BAB II

6.3K 94 2
                                    

Jadi, begini.

Ada satu alasan kenapa hanya dengan melihat gloves saja jantungku berdetak-detak santer. Mayoritas orang kemungkinan tidak akan paham tapi aku yakin sebagian kecil itu bisa paham penuh tentang jati diriku sekarang. Tidak hanya ketika melihat gloves, tetapi juga ketika melihat polisi lantas dengan segala atributnya yang menurutku teramat terlihat keren, di balut dengan sepatu tunggang yang mereka kenankan, hitam mengkilap memberi kesan gagah dan sempurna, yang paling membuatku jatungku berdegup kencang adalah Polisi kawal, dengan jaket kulitnya membuat mereka terlihat sempurna

Bahkan jika tidak mempunyai fetish pun, kurasa banyak orang setuju bahwa lelaki yang memakai seragam polisi lantas terutama itu akan kelihatan gagah, punya wibawa, di tambah pistol yang berada di samping pingganya, apalagi jika atributnya lengkap dari bawah sampai atas. Dari mulai sepatu tunggang, kemeja lengan panjang, manset di lengan, sarung tangan, kopel putih dan selempang. Lanjut menuju ke atas, jika polantas itu memakai kacamata hitam dan helm putih polet biru, hanya dengan membayangkannya saja aku sudah keblinger.

Pikiranku berjalan seperti kakiku saat ini. Tahu-tahu sudah sampai di depan pagar rumah Om Rendi. Sebenernya, Om Rendi pernah beberapa kali datang ke rumah. Aku tidak tahu sesering apa karena dulu aku sibuk menghabiskan waktu di kampus, namun sepertinya hubungan dia dengan Ayah itu hanya sebatas kolega.

Jika dilihat dari depan pagar, rumah Om Rendi menurutku sangat bagus. Tidak besar, ada rumput di depannya dan sedikit lahan untuk parkir, berwarna hitam putih dramatis, malah menurutku terkesan antik bergaya Tudor. Saat membuka gerbang rumahnya telingaku langsung mendengar decitan linu. Baiklah, rumah ini dulunya memang milik orang asing, namun kayaknya dibeli Om Rendi entah sejak kapan.

Memasuki pekarangan belakang rumahnya, rasa canggung langsung menyergap diriku. Rumah ini bisa dibilang elit sementara aku bukan berasal dari keluarga berada. Ada perbandingan status sosial di sini. Meskipun begitu, aku tetap berjalan, setelah sampai pintu kuketuk pelan berangsur-angsur mengeras karena pemilik rumah tak kunjung membukakan pintu.

Apa ada bel, ya?

Ternyata ada.

Baru saja aku hendak menekan bel yang terletak di samping pintu namun terhenti ketika dari arah belakang aku mendengar suara knalpot motor. Karena hari sudah malam, aku tidak bisa melihat dengan jelas siapa orang itu, ditambah lampu sorot motor itu menyilaukan mataku sehingga yang bisa kulakukan hanya menutup sebagian mataku dengan punggung tangan.

Motor pun terhenti di bawah kanopi. Saat lampu sorot itu mati, mataku membeliak kaget ketika melihat orang yang sedang melepas helm itu adalah seorang polisi, terlebih dia seorang lantas!! Dan yang paling mengejutkanku adalah polisi itu adalah Om Rendi! Bagaimana bisa!? Tenang, Rama, kau harus tenang! Namun tidak dengan jantungku, meskipun aku sudah bersikap sesantai mungkin dengan memberi senyuman kikuk saat tatapan kami mulai bertemu, tetap saja hatiku bergedap-degap, selama ini aku gak tau kalau Om Rendi ini adalah seorang Polisi, What kenapa saya baru tau, kalau dia seorang polisi lantas lagi.

"Rama?"

Senyumku mengembang, sedikit bahagia karena Om Rendi mengetahui namaku sekaligus berusaha agar terlihat santai.

Ah aku lupa, aku harus menyalaminya. "Selamat malam, Om. Habis pulang dinas?"tanyaku dengan gaya bodoh,

"Iya nih, habis ngawal. Kenapa gak masuk?" tanyanya.

Bukannya menjawab pertanyaan Om Rendi, aku malah fokus memperhatikan gloves yang sedang Om Rendi lepas dari tangannya dan memasukannya ke dalam jok motornya, sarung tangan putih full berwarna putih dengan tulisan Polisi Lalu lintas di punggung Sarung tangannya.

"Ram? Rama?"

"Ah, i-iya, Om? Ini Rama disuruh Ayah ke sini, katanya ada pekerjaan yang bisa Rama masuki ya?" Jawabku, yang kaget karena aku malah fokus ke Glovesnya.

Rama Halim SaputraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang