𖧷 🦉 ゙𝟏𝟔. 𝐁𝐀𝐍𝐃𝐔𝐍𝐆᠉ 𖧧

34 7 0
                                    

Embun pagi disambut indahnya cahaya mentari, diikuti kicauan merdu burung kenari. Bandung, kota kembang. Dimana kerukunan dan ketenangan selalu menyelimuti masyarakatnya.

Prima, Jeff, Satria, juga Sam mengawali pagi dengan berjalan-jalan menyusuri Perkebunan Teh Patuha, yang kebetulan dekat dengan rumah nenek. Sam tidak langsung pulang semalam. Sebab mereka sampai di Bandung hampir tengah malam.

"Awas licin," ujar Jeff agar adik-adiknya lebih berhati-hati.

"Iyaa"

Prima mengabadikan setiap momen yang ia lalui dengan kamera kesayangannya. Mulai dari cantiknya pemandangan Gunung Patuha, hijaunya perkebunan teh, dan juga tentu saja wajah Sam, Jeff, dan Satria.

Sibuk dengan kameranya, Prima sampai tak sadar jika dirinya tertinggal jauh. Ia tak melihat siapapun disini. Ya, dia hanya seorang diri.

Tiba-tiba datang seorang nenek tua yang tengah memikul ambul di punggungnya. Nenek itu tersenyum pada Prima, dan memberikan segenggam teh untuk gadis itu.

Namun, belum sempat menerimanya teh tersebut, tangan Prima sudah ditahan oleh Mang Udin, salah satu petani teh disana.

"Jangan neng," ujarnya dan langsung menarik Prima untuk menjauh dari sana.

"Kenapa mang? Kasian neneknya"

"Itu bukan orang," ucap Mang Udin dengan cepat.

"Hah?"

"PRIMA!"

Mendadak seluruh keluarga Prima sudah datang. Mereka terlihat begitu lega ketika melihat Prima disana, terutama mama, beliau langsung memeluk anak perempuannya sambil menangis tersedu-sedu.

"Mama kenapa? Ini ada apa? Kalian semua ngapain disini?"

Prima sangat bingung dengan apa yang terjadi. Apakah sebuah bencana baru saja menimpa mereka?

"Lo kemana aja sih, Prim? Kita semua nyariin lo dari pagi," ucap Sam dengan wajah khawatir.

"Lah gue kan dari tadi ngambil foto, terus kalian- Loh? Udah siang?"

Prima jadi semakin bingung. Padahal, rasanya belum ada sepuluh menit dirinya jalan pagi dan mengambil foto, kenapa sekarang mendadak sudah siang?

"Gini pak, buk, semuanya. Mungkin Neng Prima teh abis digangguin sama makhluk halus disini. Tadi aja dia hampir dibawa sama nenek penunggu kebun." Ujar Mang Udin menjelaskan.

"HAH?"

"Emang katanya kalo udah masuk ke alam mereka teh, waktunya jadi beda. Mungkin Neng Prima baru ngerasain beberapa menit, tapi ternyata dia udah hilang berjam-jam," lanjutnya.

Prima kembali menoleh ke arah perkebunan, dan masih terlihat nenek itu tersenyum menatapnya, seolah mengajak gadis itu untuk ikut dengannya. Prima langsung memalingkan wajah dan kembali memeluk mama. Dia takut, hatinya terasa semakin tak tenang.

"Yaudah yuk pulang dulu, biar Prima bisa istirahat," ucap papa mengajak mereka semua untuk segera pulang.

••🦋••

Setelah menemukan keberadaan Prima, di siang yang masih terasa sejuk itu, Satria memilih untuk berjalan-jalan disekitar pedesaan. Entahlah, ia merasa sangat bosan jika hanya berdiam diri di rumah.

Saat tengah berjalan sambil menendangi kerikil-kerikil di jalanan, tiba-tiba sebuah sepeda menabraknya hingga terjatuh. Tak terlalu parah, tapi cukup wajar untuk meringis kesakitan.

"Eh, maaf, saya nggak sengaja. Kamu teh nggak pa-pa?" tanya seorang gadis cantik dengan pipi chubby dan mata bulat, lucu.

Satria masih diam. Yang ia pikirkan saat ini ialah, "Anjir ketabrak sepeda doang sampe ke surga nih gue?"

"Hey! Kamu teh kenapa?" tanyanya lagi sambil melambaikan tangan didepan mata Satria.

Akhirnya lelaki itu tersadar dari lamunannya, dan segera berdiri. Sikunya terluka, sebab ia jatuh diatas kumpulan kerikil yang cukup tajam.

"Sakit ya?" tanya gadis itu khawatir melihat luka di siku Satria.

"Nggak, nggak sakit kok. Btw, gue Satria," ucapnya memperkenalkan diri.

"Windi"

TIN TIN!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

TIN TIN!

Suara klakson dari sebuah mobil dibelakang mereka membuat Windi terkejut dan hampir jatuh. Tapi untungnya Satria dengan sigap segera menangkap tubuh mungil gadis itu.

Kedua mata itu saling menatap cukup lama, sampai akhirnya Windi sadar, stroberinya berceceran dipinggir jalan.

"Ya Allah gusti, ini teh gimana stroberi saya kotor semuaa! Ah nanti bapak pasti marah-marah!"

Gadis itu mengeluh hingga hampir menangis. Wajahnya yang lucu terlihat memerah karena jengkel.

"Pungut dulu, kita bersihin," ucap Satria sambil memunguti buah-buahan yang masih layak makan.

••🦋••

Dan disinilah mereka berada. Duduk berdua diatas sebuah batu besar, ditengah aliran sungai yang cukup tenang. Keduanya sedang membersihkan stroberi yang tadi sempat terjatuh.

"Maaf ya, gara-gara saya kamu jadi luka gini," ucap Windi karena merasa sangat bersalah. Sedangkan Satria hanya tersenyum menanggapi gadis itu, wajah bersalahnya sangat lucu.

"Kamu teh jangan ketawa mulu, bikin salting aja," ucap Windi dengan suara yang memelan di akhir kalimat.

Satria masih tertawa sambil membersihkan beberapa stroberi tersebut, lalu mengembalikannya kedalam keranjang.

"Lo asli sunda?" tanya Satria.

"Nteu, tapi saya besar disini, semenjak ayah sama ibu pisah"

"Lah lo bilang tadi takut dimarahin bapak?"

Windi menghela nafas sejenak, lalu mengangkat keranjang berisi stroberi yang sudah bersih, dan berniat pergi dari sana.

"Dia bapak tiri saya. Umur delapan tahun, orang tua saya pisah. Dan saya dibawa ibu pulang ke Bandung, sedangkan ayah stay di Jakarta. Terus, nggak lama, ibu nikah lagi sama bapak saya yang sekarang. Saya teh nggak suka sama dia, galak." Cerita Windi panjang lebar, dibarengi dengan wajah masam karena mengingat bapak barunya.

Sedangkan Satria hanya bisa mengasihani, ia tak tau harus memberi bantuan macam apa.

"Kalo kamu? Tinggal disini juga? Kok saya baru liat?" lanjutnya bertanya pada Satria.

Lelaki itu menggeleng, seraya menjawab, "Nggak, gue cuma liburan sehari, besok balik lagi ke Jakarta."

"Ooh"

"Ehm, boleh minta nomor hp lo?" tanya Satria sambil menyerahkan ponselnya.

Windi hanya meringis sambil menggaruk lehernya yang tak gatal, lalu menolak ponsel Satria.

"Hehe, punten-punten nih, bukannya nggak mau. Tapi saya teh nggak punya hp, biasanya pake telepon umum di kantor desa," ujarnya.

Sebetulnya, Windi punya ponsel, tapi ia berniat akan menjualnya nanti, untuk membayar SPP yang sudah menunggak hampir dua tahun.

"O-oh, eum kalo gitu, wait"

Satria mengambil bolpoint yang selalu ia bawa disaku celananya. Lalu menuliskan sesuatu ditangan Windi.

"Ini nomor hp gue," ucapnya, lalu cepat-cepat pergi meninggalkan Windi yang masih tertawa melihat tingkahnya.

- tbc

Samudra | Hwang HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang