•
•
Pagi ini sepasang suami-istri itu baru saja sampai di rumah baru mereka. Lebih tepatnya rumah baru Asya, karena sebenarnya Dirga sudah lama tinggal di sini. Rumah minimalis bercat hijau yang merupakan rumah dinas Dirga, rumah yang sudah dihuninya selama kurang lebih tujuh tahun. Rumah yang menjadi saksi bisu jatuh-bangunnya seorang Dirgantara Brawijaya.
"Ini rumah atau labirin sih?! Kok hijau semua?"
"Ini juga, kok ruang tamunya cuma ada meja sama kursi doang? Mentang-mentang hatinya kosong, rumahnya jadi ikutan dikosongin."
"Pajangan nggak ada, foto keluarga nggak dipasang, bahkan cemilan buat tamu 'pun nggak ada?!"
Dirga yang berjalan di belakang Asya hanya memutar bola matanya. Pria itu membawa dua koper besar dan satu ransel berukuran sedang dimasing-masing tangan serta punggungnya. Mengekori istri cantiknya yang hanya membawa satu ransel kecil di tangan kanannya. Gadis cantik itu sedari tadi terus berceloteh panjang-lebar, mengomentari rumah dinas Dirga yang dinilainya terlalu hampa dan monoton.
"Pokoknya nanti anniversary pernikahan kita yang satu abad, rumah ini harus udah rame kayak pasar malem. Titik!"
"Satu Minggu saja belum ada, sudah berkhayal satu abad!" batin Dirga.
"Ini kamar aku yang mana, Om?" tanya Asya.
Asya menoleh ketika tak mendapati sahutan dari suaminya. Di belakangnya, Dirga tengah bersedekap dada sembari menatapnya tajam.
Gadis cantik itu meringis pelan. "M-maaf, Om— Mas Dirga maksudnya hhe," cicitnya. "Jadi kamar aku yang mana?" tanyanya lagi.
Dirga menunjuk sebuah ruangan dengan pintu bercat coklat tua menggunakan dagunya.
Asya mengangguk kemudian memasuki ruangan tersebut. Seketika matanya membola ketika mendapati warna hijau yang kembali mendominasi. Benar-benar seperti labirin.
Gadis cantik itu menatap Dirga dengan wajah yang sengaja dimelas-melaskan. "Emangnya nggak ada warna lain? Harus baget hijau? Khusus kamar aku diganti warna biru aja deh, ya? Boleh ya? Suami aku ganteng banget deh," rayunya.
Dirga tampak menghela nafas pelan. "Kamar kita," tegasnya.
"Sekamar lagi?!" pekik Asya tanpa sadar.
"Kenapa? Kamu keberatan?"
Asya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Y-ya enggak sih, iya enggak. Enggak kok, hehe." Gadis cantik itu tersenyum kikuk, menampakkan deretan giginya yang putih dan tersusun rapi. "Tapi boleh 'kan, kalau catnya diganti warna biru?" pintanya.
"Tidak."
"Lho, kok?"
Dirga menaikkan salah satu alisnya. "Apa?"
"Kok nggak boleh? Kan cuma kamar doang, harusnya boleh dong!" Gadis itu tetap tidak mau menyerah.
"Ini bukan rumah saya, Asya." Dirga menghembuskan nafas panjangnya, menghadapi gadis semacam Asya memang membutuhkan kesabaran yang lebih ekstra. "Kamu nggak lihat, rumah-rumah lain 'pun warnanya hijau semua. Tidak ada yang berani merubahnya, karena rumah ini memang bukan milik kami sepenuhnya. Baik suka ataupun tidak, warnanya akan tetap seperti ini. Lagipula rumah Dinas hanya di gunakan sementara, saat kami tengah bertugas atau pulang ke rumah orang tua, rumah ini tidak akan ditempati."
"Tapi—"
"Silahkan tidur di luar jika kamu merasa tidak nyaman," potong Dirga.
"Mas, kok tega sih?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
DIRGANTARA
Storie d'amoreDijodohin?! Sama tentara? Bagaimana rasanya menjadi istri dari seorang panglima Dirgantara? Asya yang menyukai kebebasan tanpa mempedulikan aturan-aturan yang ada, kini dituntut untuk selalu patuh dan taat pada setiap aturan yang diberikan oleh suam...