Waktu terus berjalan hingga tibalah saat dimana operasi donor mata itu berlangsung. Dahyun terdiam menatap langit-langit ruang operasi yang kemungkinan besar menjadi pemandangan terakhirnya sebelum kedua mata itu dipindahkan untuk orang lain.
Dahyun termenung sembari menunggu dirinya tertidur akibat obat bius. Bohong jika Dahyun tidak merasa gugup, bohong jika saat ini ia tidak merasa ketakutan. Menurut Dahyun, detik ini lah yang menjadi detik paling menyeramkan, detik-detik dimana dirinya akan kehilangan indra kesayangannya itu.
Berpuluh-puluh kali batinnya bertanya apakah dirinya sudah siap akan kegelapan yang menanti? Apakah dirinya sudah siap jika Tuhan memanggilnya? Apakah dia sudah siap meninggalkan mereka orang yang ia sayang?
Terkadang seseorang berfikir bahwa lebih baik meninggalkan daripada ditinggalkan karena kita tidak akan merasa kehilangan. Nyatanya hal itu adalah kesalahan bagi Dahyun, memang ditinggalkan seseorang yang berarti sangatlah menyakitkan, tetapi meninggalkan orang yang sangat berarti bagi kita jauh lebih menyakitkan.
Rasa bersalah, rasa paling menyakitkan yang pernah tercipta di dunia ini. Kerutan di dahi Dahyun muncul bersamaan dengan bayangan wajah sedih Sana. Apakah Dahyun sudah siap... menghadapi kesedihan Sana?
Pertanyaan terpenting yang ada dibatinnya saat ini adalah... apakah Sana akan sedih jika dirinya pergi? Se-sedih seseorang yang kehilangan pasangannya? Atau hanya sekedar sedih kehilangan teman?
Suara pintu terbuka mengambil atensi Dahyun yang mulai mengantuk akibat obat bius. Walau buram, Dahyun dapat mengenali seseorang yang baru saja memasuki ruang operasi dengan terbaring di brankar.
Dahyun tersenyum kecil bersamaan dengan sepasang matanya yang mulai terpejam menampilkan kegelapan.
"Sana... ternyata kamu orang terakhir yang aku lihat"
"Mari kita mulai operasinya!"
.
.
.
.
.
Kini gadis itu terduduk diranjang rumah sakit dengan kedua mata yang tertutupi oleh perban. Rasa gugup memenuhi dirinya bahkan tangannya terlihat sedikit bergetar menantikan hasil operasi yang pastinya akan mempengaruhi masa depannya.
Senyuman tercipta kala ia merasakan genggaman lembut ditangannya yang terbebas dari infus. Ia hafal dengan pemilik tangan yang kini sedang mengusap tangannya.
Siapa lagi jika bukan Chaeyoung? Satu-satunya manusia yang selalu berada disampingnya, memberikan suka cita yang tak terbatas.
"Aku sangat gugup Chaeng" Gumam Sana.
"Aku juga, semoga saja kamu bisa melihat kembali!"
Sana mengerutkan dahinya kala mendengar nada sedih dari suara Chaeyoung. Suaranya terdengar bergetar seperti seseorang yang baru saja menangis.
"Gwenchana? Suaramu terdengar sedih" Heran Sana.
Chaeyoung tersenyum kecil, kekasihnya itu memang seorang yang peka. Chaeyoung mengusap buliran air mata yang terus saja keluar menghiasi kedua pipinya. Sedikit berdeham untuk menetralkan suaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Monochrome [√]
RomanceHidupku bagaikan lembaran monokrom hitam putih sebelum adanya dirimu yang mampu memberikan berbagai warna berharga dalam hidupku.