Setelah meninggalkan kamar Solar, BoBoiBoy bersaudara yang lain pergi ke kamar masing-masing untuk melanjutkan kegiatan masing-masing. Si anak tertua BoBoiBoy, yakni Halilintar juga memutuskan mengistirahatkan tubuhnya yang kelelahan karena kurang tidur akibat harus mengurus beberapa masalah listrik di pusat kelistrikan kota Rintis. Sebagai kakak tertua dia juga harus membantu sang ayah yang bekerja sebagai salah satu orang besar di pulau rintis, meskipun adik-adiknya juga ikut bekerja.
Halilintar merentangkan tangannya dan menarik nafas panjang untuk merilekskan tubuhnya. Dia juga meregangkan tubuhnya sehingga beberapa tulangnya berbunyi karena pegal. Setelah itu dia langsung menjatuhkan dirinya seakan tanpa beban ke kasur miliknya. Halilintar tidak peduli lagi seberapa kacau dirinya saat ini, yang ia pedulikan kini hanya mengistirahatkan tubuh dan pikirannya yang sudah semrawut seperti tali yang terikat tidak beraturan.
Jika boleh jujur Halilintar sangat tidak menikmati pekerjaannya. Awal mula dia menjadi salah satu orang yang bertanggung jawab akan kelistrikan di kota Rintis adalah saat dia tidak sengaja memecahkan masalah kelistrikan besar yang dulu menimpa kota Rintis. Berkat kemampuannya, para ilmuwan merekrut Halilintar ikut dalam mengurus kelistrikan. Awalnya Amato tidak setuju, namun karena didesak akhirnya Amato terpaksa menyetujui putra sulungnya ikut dalam urusan kota Rintis di bidang kelistrikan. Katanya, "dia adalah calon masa depan kota Rintis yang cerah. Kita harus membiarkannya mengembangkan bakatnya agar dia bisa membanggakan orang tuanya..." sungguh alasan yang terlalu berat untuk remaja seumuran Halilintar saat itu. Halilintar saat itu sangat marah dan hampir melukai dirinya, namun saudaranya berusaha memenangkannya. Saat itu dia sudah berusia tiga belas tahun, tidak ada lagi dua orang yang dia harap untuk memberinya nasihat. Para ilmuwan tidak tahu malu itu dengan wajah khas penjilat membawanya memulai kehidupan orang dewasa.
Sambil melihat langit-langit kamarnya, pemuda dengan manik merah delima itu membiarkan pikirannya berkeliaran kemana-mana. Namun hal yang paling dia fokuskan adalah masa lalunya, masa dimana keluarganya masih lengkap dan dia masih bahagia bersama ibu dan adik pertamanya. Saat itu dia masih kecil dan belum tau banyak hal, bahkan masalah adiknya kadang dia tidak pedulikan. Namun kini dia menyesali perbuatannya di masa lalu, harusnya dia lebih banyak menemani adik pertamanya saat masih kecil, bukan menghakiminya seakan sudah mengetahui segalanya. Penyesalan terbesarnya adalah saat pertemuan terakhir mereka Halilintar bukannya meminta maaf malah mengabaikan adik pertamanya itu. Kini semuanya sudah terlambat, keadaan adik pertamanya bahkan tidak diketahui apakah masih hidup atau tidak, tapi Halilintar mampu merasakan jika setitik harapan masih ada, walau sangat kecil kemungkinan.
Dulu jika Halilintar tengah terpuruk, ibu dan adiknya selalu disisinya. Adik pertamanya yang paling sering menyemangatinya. Sejahil apapun dia, adik pertamanya itulah yang dulu membuatnya melepas emosi. Dari kecil Halilintar jarang berekspresi kepada keluarganya karena merasa hidupnya membosankan, namun berbeda dengan adik pertamanya yang sering memiliki rencana untuk membuatnya marah atau tersenyum kecil. Bahkan saking dekatnya adiknya itu mengetahui kelemahan Halilintar. Jika kesal adiknya yang lain akan berlari, namun adik pertamanya dengan berani mampu memadamkan kekesalannya dengan mudah, beberapa kata dan tingkah laku konyolnya mampu membuat Halilintar langsung menepuk jidatnya. Adiknya itu sangat mempercayainya meskipun Halilintar sering salah paham padanya. Hatinya seakan dilindungi oleh tameng tak terlihat sehingga tetap kuat saat takdir mempermainkan dirinya.
Halilintar ingat, dia pernah mencurahkan segala perasaan lelahnya pada adiknya itu. Saat itu dia hanya bisa bersandar pada adiknya yang tetap memberinya kehangatan dengan senyum tulus dan pelukan lembut. Setelahnya Halilintar tertidur dengan tenang setelah mendapatkan kata-kata penguat dari adiknya itu.
#Flashback on
Halilintar saat itu masih berusia enam tahun namun dia telah mengenal dunia kerja. Sang ayah terus memaksanya belajar seperti adik bungsunya, Solar yang memiliki bakat langka. Halilintar sudah mengetahui komputer atau gadget dan sudah bisa memakainya. Namun sama seperti Solar, dia jarang bermain bersama saudaranya karena terus bekerja dan belajar. Akibatnya Halilintar menjadi dingin dan selalu berekspresi datar karena kurang bersosialisasi dan mengeluarkan emosi. Saudara yang sering mendatanginya adalah adik pertamanya, Taufan. Taufan juga kadang membantunya walau sering dianggap gangguan oleh si sulung.
KAMU SEDANG MEMBACA
🌪𝙰𝙽𝙶𝙸𝙽 𝚈𝙰𝙽𝙶 𝙷𝙸𝙻𝙰𝙽𝙶🌪
FanfictionWARNING: Rating umur 13/15/17 tahun keatas Bahasa Indonesia Bahasa campur baku dan gaul Ada kata yang agak berat dipahami Siapkan pikiran biar paham alur Chapter agak panjang walau awal-awal pendek Jaga kesopanan dalam berkomentar Banyak typo dan ke...