.
    
"Bisa kita bicara sebentar?"
    
Raut wajah Revan amat serius juga nada bicaranya yang menahan tangis membuat Marko tak kuasa untuk menolaknya.
    
Alya melihat dari kejauhan bersama Bundanya. Terlihat Revan dan Ayahnya yang sedang terlibat pembicaraan teramat serius. Cewek itu makin dibuat bingung ketika Ayahnya bersama Revan menuju ke tempat ijab qobul akan terucap.
    
MC mengintruksi lalu seketika suasana hening.
    
Jantung Alya berdetak kencang begitu melihat tangan Marko saling berjabat tangan dengan Revan dengan raut muka yang amat serius. Alya menggeleng berusaha menahan tangis. Tidak. Dirinya sudah mengikhlaskan. Tapi kenapa?
    
"Ankahtuka wazawwajtuka makhtubataka Alya Khairunnisa binti Marko Al-Buchori alal mahri alatil 'ibadah wa khamswun milyun minad dinar hallan."
    
"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq."
    
"SAH?!"
    
Tak ada suara. Mereka semua bingung. Hingga beberapa detik kemudian gedung itu kembali menggema.
    
"SAHHHH!!"
    
Mereka mulai memanjatkan doa terbaiknya. Setelah selesai, Revan berjalan ke arah Alya juga Bunda cewek itu yang ikutan menangis.
    
Kakinya terasa berat untuk melangkah. Berapa kesalahan yang dia perbuat untuk Alya?
    
Alya menggeleng dengan berlinang air mata. Tak ada baju pengantin syar'i yang ingin dia kenakan sedari dulu ketika dihalalkan oleh seseorang yang dicintainya, tak ada proses sebab langsung terjadi di hadapannya, tak ada yang namanya khitbah terlebih dahulu seperti yang lainnya dan tak ada makeup yang sempurna di wajahnya seperti mempelai wanita lainnya.
    
Revan tepat di hadapannya kini. Tanpa aba-aba cowok itu mencium kening Alya dalam. Alya merasakan tetesan air mata yang mengalir dari kedua mata cowok itu.
    
Revan menggumamkan doa-doa terbaiknya lalu setelahnya bersuara lirih. "Maaf, Sayang...."
    
Alya terdiam kaku.
    
Sayang?
    
Revan menjauh dengan kedua tangan yang mengelus jilbab Alya dengan sayang.
    
Marko mendekat lalu mengangguk. "Putri Ayah sekarang udah dijaga sama security baru. Baik-baik, ya."
    
Marko tersenyum lebar tapi raut wajah pria paruh baya itu tak bisa pungkiri jika sedang amat sedih. Tanpa persiapan, dirinya akan kehilangan satu rumah bersama anak semata wayangnya.
    
Alya meraih tangan Revan dengan bergetar lalu dibawanya tangan itu ke dekat bibir dan dikecup.
    
Sekarang, surganya terletak juga pada keridhoan suami.
    
"Bunda boleh pinjem Alya dulu, Rev?"
    
Revan mengangguk mengerti. Keluarga kecil itu berpelukan di hadapan mereka semua. Mereka semua tahu ini amat berat. Tanpa persiapan kedua orang tua itu melepas anaknya bersama seseorang pilihan-Nya.
    
Setelah dirasa cukup, Alya kembali ditarik oleh Revan dengan lembut. Cowok itu mengusap punggung tangan Alya dan di angkatnya tangan itu lalu dipasangkan cincin pernikahan dijari manisnya, lalu gantian Alya yang menyematkan cincin itu dijemari Revan persis yang dilakukan oleh Mawar juga Alzam beberapa tempo lalu setelah tersadar di dimensi yang sebenarnya.
    
Rencana-Nya itu indah. Tak ada cacat di dalamnya. Allah sudah mendesain bagian skenario ini dengan begitu apik. Saking indahnya, bahkan ukuran jemari Anisa dan Alya sama, sehingga cicin itu sangat cantik tersemat dijari manis sang empu.
    
Mereka tak sadar. Banyak sekali kamera yang terarah kepada kedua insan itu. Jika memang jodoh pasti ada jalan. Serumit apa pun itu jalannya.
    
Revan tersenyum lalu mengelus pipi istrinya itu. "Aku tau bukan pernikahan kayak gini yang kamu inginkan, Al. Maaf."
    
Alya tak enak mendengarnya. "Nggak apa-apa, Kak. Ini semua udah bagian dari rencana-Nya dan aku ikhlas buang jauh-jauh pernikahan impian aku itu kayak apa." Ada jeda. "Ini tetep pernikahan yang aku inginkan. Dapat dihalalkan olehmu."
    
Seketika satu gedung heboh dan saling bertepuk tangan karena ucapan Alya barusan berhasil membuat pipi Revan merah sempurna.
    
Alzam yang melihat dari arah kejauhan menahan tawanya agar tidak meledak saat ini juga.
    
Aulia---Bundanya Alya yang mendengar penuturan Alya itu semakin dibuat deras nangisnya. Di satu sisi dirinya senang tapi di satu sisi teramat sedih. Sebab tak jarang Alya selalu mengadu kepadanya pernikahan yang bagaimana yang cewek itu impikan.
    
"Tolong jaga anak Ayah baik-baik. Karena sayangnya kami harta paling berharga yang kita punya. Dan hanya ada satu. Satu-satunya juga tidak akan terganti."
    
Bertepatan Marko berucap seperti itu tiba-tiba Edward datang dengan raut muka yang tak biasa.
    
Revan menahan napas. Lupa kalo ada Edward di sini.
    
Respon cowok tersebut tak terduga. Pemuda itu tersenyum lebar lalu menepuk pundak Revan. "Jaga baik-baik si Alya. Masukkin kandang terus."

Reaksi Edward tak dapat ditebak. Dikira ingin menghajarnya tapi cowok itu malah mengakrabkannya.
    
"Tadinya mau bikin babak belur sebentar tapi kayaknya kurang gentle."
    
Edward melirik ke arah Alya lalu tersenyum jenaka. "Satu tahun seatap sama kalian cukup, kan?"
    
Mulut Alya juga Revan pengap-pengap. Tahu apa yang cowok itu maksud. Bingung ingin menjawab seperti apa. Ini di luar nalar!
    
Gila aja kali maksudnya.
    
Anisa melihat dari kejauhan sedari tadi dengan gaun pengantin yang masih setia ditubuhnya. Perempuan itu tersenyum lebar lalu menghapus air matanya.
    
"Selamat berbahagia. Maaf sekali lagi," gumam cewek itu dengan lirih.
    
Sekon berikutnya, tatapan Anisa juga Magma bertubrukan.
    
Anisa tersenyum lalu mengangguk sedangkan Magma menatap Anisa dengan pandangan yang sulit di artikan.
    
Detik berikutnya Magma ikut tersenyum. "Setiap takdir pasti akan ada jalannya. Aku bakalan coba buat lamar kamu seminggu setelah ini," lontar Magma dengan intonasi kecil yang hanya bisa didengar olehnya.
    
Cowok itu menunduk lalu menguatkan hatinya kembali.

My Heart is Calling You✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang