38. Status : Single

2.6K 403 25
                                    

Aku mengendarai motor matik milik mama dengan kecepatan sedang. Bibir dan jemariku masih sedikit gemetar pasca tangisku tadi.

"Ayu. Ayu belum juga paham? Kenapa Ayu gelisah, kenapa Ayu tiba-tiba ngebentak mama, kenapa Ayu tiba-tiba nangis begini. Ayu belum paham?"

Ucapan mama saat menenangkanku tadi terus terngiang di kepalaku.

"Ayu, anak mama, kenapa nak? Kamu kelihatan lelah. Lepas, Yu. Jangan lari lagi, terima semuanya ya. Mama lihat kamu begini rasanya ikut sedih.

"Mama nggak tahu gimana kalian bisa dekat. Yang mama lihat sekarang ini kamu mengekang diri dari segala apapun yang dikatakan hati kamu. Jangan jadi orang jahat, Yu. Apalagi jahat sama diri sendiri. Kamu nggak pernah sederajat lebih rendah dari siapapun, jadi kamu berhak bahagia juga.

"Aa kamu bilang kemungkinan kamu takut digunjingkan. Biarkan saja, manusia itu memang dasarnya begitu. Mau kamu berbuat benar atau salah, mau kamu bertingkah semaunya atau mengikuti kata mereka, pada akhirnya pasti ada yang akan dijadikan bahan omongan. Atuh kalau kamu ngikutin kata mereka, makan hati setiap hari yang ada.

"Ayu, anak mama nu geulis (anak mama yang cantik), sudah paham sekarang? Turuti kata hati kamu, mama kasih restu."

Gerbang panti terbuka lebar. Aku hendak masuk lebih dalam tapi sosok bunda dan Tama yang berdiri di teras membuatku langsung menarik rem. Aku berhenti di gerbang, mengamati kedua orang yang saat ini tengah berjabat tangan seolah sedang berpamitan.

Bunda sempat melihat ke arahku. Namun, beliau hanya tersenyum dan melambaikan tangan padaku. Tak lama kemudian Tama ikut menengok. Ia menyudahi kunjungannya saat itu dan berbalik setengah berlari menuju padaku.

"Nyabu yuk," ujar Tama sembari mengambil alih setir motor dan menyuruhku bergeser ke belakang.

Bak kerbau yang dicucuk hidungnya, aku menurut tanpa sanggahan apapun. Tak menunggu lama, kami langsung berlalu dari sana. Aku sempat menoleh ke belakang satu kali sebelum menyeberangi jalan. Bunda masih di sana dan menatap kami berdua.

Sepanjang perjalanan aku hanya diam. Tama juga tak berinisiatif mengajak bicara. Ia kemudikan motor matik ini dengan tenang, sesekali menyalip beberapa pengendara dengan lincah. Bandung di pagi hari punya udara yang cukup segar. Namun, sama dengan Jogja, sekali orang-orang merayapi jalanan ini, maka polusilah rajanya.

Seperti Jogja yang selalu digembar-gemborkan mengandung sejuta memori yang memikat pengunjungnya untuk selalu kembali, Bandung bagiku sudah seperti rumah singgah. Di kota ini aku terlahir dan mencicipi apa itu kehidupan. Hampir seumur hidupku kuhabiskan di kota ini walau terkadang aku merasa terasing. Seperti Jogja yang menyimpan sejuta cerita, Bandung punya kisahnya sendiri. Senyaman apapun Jogja atau kota lainnya, selalu ada magnet tak kasat mata yang mampu menarikku kembali ke Bandung.

Sama seperti mataku saat ini yang entah mengapa selalu tertarik melihat ke arah Tama. Padahal yang kupandang hanya belakang kepala dan pundaknya yang lebar. Aku terus memandang ke kepalanya seolah dengan demikian aku tahu apa yang ada di dalamnya. Sepuluh tahun lebih mengenal Tama sepertinya tidak cukup untuk benar-benar tahu apa yang ia pikirkan. Setelah kupikir kembali, aku mungkin sebenarnya tidak mengenal dia sama sekali.

"Kamu mau makan juga?" tanya Tama begitu kami tiba di sebelah gerobak bubur ayam di pinggir jalan.

Aku menggeleng. Tama turun dari motor dan aku mengikutinya. Tangannya lalu bergerak untuk melepaskan helm di kepalaku. Aku hanya diam, mengikuti Tama memesan satu porsi bubur ayam lalu duduk di kursi plastik tak jauh dari sana. Tak ada dari kami yang sepertinya berniat membuka percakapan. Tama makan dengan tenang.

"A!"

Aku menggeleng saat Tama menyodorkan sesendok bubur ke mulutku.

"A!" katanya lagi bersikukuh.

Status: It's ComplicatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang