23

8.4K 1.1K 86
                                    

Happy Reading

Sorry for the typo(s)

***

"Anak ayah lagi apa?" 

Jisung yang tengah bermain di dalam tenda serta merta menoleh. Mata sipitnya yang menggemaskan berbinar dan senyumnya mengembang. Hatinya berbunga-bunga karena ayahnya sudah pulang. 

Mark terkekeh seraya memeluk si kecil. Berkali-kali ia menciumi pipi gembil Jisung sampai jagoannya ini merengek geli. "Jisung kangen nggak sama ayah?" 

Jisung tertawa jahil. "Engga. Jisung suka kalau ayah nggak di rumah." Ia lantas menggeleng dan mengalungkan lengannya ke leher Mark. "Hihihi. Jisung bercanda. Kangen ayah," imbuhnya. Ia menolak ketika hendak diturunkan. Ia masih merindukan Mark. "Kenapa ayah nggak istirahat?" tanyanya setelah mereka tiba di halaman belakang dan duduk di ayunan. 

"Nanti. Ayah masih kangen Jisung." 

"Memangnya ayah nggak cape?" 

Sebagai jawaban, Mark menggelengkan kepalanya. Ia tersenyum tipis saat Jisung menatapnya lamat-lamat. "Kenapa?" Jari telunjuknya menusuk-nusuk pipi Jisung yang menggembung. Ia pikir tidak ada yang salah dengan penampilannya tetapi kenapa kesayangannya ini memperhatikannya selekat itu. "Kenapa, Sayang?" 

"Ayah?" 

"Hm?" 

Netra Jisung mengerjap. "Could we just stay here?" 

Mark menggigit bibir bawahnya, sudah menduga akan mendengar pertanyaan tersebut. Demi apapun ia ingin mengalihkan maniknya ke arah lain untuk menghindari tatapan penuh harap yang dilayangkan oleh buah hatinya. Ia ingin berlari namun sorot mata Jisung yang menyuratkan permohonan berhasil menjeratnya. Ia pun berdehem tatkala Jisung menepuk pipinya. "Kenapa?"  

Gumaman Jisung mengudara. "Jisung lebih suka di sini," balasnya, berharap Mark mengerti maksud terselebung dalam jawabannya. Ia mengulum bibirnya kemudian mengimbuhkan, "Di sini lebih hangat." 

Mark menyelami sepasang bola mata bak danau di hadapannya. Lagi-lagi ia berada di ambang kebimbangan; egois dengan mempertahankan keputusannya atau mementingkan kebahagiaan Jisung. Saking dalamnya memandang, ia menganggukkan kepalanya tanpa sadar.  

Secepat kilat senyum Jisung merekah. "Yes! Terima kasih, Ayah. Jisung sayang ayah!" serunya senang. 

Ternyata benar bahwa tidak ada kebahagiaan yang lebih berarti selain melihat darah daging kita sendiri tersenyum lebar. Seusai mencium kening Jisung, ia berkata, "I love you more." 

Jisung lantas mengusap ujung hidungnya. "Kemarin Paman Jaemin bobo sama Jisung lho." Awalnya ia ragu menceritakannya tetapi merasakan suasana dan reaksi Mark sangat bagus, sepertinya tidak masalah. 

"Oh iya? Bobo di kamar Jisung atau ayah?" 

Saking bahagianya, Jung kecil ini memeluk ayahnya erat sekali. "Di kamar Jisung." Ia tersenyum lagi lalu mengecup pipi Mark sekilas. Pipi gembilnya menempel di bahu Mark sedangkan telunjuknya menyentuh baju yang dipakai oleh pria yang sama. 

"Oh gitu." Setelah itu, Mark berdiri dan mengayunkan kakinya masuk ke rumah. Jisung kedinginan karena angin terus-menerus menerpa tubuh mereka. Sembari berjalan, ia memberikan usapan di punggung Jisung. 

"Om Jeno juga nggak pulang ke rumah." 

"Kenapa nggak pulang?" 

"Jisung nggak tahu. Padahal Jisung mau main sama Om Jeno tapi bubu bilang Om nggak pulang." 

Sesampainya di kamar, Mark buru-buru membuka pintu. "Mungkin Om Jeno sibuk makanya nggak bisa pulang." Ia pun membaringkan Jisung ke atas ranjang. "Jisung temenin ayah istirahat ya?" Ia lelah dan ingin mengistirahatkan tubuhnya sebentar. 

"Oke tapi Jisung nggak mau bobo." 

Mark mengerucutkan bibir dan memasang wajah sendu mendengarnya. "Kok gitu? Jisung mau bobo sama Paman Jaemin tapi sama ayah nggak mau." 

"Iya deh. Tapi nggak mau lama-lama. Jisung mau bobo sebentar aja." 

Senyum Mark tak ayal terbit. Ia lantas membawa malaikat kecilnya ini ke dalam dekapan. Ketika hendak memejamkan mata, suara Jisung memecahkan keheningan. 

"Ayah?" 

"Iya?"

Keraguan dan sedikit rasa takut benar-benar menyelimuti hati Jisung. "Kalau Jisung minta sesuatu..." Kepalanya mendongak dan mempertemukan netra mereka. "Itu... Ayah bisa nggak kasih apa yang Jisung mau?" 

"Memangnya Jisung mau minta apa? Selama ayah bisa pasti ayah kasih." Mark mengerutkan dahinya lantaran Jisung justru terdiam dan menggigit bibir berulang kali alih-alih menimpali ucapannya. "Nanti bibir Jisung berdarah," ujarnya seraya menarik dagu jagoannya. Ia tersenyum untuk meyakinkan Jisung agar mengatakan keinginannya tanpa ragu dan takut. "Ayo kasih tahu ayah. Jisung mau mainan, baju, sepatu, jalan-jalan atau―" 

"Papa," sela Jisung yang berhasil membuat ayahnya mematung. Ia kembali menyembunyikan wajah lucunya ke dada Mark. "Jisung mau papa, Ayah," ulangnya lebih jelas. Tanpa bisa dicegah sudut bibirnya melengkung ke bawah. "Ayah bisa nggak?" lirihnya. 

Dengan kaku Mark menelah ludah. Lidahnya kelu dan seolah ada batu besar di tenggorokannya sehingga menyulitkannya menjawab. "Let me sleep on it. Okay?" tanyanya meminta persetujuan terlebih dulu. 

"Okay." 

Setelah itu, Mark mengusap-usap punggung putranya. Ia tidak bisa memejamkan matanya lagi karena pertanyaan Jisung terus menghantui benaknya. Bagaimana ia akan memberikan papa untuk Jisung di saat ia tidak mempunyai kekasih? Hidungnya meloloskan hembusan napas berat. Apakah ia harus mengikuti kencan buta atau meminta tolong bubunya? 

Lagi-lagi Mark menghela napas panjang. Jujur, Jisung tidak dekat dengan sekeretarisnya. Lantas bagaimana akan luluh dengan calon papanya nanti? Ya, semisal dirinya menemukan seseorang yang cocok. Jagoan kebanggaannya itu terlalu pemilih. Apabila dari awal bertemu sudah memalingkan wajah, itu artinya Jisung tidak suka. 

Lalu siapa? Siapa orang yang tepat untuk menjadi papa Jisung?" 

TBC

Sampai jumpa di chapter selanjutnya!









Soon To Be Jung [MarkMin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang