Halo...
Balik lagi nih. Random question
1. Kesel nggak mak lama up?
2. Jam berapa dapat notif Sangga?
3. Udah ajak teman kamu baca Sangga?
~happy reading~
"Tahan bentar. Ini sakit."
Sangga mengatupkan bibirnya. Ia tidak bisa berkata-kata. Bahkan ketika kapas bercampur alkohol itu menyentuh permukaan lukanya, Sangga tidak bereaksi apapun selain menatap datar gadis di depannya.
Rasanya sedikit aneh, mengapa bisa Arania yang terkenal bar-bar bisa bersikap setenang ini? Penampilannya juga sedikit berbeda, apa Arania sengaja melakukan ini agar membuat Sangga menjadi terkesan.
"Sangga." Arania menjetikkan jarinya tepat di depan wajah Sangga. "Malah bengong, kenapa?"
"Nggak papa," balas Sangga tak acuh lalu memalingkan muka ke arah lain.
"Serius? Kamu lebih banyak diam."
"Biasa aja."
Arania mengangguk singkat. Ia mengambil dua plester berwarna coklat. Dengan ragu Arania menyentuh sisi pipi Sangga, kemudian menarik dagu Sangga agar menatapnya.
Sangga mendelik kesal, baru saja ia akan memprotes Arania terlebih dahulu membuat Sangga kembali bungkam.
"Lukanya harus ditutup. Kalau nggak nanti bisa infeksi," ujarnya seraya membuka bungkus plester lalu menempelkan pada beberapa luka Sangga. Tepat dibagian kening dan tulang pipi sebelah kiri.
Arania tersenyum puas atas hasil kerja kerasnya. "Udah selesai. Besok diganti lagi sama yang baru."
"Tau."
"Kamu cuek banget sih. Tapi gemes."
Sangga berdecih, "Nggak usah ngomong gitu depan gue."
"Kenapa?"
"Pengin muntah dengernya."
Arania tertawa pelan. "Jutek banget sih, Ngga. Mau heran tapi ini kamu."
Keduanya terdiam sembari melihat pemandangan disekitar danau. Malam ini udara sedikit tidak bersahabat, beberapa kali Arania mengusap lengan tangannya merasa kedinginan. Tadi sebelum berangkat ia lupa membawa jaket.
"Lo kenapa?" tanya Sangga melirik Arania sekilas.
"Nggak papa kok."
Melepas jaketnya, Sangga lemparkan tepat dipangkuan Arania. "Pake, gue nggak mau entar lo pingsan malah jadi nyusahin gue," ketuanya.
Arania mengulum bibir menahan senyum. Ia menatap jaket di tangannya tak percaya. Dengan semangat Arania memakai jaket Sangga, ia memeluk dirinya sendiri seraya memejamkan mata. Aroma parfum Sangga begitu sangat wangi.
"Sangga, kamu wangi banget sih." Arania menatap Sangga kagum. "Udah ganteng, jago berantem, wangi lagi, kamu itu cowok idaman aku banget."
"Tapi lo bukan cewek idaman gue." Sangga menyahut cepat. "Lagian lo kenapa sih, salah minum obat, ya?"
Arania menggeleng, "N-nggak kok. Emang mau belajar kalem aja."
"Nggak cocok, lo keliatan lebih freak."
"Jahat."
Sangga menggelengkan kepalanya lirih. Ia tidak ingin mempermasalahkan tabiat Arania yang malam ini begitu berbeda. Dari cara berpenampilan saja hampir membuat Sangga tak mengenali. Sejak kapan Arania mengenakan dress dan mengurai rambut menjadi ikal? Dan lagi, sikap Arania yang berubah menjadi lebih tenang dan anggun.
Jika Sangga bertanya lebih jauh lagi pasti Arania akan merasa besar kepala. Gadis itu tidak bisa dipuji meskipun hanya sedikit saja. Jika saja Arania tidak menyebalkan dan keras kepala, Sangga tidak akan mungkin memusuhi gadis itu.
"Kamu suka kesunyian, nggak?" tanya Arania menatap Sangga sekilas lalu tatapan matanya memandangi langit malam yang bertabur bintang.
"Bukan urusan lo."
"Aku suka kesunyian, rasanya tenang kalau aku sendiri." Arania memejamkan mata seraya menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya secara perlahan. "Gimana rasanya punya banyak teman?"
"Kenapa lo tanya gitu?" Sangga mengerutkan dahi. Menatap gadis bersurai coklat itu dari samping dengan tatapan aneh. Arania gadis super aktif dan cerewet, mustahil jika tidak mempunyai banyak teman.
"Dari kecil aku nggak punya temen. Temen aku cuma Abang, mama, Jesllyn, dan papa. Nggak ada yang mau temenan sama aku," lirih Arania.
"Lo nolep," celetuk Sangga.
Arania terkekeh, gadis itu memukul pelan lengan tangan Sangga. "Lucu kamu, tapi emang bener."
"Jangan sok asik," peringat Sangga.
Arania menggigit bibirnya menahan tawa. Dengan sengaja ia malah menyentuh-nyentuh perut Sangga secara jahil. "Nih sentuh nih. Perutnya buncit, kebanyakan lemak."
Sangga melotot, ia bangkit berdiri. "Gua mau pulang."
"Ikut."
"Kemana?"
"Ke pelaminan."
"Ngaco lo."
Arania tertawa. "Anterin aku pulang."
"Pulang aja sendiri. Kaki lo masih berfungsi, belajar buat nggak menyusahkan orang lain."
"Kok jahat, aku udah jadi perawat kamu, masa kamu tega biarin aku pulang sendiri."
"Tega."
"Kalau nanti aku diculik gimana?"
"Bukan urusan gue."
"Kalau tiba-tiba ada yang jahatin aku gimana?"
"Terus?"
Arania mengepalkan tangannya gemas. "Kok terus?!"
Sangga menaikan satu alisnya, menjetik kening Arania. "Terus hubungannya sama gue apa?"
Arania mengerucutkan bibirnya, mengusap keningnya yang terasa sakit. "Anterin aku, Ngga."
"Nggak."
"Anterin."
"Nggak."
"Pokoknya anterin!"
"Nggak."
"Anterin!"
Selalu keras kepala, tidak ingin berdebat lebih lanjut dengan Arania. Sangga lebih memilih meninggalkan Arania.
"SANGGA! TUNGGUIN!"
"Nggak denger."
Arania tertawa, ia mengejar Sangga mensejajarkan langkahnya dengan cowok itu.
"Aku tantangin kamu, yang sampe ke motor duluan dia yang menang. Kalau kamu kalah kamu harus antar aku pulang."
"Kok—"
"Aku yang bakalan menang!"
Arania lari terlebih dahulu, sementara Sangga masih terbengong ditempatnya. Melihat Arania semakin jauh, Sangga baru tersadar jika ia sudah dikerjai.
"Licik," gumam Sangga tersenyum tipis.
~tbc~
Spam komentar dan minta vote nya...
Ada yang aneh sama Arania nggak?
Spam komentar disini..
Disini...
Dan disini...
Follow akun Wattpad dan IG aku
(At) Ciplukpluk05
KAMU SEDANG MEMBACA
Sangga
Teen FictionSemenjak kepergian Rigel, Sangga lah yang menggantikan peran Rigel sebagai ketua geng Toxic. Permasalahan demi permasalahan terus datang silih berganti menghantui hidup Sangga. Sangga bisa merasakan banyaknya beban yang pernah Rigel pikul selama men...