Bab I

8.2K 123 0
                                    


2011, akhir Maret
Rama, seorang fetishism.

Aaaarhhgghhh! Jangan dulu mikirin itu, untuk sekarang, aku harus fokus mencari kerja, kerja dan kerja. Buat apa ijazah yang kudapatkan secara susah payah jika selembaran kertas itu gak guna untuk mendongkrak kehidupanku ke arah yang lebih baik lagi? Ditambah Ayah terus-menerus menyuruhku mencari kerja.

Mau gimana lagi Ini memang sudah menjadi tugasku sebagai orang dewasa, bukan saatnya lagi untuk main-main. Dulu mungkin aku kerap menganggap mudah perkara hidup. Semisal menganut paham gimana nanti bukannya nanti bagaimana dengan cara nongkrong gak jelas sama teman-temanku. Saat masa jadi mahasiswa pun sama. Selain fokus sama tugas, sesekali aku males-malesan dan lebih memilih merokok daripada mikirin hal rumit semisal soal masa depan. Tapi sekarang,

"AAAARHHGGHHH!!!" Aku kembali berteriak ketika sudah sebulan penuh aku tidak menerima panggilan padahal cukup banyak aku melamar ke sana-sini.

Apa jangan-jangan karena gelar di ijazahku adalah S.Psi a.k.a sajarjana psikologi!?
Ingin rasanya aku berteriak lagi, ikut ribut menyaingi musik keras yang sedang terputar di kamarku emosi, namun urung ketika suara ketukan pintu sayup-sayup terdengar daun telingaku.
"Ngapain kamu teriak-teriak segala, Rama? Sini keluar, dipanggil Ayahmu tuh."

Deg.
Rasanya ada yang menyentil jantungku dengan kerikil. Kira-kira sudah 2 mingguan Ayah gak ngobrol soal pekerjaan, tapi aku tahu, Ayah selalu menanyakan hal itu sama Ibu. Semisal, 'Bu gimana si Rama? Dah ada panggilan?' Kalimat itu terus terlontar di mulut Ayah seusai dia pulang kerja.
Sebenernya bisa aja aku kerja jadi tukang cuci piring atau waiters di restoran pinggir jalan. Hanya saja, buat apa aku kuliah capek-capek, lama pula selama 4 taun kalo ujung-ujungnya kerja di tempat seperti itu. Bukan, tak ada niatan menghina, apalagi merendahkan profesi. Hanya saja, sekali lagi, buat apa? Buat apa aku menuntut ilmu di bidang psikis manusia jika ujung-ujungnya kerja di restoran.

Mendingan dulu setelah lulus SMA aku daftar kerja saja.
Kubiarkan musik metal tetap menggema di kamarku sementara aku berjalan ke ruang keluarga dengan perasaan gugup, sedikit kikuk. Inginnya sih bersikap biasa saja, tapi mengingat Ayah adalah sosok orang tua yang keras dan tegas, mau tidak mau nyaliku sedikit menciut. Apalagi ketika mata tajamnya langsung menghunus langsung ke bola mataku seperti lesatan anak panah.
 
"Duduk," katanya singkat, namun penuh dengan tekanan.
"Yah, gak nonton Persib? Hari ini main, kan?" Aku berusaha mencairkan suasana namun gagal. Ayah tetap bergeming, seakan-akan jika terjadi gempa atau tsunami pun dia bakal menatapku datar tanpa ekspresi.
Helaan napas berat terdengar di saat aku sibuk menatap meja.

"Rama, kamu denger Ayah, nak?"

"I-iya, Yah."

Jeda dan senyap yang berlangsung beberapa detik itu menggangguku. Napasku pun ikut tertahan, menunggu kalimat yang akan dilontarkan Ayah selanjutnya. "Kamu udah dewasa. Kapan kamu akan bekerja?"

Kalimat itu bernada menuntut, aku tahu itu. Namun mau gimana lagi? Selama berbulan-bulan ini aku tidak menerima panggilan. "Begini, Rama. Bukan apa-apa, tapi mau sampai kapan? Ayah sekarang bisa membiayai kamu, masih bisa cari uang supaya kamu bahkan adek kamu gak kelaparan, tapi tetep aja Ayah khawatir. Jika Ayah sudah gak ada gimana nanti? Ayah ingin melihat dengan mata Ayah sendiri kamu bekerja, nak. Terserah apapun itu."
Benar, bukan?

Apa yang dikatakan Ayah sebenernya gak salah. Aku tidak akan beralasan. Tapi ... nah nah nah, kata 'tapi' bukankah adalah sebuah alasan atau pembelaan?

"Iya, Yah. Belum ada panggilan. Besok Rama coba bikin lamaran lagi yang banyak siapa tahu—"

"Ini kalau kamu mau," tukas Ayah sambil meminum teh hangat di atas meja. "Paman kamu menawarkan kerja. Detailnya Ayah gak tau, tapi katanya datang saja ke rumah jika kamu tertarik." Sambil minum teh, Ayah menatapku lekat seakan tatapan itu mempunyai maksud lain.

Dari arah belakang aku mendengar suara Ibu berujar, "Udah Yah jangan dipaksa kalau Ramanya belum mau, nanti gak bener kita juga kan yang malu sama Rendi."
Aku tersenyum lebar sambil menatap Ibu, namun saat sudut mataku melihat Ayah, aku langsung mingkem. "Coba dulu aja, Ram. Sambil nunggu panggilan kerja apa salahnya? Toh kalo nanti ada panggilan kerja tinggal keluar saja, biar Ayan sama Ibu kamu yang menjelaskan ke Om kamu.

Itung-itung cari pengalaman kerja. Jika kamu masih belum dipanggil juga di tempat kerja yang kamu inginkan bikin saja lamaran yang banyak terus masukin lagi, yang terpenting kamu kerja dulu sekarang."
Senyum lebarku seketika mengerucut ketika kedua orang tuaku menatapku secara bersamaan. "Nah Ibu setuju tuh."
"Tapi lain ceritanya jika kamu masih pengen bermalas-malasan di kamar. Ya sudah, Ayah gak akan memaksa. terserah kamu saja."
 
Mendengar kata terserah dari mulut Ayah sedikit menohok hatiku. Itu artinya dia sudah angkat tangan, dia sudah malas memberitahuku lagi. Ditambah saat matanya memaling dari yang tadinya menatapku penuh pengharapan sementara sekarang penuh kekecewaan rasa tak tega dalam hatiku muncul ke permukaan.
Dengan senyum sedikit dipaksakan aku berkata, "Iya, Yah. Rama mau."
Ayah kembali memalingkan wajahnya ke arahku. "Beneran?"

"Iya."

Senyum tipisnya tergurat seraya bangkit menuju ruang nonton. "Kamu pergi ke rumah pamanmu sekarang, nak. Mumpung masih jam 8. Tanyakan detailnya hari ini, siapa tahu besok kamu sudah boleh bekerja."

Baiklah. Tidak ada pilihan lain.
Rumah pamanku tak jauh dengan rumahku. Untuk sampai ke sana jelas tidak akan memerlukan waktu lama. Biasanya aku menyebut pamanku dengan sebutan Om Rendi. Dia anak motor, sering berpergian jauh sama teman-temannya bahkan terakhir kali kalo gak salah dia habis pulang dari Pangandaran.

Kuketuk pintu sambil mendekap tubuhku sendiri karena dingin. Mana lupa pakai jaket lagi. "Assalamualaikum.

Om ini Rama Om! Adakah di rumah!?" ucapku agak keras.

"Masuk!" Sayup-sayup aku mendengar suara seruan.

Aku pun masuk ke dalam karena ternyata pintu rumah Om Rendi gak dikunci. Sialnya, saat aku melewati motor Om Rendi, sudut mataku melihat gloves motor di jok depan yang jelas sekali habis dia pakai. Dadaku tiba-tiba bergemuruh.

Semakin bergenderang seakan mau perang ketika aku memikirkan bagaimana aroma keringat Om Rendi di sarung tangan motor itu.

Cukup lama aku terdiam di sini. Sesekali menelan ludahku sendiri sambil berpikir keras. Ku-kuberanikan untuk mengambil sarung tangan motor itu dan membaui aromanya.
Kesalahan fatal.
Karena akibatnya ... bagaimana aku menahan gejolak perasaan ini?

Rama Halim SaputraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang