Berbeda dengan saudaranya yang lain, Blaze dan Duri adalah pembuat masalah yang selalu kompak. Jika ke empat saudaranya yang lain selalu serius dan memanfaatkan bakatnya untuk publik, Blaze dan Duri jarang mengeluarkan tenaga untuk ikut dalam gerakan Masyarakat dan jarang serius. Mereka memilih fokus pada study masing-masing. Namun tetap saja mereka memiliki kemampuan tersendiri. Blaze yang sangat hebat dalam olahraga dan bela diri sedangkan Duri hebat dalam ilmu Botani dan Biologi. Mereka berdua selalu mengumbar senyum seakan tak ada masalah, Blaze dengan senyum jahilnya dan Duri dengan segala kepolosannya. Tapi saudaranya tidak banyak tahu bahwa keduanya sebagai orang yang paling dekat dan sangat bergantung pada sang 'kakak kedua' selalu terbayang akan bayangannya. Jikalau serius maka mereka tidak kalah dari para saudaranya yang lain.
Di kamar Blaze, dua pembuat masalah itu tengah bermain game di komputer. Permainan dimenangkan oleh Blaze dan membuat adiknya cemberut. "Hmph. Iya iya aku tau kau itu master game di rumah ini. Tapi belum tentu kau mengalahkan kak Tau- ups!" Duri secara tidak sengaja menyindir Blaze dengan nama sang kakak. Blaze hanya menatap tajam adik polosnya yang mulutnya butuh filter itu. "Jangan membuat mataku bengkak lagi, Dur!" Kesal Blaze. Duri hanya menggaruk pipinya dan tersenyum gugup. "Maaf... Aku rindu padanya hehe. Tapi kata Dylan 'jangan rindu, rindu itu berat' pada Milia benar juga yah. Sampai sekarang aku terlalu berat melepaskan Ibu dan kakak..." Gumam Duri. Blaze hanya meliriknya malas. "Dasar korban drama." Sindirnya.
Blaze keluar dari aplikasi gamenya lalu mematikan komputernya. Dia duduk di kasurnya bersama sang adik dengan wajah suram. "Yah kau benar. Aku tidak menyangka kakak pergi semuda itu. Mana tubuhnya tidak ditemukan. Berharap saja dia masih hidup, kan kasihan kak Hali yang kadang menangis, seperti tadi." Ujar Blaze, tapi suaranya sedikit kikuk. "Kau pun sama. Aku tau kau sering menangis kalau tidak sengaja ingat kenangan dengan kakak." Kali ini balas Duri yang menyindir. Bantal mendarat di wajah maniak hijau itu. "Seperti kau tidak saja. Aku masih ingat kau curhat dengan foto kak Upan. Saat itu wajahmu menggelikan." Blaze tidak terima di sindir dan membalas ucapan Duri. Akhirnya terjadi perang bantal yang menimbulkan kebisingan.
Saat masih sibuk saling melemparkan bantal ketukan terdengar di luar kamar. "Kalian berdua, apa yang kalian lakukan sehingga sangat berisik hah? Nanti kak Hali bangun dan memarahi kalian lagi." Gempa memperingati di luar dengan suara yang dipelankan. "Maaf kak Gem. Ini hanya main sebentar kok. Kami akan berhenti." Teriak Blaze. "Baiklah. Aku pergi dulu, jangan berisik lagi." Terdengar suara langkah kaki Gempa perlahan meninggalkan pintu kamar Blaze. Dua pembuat masalah itu mengelus dada lega. "Syukurlah kak Gem gak marah. Itu terlalu mengerikan." Ujar Blaze diikuti anggukan kepala Duri. Mereka berdua membereskan kamar yang sempat berantakan karena perang bantal tadi.
Setelah kamar dibereskan, kedua bersaudara itu merebahkan diri dikasur. Mereka terdiam beberapa saat, entah memikirkan apa saat ini. "Aku rindu ibu dan kak Taufan..." Rengek Duri sambil memeluk Blaze. "Heh lepaskan! Kau bukan anak tujuh tahun lagi dan aku bukan kak Taufan yang nyaman jika dipeluk!" Blaze berusaha melepaskan Duri bahkan mendorongnya hingga jatuh. "Kau menyebalkan Blaze! Aku kan cuma mau dipeluk seperti kam Taufan dulu. Didorong sampai jatuh itu menyakitkan." Oceh Duri sambil mengelus kepalanya yang nyeri akibat terjatuh. Blaze hanya menyengir tak berdosa. "Ya maaf. Itu juga karena kau peluk aku terlalu keras. Aku juga bukan orang yang suka dipeluk." Ucap Blaze sambil menyatukan tangannya meminta maaf. "Humph! Kalau kak Taufan tau dia pasti sudah menegurmu." Kesal Duri. "Benar haha. Aku rindu ocehannya. Setidaknya jika dia marah tidak semengerikan kak Gempa ya." Gumam Blaze yang kembali merebah diri bersama Duri.
Duri melihat handphonenya dan melihat fotonya bersama teman baru mereka yaitu Taufan Beliung dan Blaze disekolah. "Eh lihat. Jika dipikir-pikir Taufan mirip kak Upan ya. Mata, senyum sampai kepribadian persis. Bahkan dari awal kita bertemu aku sempat mengiranya sebagai kak Upan lho." Kelas Duri melihat foto sahabat baru mereka itu. "Benar. Tapi dia terasa asing. Mungkin kebetulan saja. Kan dunia ini luas, ada orang yang memiliki kembaran." Balas Blaze santai. "Iya juga sih." Mereka lanjut memainkan rebahan dan bersantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
🌪𝙰𝙽𝙶𝙸𝙽 𝚈𝙰𝙽𝙶 𝙷𝙸𝙻𝙰𝙽𝙶🌪
FanfictionWARNING: Rating umur 13/15/17 tahun keatas Bahasa Indonesia Bahasa campur baku dan gaul Ada kata yang agak berat dipahami Siapkan pikiran biar paham alur Chapter agak panjang walau awal-awal pendek Jaga kesopanan dalam berkomentar Banyak typo dan ke...