BAB V

3.8K 69 2
                                    


 
 
    Jam sudah menujukan pukul 23:00 Wib, lampu bohlam putih terang, sungguh menghantuiku saat ini, entah sudah berapa kali aku berusaha untuk terlelap, tetapi sungguh tidak bisa, aku berdiri, kemudian ku pandangi beberapa tempelan foto seseorang Keluarga yang bahagia tersenyum menatap kedepan, sepertinya suasana di studio foto yang terkenal di Kota Bandung, seperti biasa, Om Rendi nampak sangat menawan, dengan menggunakan pakaian Pdh polri dengan memeluk kedua anak kembar mereka serta mba naila yang memegang pundak Om Rendi. 

Hujan di luar dari  tadi belum sama sekali menampakan akan berhenti. Aku merebahkan badanku ke dalam kasur yang sangat empuk berwarna cream menyala. Bayanganku mulai mengingat kejadian yang tadi telah terjadi, saat aku kepergok akan mencium kaos kakinya Om Rendi.

“Anu om.. ini sangat bagus sekali” Jawabku gugup langsung berdiri dan memindahkan sepatu itu kedalam dan memindahkan nya ke ruang tamu, melewati tubuh Om Rendi yang hanya menggunakan Handuk putih. Badan Om Rendi, berhasil membuat si Joni menyundul kedepan, karena melihat tubuh sang lantas  Sixpax dan keras, di tambah dengan pundak yang tegap menambah semakin macho.

Ku berharap kejadian tadi, tidak membuat Om Rendi, berpikir macam-macam tentangku, apalagi mengetahui bahwa aku seorang fetish atribut Polri.

Aku melangkahkan kaki ke luar kamar berniat untuk menghisap rokok, sesaat di ruang keluarga ku tengok Om Rendi, sedang menonton Televisi dengan gaya terlentang memakai celana pendek dan kaos berwarna Biru terang dengan tulisan I love All. Ku langkahkan kaki mengendap pelan-pelan agar tidak terlihat oleh Laki-laki yang sedang menonton acara berita. Tetapi sayang, aku malah ketahuan dan di sapanya lah aku.

“Ram, duduk disini, bareng Om”. Sapa Om Rendi sambil mengambil bantal yang berada di belakang sofanya.

“Iya.. Om, jawabku gugup
Aku duduk dan dia terlentang tidur menghadap dengan ukuran layar 42 Inci tipis seperti televise jaman sekarang, gundukan jendolan yang berada di tengah tubuhnya berhasil membuatku sedikit salah fokus, ku memikirkan lamunanku yang tadi.

Iya yang barusan di teras depan, seandainya aku bisa melihat Penis Om Rendi mungkin saja si joni ini akan merasa puas, tetapi sayang lamunanaku buyar, gara-gara Lantas itu bertanya dengan nada keras.

“Oh.. iya Ram, usia kamu sama Om, Hanya beda 8 tahun saja ya?” Tanya Om Rendi sambil membetulkan posisi tidurnya.

“Iya.. Om, jawabku gugup kembali

“Panggil saja, abang ya, jangan Om, karena saya belum tua”. Dengan tersenyum simpul

“Iya Om Rendi”, eh Bang Rendi… aduhh agak sedikit kaku Om” . Jawabku

“tidak apa-apa dek, anggap saja saya abang mu ya”.

“Panggil nama saja bang, nda enak di panggil ade”

“tidak apa-apa gak boleh protes ya, biar akrab saja. Tegas Om Rendi.

Seperti biasa, Om Rendi selalu sangat tegas dalam bersikap, sehingga ketampanannya naik menjadi berkali-kali lipat. Eh tunggu dulu, maksudnya apa, biar tambah akrab ya. Apakah dia sama denganku, suka dengan sejenis, atau jangan-jangan dia bisex yang kanan dan kiri Ok, tetapi sepertinya tidak mungkin, aku berpikiran positif agar tak menjadi tanda tanyaku.

“Tadi cape ya Om, eh Bang”? Tanyaku

“Lumayan, badan semua pegal sekali, ingin rasanya abang ada yang mijitin, tetapi hujan begini siapa juga tukang pijit yang mau datang”. Jawabnya dengan memegang pundaknya.

Rama Halim SaputraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang