03

11K 1.3K 10
                                    

Happy Reading

Sorry for the typo(s)

***

"Ngelamunin apa sih, Na?" 

Jaemin menghela napas kemudian meletakkan ponselnya begitu saja ke atas meja. Ia memperhatikan kedua temannya yang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Renjun menyelesaikan pekerjaan sementara Haechan berpacaran. 

"Hyunjin?" tebak Haechan tepat sasaran. 

Jaemin mau tak mau mengakuinya. "Gimana ya?" keluhya bingung. Ia mengubah posisinya menjadi tengkurap dan melayangkan tatapan melas. Untuk hal ini, ia memang semestinya meminta nasihan Haechan dan Renjun. 

Kekasih Jung Jeno menutup laptopnya. "Kamu sendiri suka nggak sama dia?" 

"Mmm..." Jaemin bergumam. Hatinya tidak menyimpan rasa apapun untuk Hyunjin. Baginya, Hyunjin adalah teman baiknya. Selalu seperti itu dan tidak akan pernah berubah. "Enggak." 

Haechan turut menyingkirkan ponselnya sebentar. "Ya udah kalau gitu." 

Kening Jaemin mengernyit. "Ya udah gimana maksudnya?" 

Entah apa yang membuat Renjun dan Haechan menghembuskan napas. "Bilang gitu ke Hyunjin." 

Ranum milik Jaemin yang sewarna lotus pun mencebik. "Nggak semudah itu tahu." Ia lantas meraih ponselnya yang berdenting. Seusai membalas, ia bekata, "Mm... apa ya? Aku nggak enak bilangnya." 

Obsidian Haechan mengamati ekspresi Jaemin yang tak secerah biasanya. "Kalau kamu gitu terus nggak akan selesai. Lama-lama kamu yang nggak nyaman sendiri." 

Renjun mengangguk setuju sambil merapikan barang-barangnya agar tak berserakan. "Aku sependapat sama Haechan. Takutnya kalau kamu diem aja buat Hyunjin ngerasa kamu punya rasa yang sama." 

Bibir yang paling muda terkatup tanpa celah. Ia tengah memproses apa yang mereka berdua ucapkan. Helaan napas ia hembuskan lagi. Ia takut setelah ia mengungkapkan perasaan yang sebenarnya kepada Hyunjin, pertemanan mereka akan renggang. 

Haechan menepuk bahu Jaemin. "Nggak harus besok." 

"Tapi secepatnya lebih baik," sambung Renjun.

***

Sejak lima belas menit yang lalu, Jisung tak lelah menunggu kepulangan sang ayah. Ia bahkan hampir mengosongkan piring yang berisi pudding untuknya. "Geepa, kenapa ayah belum pulang?" 

"Jisung tunggu sebentar lagi ya atau mau tidur dulu?" 

Kepala Jisung menggeleng sebagai jawaban. Ia tidak terbiasa tidur lebih dulu di saat Mark belum pulang. Ia pun membaringkan tubuhnya dan menikmati usapan lembut di kepala. 

Saat jarum jam menunjuk angka sepuluh, Mark baru tiba di rumah. "Bubu belum tidur?" tanyanya ketika ia hendak menaiki anak tangga. 

Taeyong menggeleng seraya tersenyum tipis. "Bubu nunggu abang. Kenapa pulang semalam ini?" 

Kekehan Mark terdengar. "Maaf, Bu. Tadi ada urusan di luar perusahaan dan seharusnya bubu nggak perlu nunggu abang pulang." Ia tersenyum geli tatkala pipinya dicubit. "Abang ke kamar dulu, Bub. Good night." Sesampainya di kamar, ia melihat putra tunggalnya yang sudah tertidur lelap. Sebelum membersihkan diri, ia pun membenarkan selimut Jisung. 

Tiga puluh menit kemudian, pria yang lahir di bulan Agustus ini menyusul Jisung dan berbaring di sebelahnya. Alih-alih memejamkan mata, ia justru memperhatikan bagaimana damainya Jisung tertidur dengan lekat. Ibu jarinya lantas terulur untuk mengusap pipi gembil kesayangannya. 

Dulu, entah bagaimana Mark sempat hampir menolak Jisung. Ia berdebat alot dengan ibu kandung Jisung lantaran mereka berdua sama-sama enggan merawat hasil perbuatan mereka sendiri. Saat itu, ia baru berusia 20 tahun dan masih menikmati masa-masa di dunia perkuliahan. Sampai detik ini, ia masih bisa merasakan keterkejutan yang ia rasakan ketika perempuan itu memberitahu kehamilannya. 

Lima tahun yang lalu, Mark benar-benar dilanda kebingungan, kekhawatiran, dan ketakutan. Fatalnya, ia juga menyimpan rapat-rapat kelahiran Jisung dari orang tuanya. Pengecut memang tetapi hal ini ia lakukan karena dirinya terlalu takut dan kalut. 

Takut Jaehyun dan Taeyong membencinya.Ia juga takut bila Jaehyun dan Taeyong tidak mau mengakui dan tidak menerima Jisung sebagai cucu mereka. Hingga akhirnya, mereka tahu ketika menyusul ke Kanada. 

Masih segar dalam ingatannya saat ia duduk bersimpuh sembari menangis. Tidak, penyebab ia menangis bukan karena penyesalan akan kehadiran Jisung namun ia menangis karena menyesal telah berbohong dan menyembunyikan ini semua. Lagipula Jisung tidak berdosa, tidak pantas dibenci, atau disalahkan. 

Dirinyalah yang berdosa dan sampai sekarang sudut hati kecilnya masih dibayangi rasa bersalah.

Mark tersadar dari lamunan tatkala Jisung menggeliat. Tangannya sontak menepuk-nepuk pelan perut si kecil. Ketika jagoannya ini menatanya, senyum manisnya merekah. 

"Mhm.. ayah?" Setelah itu, Jisung memeluk erat ayahnya seperti guling. "Kenapa ayah baru pulang?" 

Walau serupa dengunan, Mark tersenyum mendengarnya. "I am sorry. Ayah janji besok nggak akan pulang terlambat lagi. Jisung nunggu ayah ya?"

Di sela kantuk yang mendera, Jisung pun mengangguk. Ia menguap kecil lalu berkata, "Ayah harus antar Jisung ke sekolah besok."

"Iya." Mark lantas mengecup kening Jisung. Hatinya semakin yakin bahwa keputusannya untuk tidak menikah sudah benar. Hidup berdua bersama Jisung sudah lebih dari cukup dan ia mampu merawat pangerannya ini hingga besar nanti. "Sleep well, Jagoan." Ia tersenyum lagi entah untuk apa. "Ayah sayang Jisung," pungkasnya sebelum menutup mata. 

TBC

Vomment 주세요

Terima kasih





Soon To Be Jung [MarkMin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang