Usai berdoa, aku mampir ke toko suvenir di sana. Tama menungguku di dekat gereja. Saat kuhampiri, ia tengah asyik melihat ke arah Gloria. Aku lantas berdiri di sebelah Tama dan aku mengikuti arah pandang Tama.
Suara Gloria merdu. Merdu sekali. Pantas saja dia dipilih untuk jadi song leader. Semua nada tampaknya begitu mudah ia lantunkan. Aku jadi ingat lagu Ave Maria yang biasa dimainkan untuk menandakan bahwa jam tutup perpustakaan sudah tiba. Aku berangan andai Gloria mau menyanyikannya, aku bersedia duduk tenang di hadapannya sambil menopangkan dagu. Mungkin aku tak akan bosan mendengarnya. Ini terdengar agak berlebihan tapi...suara Gloria bak Malaikat tengah melambungkan puji-pujian pada Sang Khalik.
Usai dari tempat itu, Tama berencana pergi ke pantai. Tama mengajak Gloria dan adik sepupunya ikut serta. Namun, Gloria menolak karena tadinya ia kemari bersama rombongan pengantin.
"Nggak enaklah. Rame-rame soalnya. Pakai bus pula. Kalau motoran, mungkin aku akan ikut. Lagipula, aku nggak bawa baju ganti, Tama."
"Baju ganti bisa beli di sana."
Gloria baru akan menjawab, tiba-tiba ibu berkebaya krem bersanggul lebar tadi lewat di dekat kami. Matanya menghunus tajam ke arah Gloria, entah apa salah Gloria padanya. Sementara Gloria hanya diam dan mengembuskan napas perlahan ketika ibu tadi sudah menjauh.
"You know what? Aku merasa ibu itu sedih karena nggak dapetin kamu sebagai mantunya alih-alih benci sama kamu. Dia yang nggak bisa move on dari kamu."
Gloria hanya diam menatap Tama. Ia tidak memberikan respon apapun pada ucapan Tama. Namun, dari ekspresi wajahnya, sepertinya Gloria tidak berniat menampik pernyataan itu.
"Seharusnya kamu izinkan aku ikut campur tadi. Aku bisa pura-pura jadi pacarmu. Atau jadi pacar asli juga nggak masalah. I'm good looking enough."
Aku dan Vindy agaknya memiliki pemikiran serupa. Kami berdua ternganga mendengar pernyataan Tama. Itu tadi...Tama sedang mengungkapkan perasaan 'kan?
Aku memandang bergantian antara Tama dan Gloria. Ekspresi Tama yang tampak begitu percaya diri dengan sedikit senyum miring di bibirnya dibalas Gloria dengan tatapan teduh dan senyum tipis. Aku jadi bertanya-tanya, apakah keduanya akan jadian di depan mataku?
"You know I have a boyfriend."
Jawaban Gloria barusan membuat mataku membola. Aku kira Gloria lajang.
"So what? Baru boyfriend 'kan? Bukan tunangan apalagi suami. I'm sure I'm much much better than him."
Gloria menghela napas lalu mengembuskannya secara perlahan. Bagaimana mungkin dia bisa setenang itu meladeni Tama yang sedang sinting begitu? Sudah tahu punya pacar, masih nekat digebet. Bahkan secara terang-terangan berkata akan merebutnya.
"Kamu pria baik, Tama. Aku tahu itu dan kamu juga."
"Itu sebabnya kita cocok 'kan? He can't give you happiness you deserve."
"Can you?"
Tama terdiam. Keduanya hanya saling memandang. Tak ada yang menunjukkan perubahan ekspresi berarti dari keduanya. Mungkin hanya aku dan Vindy saja yang berharap-harap cemas dengan percakapan mereka berdua.
Namun, tak lama kemudian Tama memejamkan matanya, memutuskan kontak mata dengan Gloria. Ia berdecak kesal. "Why? You didn't even stutter. Kamu kira aku bercanda?"
"No. The real question is apa kamu anggap aku sebuah lelucon? Kita berdua tahu keadaannya dan kamu--" Gloria menghela napas seolah telah kehabisan kata-kata. "We both are grown ups, Tama. Kamu tahu kalau aku tahu apa yang kulakukan. So, please-"
KAMU SEDANG MEMBACA
Status: It's Complicated
General FictionSepuluh tahun yang lalu Tama menikah. Bersamaan dengan itu mamanya memberi kabar ingin mengadopsi seorang anak karena kesepian ditinggal suami dan Tama yang menikah. Tama setuju. Beberapa tahun berselang, siapa yang menyangka Tama begitu cepat ditin...