I Will Never Beg for Your Mercy

9.6K 328 4
                                    

Renata mengikuti Darren sampai ke sebuah kamar dengan dinding kaca yang hanya mengandalkan penutup dari tirai tebal yang tergantung tinggi.

Dari sini, pemandangan kota San Fransco yang megah dapat terlihat dengan jelas. Kelap-kelip gemerlap kota yang biasanya menjadi pemandangan indah, kini seakan mengejeknya.

Darren melangkah lebih ke dalam. Membiarkan Renta yang terdiam sejenak di belakangnya.

Suasana kamar ini remang dan beraroma maskulin. SandalWood, khas lelaki berkarakter kuat seperti Darren. Aroma itu bagai menyatu dan menjadi ciri khasnya.

"Masuklah, kau hanya akan terus berdiri di sana. Buatlah dirimu nyaman," tambah Darren. "Ah, dan nikmatilah dulu sesaat momen-momen di mana kau bisa bertumpu pada kakimu sendiri," ledeknya lagi. Lalu tersenyum sinis.

Renata menarik napas dalam. Kembali ia mengangkat dagunya. Tak sedikit pun menunjukkan sisi lemah.

Heelsnya berdentam. Mengiring langkahnya menatapi area di sekitar kamar Darren yang temaram. Ia tak menyalakan lampu utama, dan hanya mengandalkan bias lampu dinding vertikal, atap, pun perapian indoor BioFuel yang menyala-nyala dengan lembut.

Kamar ini bahkan begitu luas untuk dipakai sendiri. Berbeda dengan milik Renata yang bergaya klasik, di sini lebih berdesign modern, lengkap dengan sofa berbentuk persegi, dan karpet yang berwarna gelap.

Darren kemudian mulai melepas jam tangannya sambil berbicara, "Kau tahu? Aku tak pernah membawa satu pun wanita ke sini." Ia menjeda sambil menaruh jam tangan ke satu sisi meja dengan lampu. "Kau yang pertama," ucapan itu mengikut pula saat ia melepaskan cincin dari jari kelingkingnya.

"Ch!" Renata berdecak. Ia sama sekali tidak perlu tersanjung dengan kata-kata itu. Urusannya adalah membawa pulang Raylie dan anak buahnya dengan selamat. Bukan untuk menjadi wanita pertama yang berada di kamar pribadi seorang Darren Ludovic.

"Ini tempat istirahatku. Aku biasanya bermain di luar. Seharusnya, kau bangga bisa menjadi wanita spesial." Ia berbalik badan, lalu bersandar pelan di meja tersebut. Menatapi Renata dengan segala pendambaannya.

Sudah begitu lama ia menantikan wanita ini menginjakkan kaki ke sini.

Renata pun kembali mengangkat dagunya. "Aku tidak peduli."

"Ha ha ha." Tawa dengan suara serak itu menggema di kamar ini.

Darren kembali menatap Renata dengan senyum brengsek. "Kau angkuh sekali, Renata. Apa kau belum sadar, sekarang berada di mana? Selain ini adalah daerah kekuasaanku. Aku adalah laki-laki yang paling layak untuk bersamamu."

"Heh." Renata tersenyum meledek. "Kau sama sekali tidak layak, bahkan untuk menyentuh ujung rambutku, Darren! Kau menang hanya karena sebuah kesalahan."

"Hahaha." Lagi Darren terkekeh. Ia benar-benar takjub dengan mulut penantang, yang barusan habis diciumnya itu. "Baiklah. Aku akan memanfaatkan kesempatan kalau begitu. Karena aku tak layak menyentuh ujung rambutmu. So ...." Suara Darren berubah dalam dan ia sedikit menunduk. Sebelum mengangkat kepalanya lagi menatapi Renata. "Aku akan menjambak. Membuatmu mendongak dengan cara itu, lalu menghisap kulit lehermu dalam-dalam, agar tercipta banyak tanda di sana. Bagaimana? Kau suka itu?"

Napas Renata tertahan di dada membayangkan. Sungguh, lelaki ini sangat lihai dalam hal mengintimidasi.

Renata bergetar karenanya. Namun, ketegangan dan keangkuhan tetap ia tampilkan di luar tubuh.

Miris! Memangnya apa yang Renata harapkan dari lelaki biadab ini? Perlakuan lembut? Itu tidak mungkin!

"Atau ...." Darren melanjutkan dan beranjak dari sandarannya. Ia mendesah dengan napas berat, sembari berdiri tegak dan menaruh dua tangannya ke pinggang.

THE BEAUTIFUL MAFIA (EROTICA ROMANCE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang