SPECIAL CHAPTER

46 9 1
                                    

Primala Anindhita, tanpa Samudra-nya.

Tak mudah menjalani hari tanpa canda dan tawa Samudra. Berat, lama, sulit. Tiga kata yang bisa mewakili kehidupan Prima selama sekian tahun ini.

Namun, lukanya berhasil membaik. Luka yang selama ini sengaja ia tutup, berani ia buka hingga perlahan mengering dan sembuh.

Prima ikhlas. Prima tak pernah menyesali pertemuannya dengan Samudra, begitu pula perpisahan mereka. Prima tau, Samudra tengah tersenyum bahagia sekarang.

Iya, tersenyum melihat Prima yang berdiri gagah, mengenakan toga dan menggenggam buket bunga.

Lulus. Setelah empat tahun lamanya, perjalanan menempuh pendidikannya telah usai. Saatnya ia melangkah memulai masa depan yang sebenarnya.

Dengan tawa lebar, ia berlari menghampiri orang-orang yang hampir tak pernah berhenti mendukungnya, hingga ia berhasil meraih gelar Sarjana Seni.

Seni? Tak pernah terbayangkan sebelumnya. Kehidupan awal Prima memang sangat jauh dari kata seni. Sebelum akhirnya, ia bertemu Samudra yang memang bercita-cita menjadi seniman.

Samudra, cita-citamu tercapai!

Prima memeluk Mama dan Papa. Dengan tangis haru dan gembira, ia mengucapkan banyak terimakasih untuk keduanya. Orang-orang yang paling berjasa dalam hidup Prima.

Tak hanya orang tuanya, banyak yang datang untuk mengucapkan selamat atas kelulusan Prima.

Mika, yang masih harus melanjutkan studi untuk menjadi Dokter. Reno, dengan calon istrinya. Aji dan Satria yang kini menjadi bestie karena Aji sempat gap year. Jeffri dan Rosa yang kini telah menjadi pasutri. Dan tak lupa, Felix. Lelaki yang kini berhasil merebut kembali belahan jiwanya.

Haha, tak pernah disangka mereka kembali menjadi pasangan kekasih. Selain karena saling mencintai sesama keduanya, mereka juga sama-sama mencintai Samudra Dirgantara.

••🦋••

Diletakkannya mawar merah yang masih segar diatas nisan cantik itu. Senyum bahagia, sedih, dan bangga yang menjadi satu. Prima datang ke makam, masih dengan pakaian wisuda dan rentetan ceritanya.

"Sam? Apa kabar?" Ucapnya bermonolog sambil mengelus nisan Samudra.

"Iya aku tau, kamu pasti baik-baik aja disana."

"By the way, kamu tau nggak sih? Aku udah tuntasin studi seni loh, sama kaya mimpi kamu! Hebat kan?"

"Terus juga cafe Mama mulai buka cabang dimana-mana. Ada satu cabang yang sengaja dinamain cafe Samprima. Kamu tau dimana?"

Bibirnya tersenyum lebar, tapi matanya tak bisa ikut bahagia. Bulir air mata perlahan turun membasahi pipinya.

"Iya, di Banten. Tepat didepan Pantai Florida Anyer. Kamu jangan lupa mampir ya!"

Suaranya semakin bergetar, tak mampu mengatur intonasinya.

"Kalo kamu takut, panggil aku aja. Kita jalan-jalan lagi kesana."

Tak bisa ditahan, tangisnya semakin parau setelah mengucapkan kalimat itu. Hati yang berusaha ia kuatkan selama empat tahun ini, hancur seketika.

"Sam..."

"Aku kangen kamu"

Meskipun kini kehadiran Felix kembali mewarnai hidup Prima, namun posisi Samudra tak pernah tergantikan. Samudra tetaplah Samudra. Bahu lebar yang selalu menjadi sandaran Prima, tak akan pernah hilang dari ingatan.

Tak bisa dipungkiri, Prima benar-benar mencintai Samudra. Hanya Samudra, masih Samudra, dan akan tetap Samudra.







Selesai.

Samudra | Hwang HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang