"Sini kertasnya, biar gue fotocopyin sama Jendra."
Satu kalimat yang diucapkan oleh Yesmin secara spontan tersebut membuat Karin menatap balik perempuan itu dan kertas yang ia bawa secara bergantian. Karin bingung dengan kejadian yang baru saja menimbulkan sedikit kecanggungan tersebut.
Mereka sedang tidak dalam ajang pemilihan, kan?
"Oh boleh," ucap Karin setelah kesadarannya kembali. "Ini nanti lo fotocopy rangkap tiga. Nah yang satunya lo fotocopy jadi lima lembar. Oh iya, kalau ada klip yang kecil beli dua kotak yaa. Duitnya ntar diganti sama Talia. Lo tinggal tunjukin notanya aja."
"Sippp. Yuk, Jen," seru Yesmin setelah paham dengan apa yang Karin jelaskan. Sementara Jendra yang sedari tadi hanya memperhatikan, kini ikut menarik diri dari hadapan Karin, berniat menyusul Yesmin yang sudah lebih dulu pergi dari hadapan mereka.
"Sorry, nggak bisa nganterin lo, hehehe."
"Santai. Gini doang." Karin hanya tersenyum simpul sebagai balasan atas apa yang Jendra katakan.
Sepeninggalan Jendra dan Yesmin yang pergi untuk fotocopy titipan dari Karin, di dalam posko tepatnya di kamar anggota laki-laki sudah ada Ajeng, Shasha, Hilman dan juga Yusuf yang tengah berbaring. Sejak pulang dini hari tadi, keadaan Yusuf terbilang tidak baik-baik saja. Suhu tubuhnya perlahan naik, kepalanya juga terasa pening. Hal itu membut laki-laki dengan kaos hitam polos meringkuk dalam tidurnya.
"Gimana?" tanya Hilman yang nampak khawatir dengan kondisi Yusuf.
"Panasnya masih nggak mau turun. Padahal tadi udah dikasih Paracetamol," ucap Ajeng setelah mengecek suhu tubuh Yusuf pada Termometer yang ia bawa.
"Kayaknya kita harus ke puskesmas deh," usul Shasha.
"Emang di sini ada puskesmas?"
Sejauh Ajeng tinggal di Desa Weringin, perempuan itu belum pernah melihat puskesmas sama sekali. Ia juga lupa menanyakan hal ini kepada Pak Suman. Akibatnya sekarang mereka bingung harus membawa Yusuf kemana. Keadaan hujan deras semalam dan harus terjun langsung ke daerah yang terendam banjir membuat tubuh Yusuf-mungkin sedang memiliki daya tahan tubuh lemah-mengalami demam.
Renan datang dari arah depan ditemani oleh Jev. Keduanya baru saja datang dari kediaman Pak Suman untuk menanyakan perihal puskesmas terdekat.
"Mumpung masih jam sepuluh berangkat sekarang aja. Tadi kata Pak Suman sekitar dua kilo dari sini ada puskesmas," jelas Jev dengan kunci motor di tangannya.
"Terus ke sananya naik apa?" Hilman menimpali.
"Motor? Kita nggak ada kendaraan lain selain motor." Renan tampak bingung. Laki-laki itu juga tidak tahu harus menjawab yang bagaimana. Masalahnya jarak dua kilo tidak terbilang dekat. Dengan jarak seperti itu dan dalam kondisi Yusuf yang tidak baik-baik saja, Renan takut kalau kondisi Yusuf semakin parah.
"Pinjem mobilnya warga." Rupanya usul Shasha tidak cukup bagus.
"Memangnya warga di sini ada yang punya mobil?" tanya Jev yang terdengar sedikit tidak percaya.
Bukan bermaksud merendahkan, hanya saja perekonomian warga Desa Weringin sangat kurang. Jangankan untuk membeli mobil, menyekolahkan anak mereka saja banyak yang tidak mampu.
"Udah-udah. Kita bonceng tiga aja. Gue yang bawa motor, nanti biar Yusuf yang ada di tengah. Jev yang di belakang."
"Aman?"
"Aman," seru Renan yakin. Mau tidak mau, suka tidak suka, ya harus seperti itu. Sekarang ini keadaannya sedang genting. Sangat disayangkan kalau harus membuang-buang waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, KKN
General FictionKisah tentang kegiatan kampus yang mengharuskan dua belas anak manusia hidup dan berbagi tempat tinggal selama 30 hari. Tawa, suka, duka dan ketakutan akan menghampiri mereka setiap harinya. Mereka dituntut untuk bisa menyatukan banyak kepala menjad...