Prolog

13.1K 154 1
                                    

PROLOG

All my bags are packed
I'm ready to go
I'm standin' here outside your door
I hate to wake you up to say goodbye
But the dawn is breakin'
It's early morn
The taxi's waitin'
He's blowin' his horn
Already I'm so lonesome
I could die

RAMA HALIM SAPUTRA.
Kutatap jelas nama itu dengan senyum tipis sedikit menyeringai. Ya, Rama. Nama itu tertulis jelas di bagian dada seragam loreng kebangaanku yang kini tergantung rapi di belakang pintu kamarku setelah beberapa menit yang lalu telah kusetrika sambil mendengarkan lagu Leaving on a Jet Plane dari musisi Chantal Kreviazuk.
Hari ini adalah hari minggu, hari liburku setelah malam kemarin ku melaksanakan Piket semalem suntuk yang memaksaku untuk tetap terjaga dengan memakai perlengkapan lengkap dengan pistol menempel di pinggang. Melelahkan memang. Tapi itu sebanding dengan apa yang telah kudapatkan selama beberapa tahun ini. Pengalaman hidup, cinta, rasa sakit, bahkan kebahagiaan.

Samar-samar aku mendengar suara burung meratus riang di atas pohon yang daunnya berjumbai-jumpai tertiup angin sore. Sebagian daun itu meranggas jatuh, rabas menuju tanah gembur di kota Jakarta. Aku tak pernah bosan berdiam diri di sini. Menikmati senja yang singkat dengan sebatang rokok sekaligus menikmati kehidupan alam yang mutualis. Jika aku beruntung, terkadang aku melihat samudera awan di atas sana yang sejujurnya mirip dengan kapuk kasur, bertebaran secara horizontal memenuhi langit. Warnanya akan berpendar kuning keemasan diiringi munculnya lembayung senja.

"Selamat sore, Pak." Terdengar suara seseorang menyapa dari kejauhan.
"Ya selamat sore. Mau ke mana?" tanyaku
"Ijin kedepan Pak, Cari makan siang . Mohon ijin pak," sahut salah satu prajurit dengan pangkat Prada berjalan kaki lengkap dengan seragam Lorengnya . Ku balas sapaan dia dengan senyuman.

Matahari sekarang memang sedang bersinar di ufuk timur. Kukeluarkan sebatang rokok di saku celanaku sambil menengadah ke atas, menunggu senja tergelincir di peraduannya. aku tersenyum tatkala melihat seorang lelaki berbadan tegap dengan gagahnya berjalan sambil menenteng koper. Dari kejauhan aku bisa melihat lelaki itu tengah melambaikan tangan sembari tersenyum lebar. Impuls, dadaku berdebar-debar melihat betapa gagahnya dia. Dadaku semakin berdegup kencang ketika melihat sepatu PDL yang dia kenakan nampak mengkilat. Aku geleng-geleng kepala. Mau bagaimana lagi? Perasaan ini pasti ada, namun bukan berarti aku tidak bisa menahannya. Masa itu sudah lewat, masa yang telah kurekam baik-baik dalam ingatanku dan laptop kerjaku.

Semakin lama laki-laki gagah itu semakin mendekat. Sungguh, semakin dia mendekat, semakin bisa kulihat dengan jelas rahang tegas dan bahu kokohnya. Mata setajam elang dengan iris mata cokelat yang enak dipandang, juga alis tebal dan rambut cepak yang nampak pas di kepalanya membuatku geleng-geleng kepala. Dia, sang penawan.

Lalu sekarang, sang penawan itu sedang berdiri di hadapanku sambil melakukan hormat patah-patah. "Selamat Siang Komandan, Mohon ijin memperkenalkan diri dengan Letnan dua Bima Lintang Prasetya Asal Bandung, mohon ijin arahan selanjutnya Komandan".

Di depan jendela ini aku tersenyum dan menahan tertawa . "Saya sedang tidak memakai seragam, dek. Panggil saya bang saja. Kau mengerti?"
"Siap, Ndan! Ma-maksud saya Bang!"
"Silakan masuk dek, pintunya tidak dikunci. ," kataku. Dia mengangguk paham dan tersenyum bahagia.

Ceklek.
Suara pintu terbuka.
Dadaku bergemuruh. Dia tau. Bima tau soal apa yang kusukai selain fisik rupawannya. Dan, dia selalu tersenyum akan hal itu. Dia lalu melepas sepatu PDLnya dan di simpan di depan Rak sepatu depan Teras.

"Simpan dulu tasnya, di kamar ujung dek, kita ngobrol di ruang Tamu ya, abang tunggu kamu di depan ya" Ucapku sambil menghisap rokok pelan-pelan.

" Siap Bang ijin, akan saya simpan tasnya, mohon ijin menyampaikan bang, saya harus merevisi laporan buat dikirim ke pusat. Ijin bang, Bisa saya pinjam laptopnya sebentar, Bang?", Laptop saya baru kemarin saya perbaiki dan masih di tempat servis bang ijin", dengan berdiri tegap dan gagah Bima masih patah-patah berbicaranya kepada ku
Aku mengangguk dan tersenyum melihat Bima masih seperti sebelumnya pertama yang saya kenal. Sejujurnya aku ragu Laptop itu tak pernah sekalipun kuberikan pada siapapun, tapi karena situasinya sekarang Bima adalah bawahanku, kurasa tak apalah aku pinjamkannya sebentar.

"Silakan dek, laptopnya nyala kok." Ucapku sambil menujuk ke arah meja di pojokan meja.

Selagi dia sibuk berjibaku dengan laptop dan hardisk yang baru dia keluarkan di dalam tasnya, aku pergi ke dapur untuk membuat kopi. Karena kopi di dalam toples ternyata sudah habis, aku membuka bungkus kopi baru yang kalo gak salah telah kusimpan di dalam rak. Nahasnya, gulanya sudah habis sehingga terpaksa aku pergi ke warung untuk membeli gula.
Akhirnya selesai.

Aku kembali berjalan menuju ruang tamu, dimana menuju Bima yang sedang asik buat Laporan. Saat aku berada di sampingnya, mataku seketika menanap seraya menaruh kopi di tanganku di atas meja, naasnya secepat yang aku baca di layar Laptop itu. "Apa yang kau baca, dek!"

"Bang? I-itu kisah hidupmu sendiri? Maaf lancang, tapi saya gak sengaja baca karena file-nya ada di histori paling atas Microsoft Word-mu. Keren, Bang! Saya boleh baca kan, Bang? Sampai akhir." Aduh kenapa jadi begini? Bagaimana mungkin aku menolak tatapan memohon yang sedang dia tunjukkan saat ini padaku?

"Gak bisa, dek. Itu aib saya. Itu sejarah kelam saya. Ada banyak orang nama serta orang yang mungkin bisa menyakitimu kelak jika kamu memaksa membaca." Bima terdiam. Dia menatapku lekat sambil mulutnya terbuka sedikit. Kerutan dahinya naik ke atas, nampak jelas terlihat dia masih penasaran.

"Apakah sebuah novel non-fiksi?"
"Ya," jawabku skeptis.
"Kau yang membuatnya?" tanyanya.
"Bukan, tapi rekan saya."
"Rama," ucapnya sambil membaca ulang judul tulisan itu. "Ini kisahmu, Bang. Apa itu artinya nama Bima ada di dalamnya?" tanyanya lagi, sambil menatapku lekat.
"Ya, nama Bima Lintang Prasetyo ada di dalamnya."

Seketika senyumnya mengembang, "Kalo gitu saya gak masalah Bang. Mungkin saya akan merasakan sakit jika membaca satu nama atau puluhan nama yang esensinya dulu pernah kau sebut namanya dengan penuh cinta atau bahkan sebelum kamu tidur, tapi ada satu fakta yang saya tahu kini bahwa mereka gagal jadi tempat pelabuhanmu sekarang." Bima tiba-tiba berdiri sambil memberiku hormat. "Izin, Ndan! Bolehkah saya membaca cerita Rama dari awal hingga tuntas!?"

Aku tergelak. "Di sana terdapat fetishism yang mungkin menurutmu terdengar gi-"
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatnya, Bima menukas dengan kalimat, "Saya siap bang ijin!"

Maka, biarlah. Biarlah dia membaca kulminasi tertinggi dari perjalanan hidupku saat ini. Atau mungkin bisa kusebut dengan pencapaian yang dengan susah payah kulesapkan beberapa bagian ceritanya namun sayangnya tak bisa kulakukan.

"Saya baca dari awal saja bang. Biar fokus."
Aku menggeleng. "Tunggu," kataku sambil berjalan menuju brankas buku di samping meja kamar . Kuambil kuncinya di dalam dompet lalu kubuka sambil tersenyum miring. Kuambil satu buah buku berjudul RAMA lalu kulempar pada Bima. Dia dengan sigap menangkapnya. "Baca di sana aja biar enak."

Bima tersenyum. "Makasih, bang ijin." Dia buka lembar demi lembar buku itu lalu berkata, "Ini kisahku Rama, seorang fetishism."

RAMA HALIM SAPUTRA

Rama Halim SaputraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang