Setelah liburan yang mereka lewati kemarin, bukan berarti mereka bisa berleha-leha sembari memakan ciki. Mereka tidak akan bisa sesantai itu. Justru mendekati pertengahan bulan begini, mereka harus giat-giatnya mengerjakan progker agar selesai tepat waktu, mengingat masih ada gebyar KKN yang menantinya di akhir kegiatan.
Sesuai dengan jadwal yang tertera di mading posko, hari ini mereka harus melakukan pengecekan sampah-sampah di rumah warga. Jev, Ajeng, Renan dan Sella yang mendapat giliran untuk hari ini.
Namun karena Sella yang tiba-tiba mengeluh sakit perut karena datang bulan, akhirnya digantikan oleh Karin. Perempuan itu dengan sukarela mengajukan dirinya untuk mengikuti rutinitas wajib tersebut.
Dengan masing-masing satu buku di tangan, dan kamera yang Jev bawa. Mereka berempat menyusuri setiap rumah warga yang sudah tersedia karung sak di depannya. Untuk mempersingkat waktu, Renan menyarankan agar dibagi menjadi dua kelompok. Jev pergi bersama Ajeng dan Renan dengan Karin.
Jev yang menaruh hati pada Ajeng tentu saja senang. Pasalnya selain bisa mengobrol berdua, Jev juga punya maksud terselubung untuk lebih dekat dengan Ajeng.
“Jeng, gue kepo deh. Tapi sorry, ya, kalau misalkan pertanyaan gue terkesan gimana gitu.”
“Santai aja kali, Jev. Selagi gue bisa jawab. Bakal gue jawab. Emang lo mau nanya apa?”
“Lo masuk kedokteran karena emang pengen jadi dokter, ya?” tanya Jev tanpa mengalihkan kegiatannya yang tengah memotret beberapa karung sak.
Pertanyaan macam apa itu? Memang ia yang memilih masuk hukum karena iseng. Dan akhirnya sekarang menyesal, lalu menganggap salah jurusan. Begitu?
“Oh itu, aslinya orang tua gue nyuruh buat masuk bisnis aja. Manajemen kayaknya. Tapi gue nggak mau. Masa dari semua keluarga gue, kakak-kakak gue lulusan sarjana bisnis. Jadi, yaa, gue milih buat beda aja. Dan yups, akhirnya—” Ajeng tersenyum saat ada ibu-ibu yang berpapasan dengan mereka. “Akhirnya gue ambil kedokteran.”
“Orang tua lo setuju dong.”
“Awalnya tetep keukeuh nyuruh buat ambil bisnis. Tapi gue ngotot. Lagian gue nggak ada jiwa bisnis-bisnisnya. Nggak tertarik juga. Jadi daripada nyesel, mending gue nentang dari awal, kan. Yang kuliah, kan, gue. Bukan mereka.”
“Tapi yang bayar kuliah, kan, mereka?”
“Iya, sih, tapi mau gimana lagi. Kalau lo?”
“Kayaknya gue pernah bilang ini sebelumnya ke lo.” Jev selesai dengan kameranya, berganti fokus ke arah Ajeng yang tengah menunggu jawabannya. “Gue iseng masuk hukum, hehehe.”
“Astaga, Jev. Itu, kan, buat masa depan lo nanti. Kenapa bisa iseng-iseng gitu?”
“Gue nggak punya tujuan, serius. Gue pusing mau ambil apa dulu tuh. Kayak semua jurusan nggak bikin gue tertarik. Akhirnya gue pilih hukum. Biar cepet. Meskipun agak riweh sih ngapalin pasal yang setebel tumpukan dosa gue. Tapi ternyata ngambil hukum nggak buruk-buruk amat.”
Kekehan terdengar dari bibir tipis Ajeng. Perempuan itu tertawa karena mendengar penuturan dari Jev yang ia anggap lucu. Ayolah, mana ada pasal-pasal yang ketebalannya seperti tumpukan dosa?
Kalau dipikir-pikir, Jev lucu juga.
Tidak ingin kehilangan momen itu, Jev dengan kecepatan kilat memotret sesuatu yang indah di sampingnya tanpa disadari oleh sang empu. Melihatnya saja sudah membuat jantung Jev berdebar-debar.
Saking terpukaunya Jev dengan apa yang ia lihat barusan, laki-laki itu tidak memperhatikan langkahnya. Undak-undakan yang entah dibuat untuk tujuan apa, berhasil menghalangi langkahnya. Jev tersungkur begitu saja dan menghasilkan bunyi debaman yang cukup keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, KKN
Narrativa generaleKisah tentang kegiatan kampus yang mengharuskan dua belas anak manusia hidup dan berbagi tempat tinggal selama 30 hari. Tawa, suka, duka dan ketakutan akan menghampiri mereka setiap harinya. Mereka dituntut untuk bisa menyatukan banyak kepala menjad...