Happy Reading
Sorry for the typo(s)
***
Mark membuka pintu kamar putranya sepelan mungkin. Ia juga melangkah pelan agar tidak mengusik si kecil yang tengah tertidur lelap. Dengan hati-hati ia duduk di samping Jisung, kesayangannya yang sangat berharga, kemudian mengusap kepalanya. Tenggorokannya tercekat melihat wajah sembab jagoannya. Bahkan, ia bisa melihat gurat kepedihan di sana.
Lagi-lagi ia bertanya pada dirinya sendiri. Apa yang telah ia perbuat?
Ketika Mark menemui Jisung untuk meminta maaf, Jung yang paling kecil ini diam dan sama sekali tidak meresponnya. Jisung juga tidak mau disentuh olehnya, hanya ingin bersama Taeyong, Jaehyun, atau Jeno. Jujur, ia sedih karena tidak ada pelukan serta ciuman menjelang tidur dari Jisung seperti biasa.
Ia menyentuh tangan Jisung yang terjulur keluar dari selimut lalu mengusapnya perlahan. Mata bulatnya memandang jemari kecil yang selalu menggenggamnya erat dan memberikan ketenangan padanya sejak dulu. "Ayah minta maaf, Sayang," lirihnya, yang dibarengi oleh air mata yang mulai berjatuhan. Dadanya sangat sesak dan perih seolah-oleh ada sembilu yang menyayat hatinya berkali-kali.
Bubunya benar. Jisung tidak pernah meminta dilahirkan dengan dirinya sebagai ayahnya. Semestinya ia mengutamakan kebahagiaan Jisung bukan melukai hatinya. Ia merasa sangat buruk sebab tidak mampu menepati janjinya sendiri. Andai ia bisa lebih sabar dan mampu menahan emosinya serta tidak kelepasan membentak Jisung, mungkin tidak akan seperti ini. Tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Semua pengandaian itu mengejeknya tanpa malu dan yang tersisa sekarang hanyalah penyesalan.
Jung Jisung adalah anak yang tidak pernah menuntut. Sederhana meski terkadang banyak drama; drama tidak mau bangun pagi, enggan mandi sore, atau bersikeras ingin mandi hujan meski Mark atau Taeyong sudah ketar-ketir takut dia demam. Selain itu, si lucu ini juga ulung sekali dalam urusan menyelinap dan melarikan diri. Terlepas dari itu semua, ia tidak pernah menuntut sang ayah banyak hal.
Mark akui Jisung lebih dewasa dibandingkan anak seusianya. Masih tersimpan dalam ingatannya kala perayaan hari ibu tahun lalu. Jisung, dengan senyum khasnya, memberikan sebuah surat beramplop merah hati padanya. Anak laki-laki berusia lima tahun ini menulis bahwa dia baik-baik saja tanpa seorang ibu karena ada dirinya di sampingnya.
"It's okay, Ayah. Teman-teman Jisung merayakan hari ayah satu kali sedangkan Jisung dua kali. As long as you're with me, everything will be okay."
Mark ingat betul ia langsung memeluk Jisung saat itu. Sungguh, ia tidak menyangka kalimat manis nan bermakna dalam lolos dari bibir putranya yang baru berusia empat tahun. Ketika ia bercerita tentang sosok wanita yang melahirkan Jisung, Jisung hanya mengangguk dan tidak bertanya apapun lagi. Sejujurnya ia enggan mengungkit seseorang yang tidak perlu diingat, namun Jisung tetap memaksa setelah berjanji untuk baik-baik saja.
"Jisung benci mama?"
Jisung yang tengah bermain dengan Piko, seekor anjing pomeranian, pun menggeleng. "Jisung nggak tahu, Ayah. Jisung nggak benci dan nggak sayang," balasnya acuh sebelum memeluk anjing kesayangannya.
Selelah apapun Mark, Jisung adalah penawarnya. Saat ia pulang terlambat, Jisung lebih memilih tidur di kantor daripada bersama granny yang selalu menjaganya sejak berusia tiga tahun. Jisung selalu memeluknya dan menghiburnya dengan tawanya. Ia juga ingat ketika Piko meninggal, Jisung jatuh sakit. Selama tiga hari dia tidak mau makan dan sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soon To Be Jung [MarkMin]
Fanfiction"Dokter Na cantik. Jisung suka." "Sekali lagi, terima kasih." "Ayah, Jisung mau papa." "Saya serius." "Na Jaemin, be mine?"