47

1.3K 165 0
                                    

Malam itu Kenneth berencana untuk mengunjungi Margaret namun justru perempuan itu yang datang ke kastilnya. Rambutnya setengah tergerai, sama seperti saat ia dilukis tadi. Margaret datang dengan banyak jamuan. Kenneth memperhatikan satu per satu makanan yang ada di nampan saji. Semua adalah makanan kesukaannya.

"Aku meminta maaf atas ucapanku tadi, Yang Mulia. Aku sangat bodoh sekali, seharusnya aku lebih pandai untuk memilah kata - kataku." Ujarnya pelan dan lembut. Ia mengatakannya dengan bahasa yang sangat formal.

"Lupakan saja, aku tidak ingin mengingatnya." Kenneth beralih begitu saja sembari berjalan memasuki kamarnya. Sepertinya ia masih kesal, pikir Margaret dalam hatinya.

"Kalian semua keluar dari sini." Ia menatap tajam satu per satu orang yang ada disana. Margaret bingung, apakah itu hanya ditujukan untuk pelayan atau untuk dirinya juga. Tetapi ia lebih memilih tetap tinggal karena tak mungkin Kenneth mengusirnya. Buktinya saja lelaki itu tetap tenang saat Margaret membantunya untuk melepas jubahnya.

"Tubuhmu sangat dingin, Yang Mulia. Kau seharusnya tidak mandi semalam ini. Aku akan membantu untuk mengeringkan rambutmu, duduklah." Ia masih sempat berbasa - basi namun Kenneth tetap diam tak menjawab, membuat suasana semakin canggung.

"Apakah kau masih marah padaku ?" Tanyanya hati - hati namun cukup berani.

"Aku tidak marah padamu. Aku marah pada diriku sendiri."

Spontan Margaret menghentikan kegiatannya beberapa saat sebelum ia kembali memijat kepala Kenneth dengan lembut. Suasana menjadi canggung. Baik Kenneth maupun Margaret tak tahu harus menyambungnya dengan topik pembicaraan seperti apa.

"Aku merasa buta arah. Aku tidak merasa berada di rumah. Entah rumah siapa yang ku tinggali sekarang." Tiba - tiba Kenneth berkata demikian, membuat Margaret mendengarkannya dengan hati - hati.

"Aku tidak pernah mendengar pembicaraan keluarga, hanya ada pembicaraan kerajaan. Aku ingat, selalu ada perdebatan di dalamnya. Satu - satunya pembicaraan keluarga yang tersisa adalah rencana perpisahan. Tetapi mereka bekerjasama dengan baik. Mereka bekerjasama untuk mencetak seorang raja, bukan seorang putra."

Ada nada kesedihan tersendiri yang muncul dari seorang mulut Kenneth Days. Margaret tak begitu paham apa yang akan dikatakan Kenneth. Namun setelah ia mendengar kalimat terakhir, semuanya terasa masuk akal. Margaret mulai bisa memahami semua ini.

"Tidak ada yang berjalan baik. Semua orang fokus pada tugasnya masing - masing, melupakan seorang anak yang perlu diperlakukan secara manusiawi. Tak ada rasa cinta di dalamnya, hanya ada rasa keharusan untuk mendidik seorang calon raja sesuai kriterianya sendiri. Itu membuat perbedaan besar mengenai hasil akhir yang mereka dapatkan, bahwa mereka bisa mendapat seorang raja, tapi tidak dengan putra."

"Aku turut berduka mendengarnya, Yang Mulia."

"Kau tak perlu berduka untuk hal seperti itu. Itu terjadi jauh sebelum kau datang kemari." Nadanya sangat datar, sama seperti raut wajahnya saat ini.

"Aku ingin menyerah dalam perjalanan menuju takhta, namun aku berpikir ulang. Semua penderitaanku akan sia - sia bila aku tidak menjadi raja. Menjadi raja bukan tentang aku merasa pantas untuk hal tersebut, melainkan untuk mengambil alih kemudi agar aku tak perlu lagi menuruti kemauan orang tuaku. Sejak saat itu aku berambisi untuk menjadi raja. Aku menumpas habis semua musuhku di medan perang, aku berperang dengan berani. Bila aku melewatinya dengan cucuran darah, maka aku harus bisa duduk dengan tenang setelah aku naik takhta."

Mendengar cerita Kenneth semakin dalam, Margaret menghentikan aktivitasnya kemudian berpindah duduk tepat di sebelah lelaki tersebut. Ia menduga - duga. Seburuk apakah masa lalu Kenneth hingga ia tak mengizinkan satu orang pun untuk mendekatinya ? Bahkan Margaret sekalipun, yang tak lain adalah istrinya sendiri.

COLD DAYS - Bride for The KingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang