Seumur hidupnya Hilman tidak pernah menyangka akan berada di posisi ini. Menyaksikan bagaimana kacaunya keadaan posko desa sebrang membuatnya bergidik ngeri. Setelah kabar yang tadi mereka dapat, dengan segera semuanya bergegas menuju lokasi kejadian.
Tidak hanya mereka. Beberapa anggota KKN dari desa-desa lain juga turut membantu. Meskipun terdengar jahat, kalau boleh jujur Hilman merasa bersyukur karena musibah tak terduga ini tidak menimpa Desa Weringin. Membayangkan saja sudah mampu membuatnya merinding.
"Masih hujan, yakin masih lanjut sekarang?"
Yusuf yang senantiasa berada tak jauh darinya sontak mengalihkan perhatian dari genangan air yang masih mengalir deras. "Gue nggak tau. Tapi kalau nggak dilanjut sekarang, mau dikerjain kapan?"
"Apa nggak bahaya? Hujan juga masih deres. Nggak ada tanda-tanda buat berhenti."
"Tapi kalau nggak dikerjain sekarang, banjirnya makin tinggi." Jev berbicara cukup kencang karena suara yang ia perdengarkan terendam oleh derasnya hujan.
Saat ini mereka sedang mengangkat puing-puing akibat runtuhan longsor di salah satu lahan warga. Walaupun hal ini cukup bahaya sebab semuanya tidak tahu apakah longsoran tersebut hanya terjadi satu kali atau justru ada longsoran susulan. Tetapi yang pasti, banjir tersebut tidak boleh semakin tinggi.
Sedangkan di titik lain ada Seno, Renan dan Jendra yang sedang berdiskusi bersama warga. Warga tidak mau menanggung resiko atas keputusan yang mereka ambil. Apabila saat ini mereka memilih untuk membenahi jembatan yang runtuh, mereka tidak bisa menjamin kegiatan tersebut akan memakan korban atau tidak.
Dilihat dari derasnya aliran sungai, sepertinya ini terlalu berbahaya. Apalagi sungai di desa tersebut cukup dalam. Sehingga keputusan untuk membenahi jembatan tersebut lebih baik dilakukan di kemudian hari, sehingga saat ini mereka beralih untuk membantu teman-teman yang berada di titik yang berbeda.
***
"Udah pada tidur?" ucap Sella di tengah keheningan kamar.
Selepas anggota laki-laki pergi dari posko, mereka semua memutuskan untuk memasuki kamar dan bergegas tidur meskipun jam masih menunjukkan pada angka delapan.
"Gue nggak bisa." Talia memiringkan badannya ke samping kiri. Menghadap Sella yang sedari tadi menatap lurus ke atap yang bercat putih—tidak sepenuhnya putih, terdapat beberapa jejak kecoklatan yang diyakini berasal dari air rembasan akibat hujan.
"Si Jev juga belum ngechat gue."
"Emang Jev kenapa?"
"Dia janji buat hubungin gue kalau udah sampe."
Ajeng yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan mereka ikut masuk ke dalam obrolan. "Kayaknya mereka nggak sempet buka hp. Tau sendirikan keadaan pasti bakal secaos apa. Lagian juga hujan, mereka mana berani hujan-hujan gini."
Tanpa sadar Shasha yang kembali menempelkan timun pada kelopak matanya menyetujui ucapan Ajeng. Di tengah kegiatan yang menegangkan seperti ini, perempuan itu masih sempat-sempatnya mengoleskan masker pada wajahnya. Bukannya tidak khawatir. Hanya saja, perawatan pada wajah sangatlah penting.
Shasha juga sering mengecek ponselnya siapa tahu ada notifikasi pesan masuk dari mereka. Namun hingga saat ini masih nihil. Sama seperti Talia. Bedanya Shasha terlihat jauh lebih santai.
"Mereka pasti gapapa. Percaya sama gue," sahut Shasha sembari merasakan sensasi dingin pada wajahnya.
"Emang lo nggak khawatir?"
"Khawatir, tapi gue santai. Liat aja noh Yesmin sama Karin malah makan ciki. Kita di sini sama khawatirnya. Bukan cuma lo doang, Tal. Mending sekarang kita tidur biar besok bisa aktivitas lagi. Soal mereka, mereka pasti bisa jaga diri kok. Lagian yang ke sana bukan cuma anak KKN sini. KKN dari desa lain banyak yang ikut bantu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, KKN
General FictionKisah tentang kegiatan kampus yang mengharuskan dua belas anak manusia hidup dan berbagi tempat tinggal selama 30 hari. Tawa, suka, duka dan ketakutan akan menghampiri mereka setiap harinya. Mereka dituntut untuk bisa menyatukan banyak kepala menjad...