5. Truth be Told

18.8K 2.4K 161
                                    

"Ta, mau kemana?"

Aku menoleh lalu berjalan menuju meja depan. Indah tengah men-scan buku-buku yang dikembalikan oleh mahasiswa.

"Texas, mbak. Mau nitip?"

Indah mencembikkan bibirnya. "Seneng banget sih kamu makan siang di sana. Berebutan juga sama mahasiswa."

Dalam hal ini, Texas bukan sebuah nama negara. Ini sebuah nama tempat makan. Bukan. Bukan Texas dari franchise yang itu juga. Ini sebuah warteg. Iya, warteg. Tempatnya kecil dan tersembunyi. Panas pula. Harus melewati gang kecil untuk tiba di sana. Gangnya begitu kecil hingga jika ada dua motor saling berpapasan, salah satunya harus mengalah mundur.

Aku tidak tahu ada apa dengan Jogja dan kulinernya. Yang kutahu, di kota ini tiap tempat makan yang 'istimewa' itu pasti tersembunyi. Ada di ujung gang-gang kecil yang sulit digapai. Namun tetap tak menurunkan popularitasnya!

Hampir tiap hari aku kemari. Bukan hanya karena tempatnya yang dekat dengan tempat kerja. Namun juga karena, "murah soalnya, mbak," kataku lalu tertawa.

"Ya udah deh, nggak jadi. Diet."

"Cie yang mau nikahan. Diet biar gaunnya muat ya, mbak?"

"YO!"

Aku berjenggit kaget ketika seruan itu terdengar telingaku. Bersamaan dengan sebuah lengan bertumpu di pundakku.

"Makan siang bareng yuk!" ucap si pemilik lengan tanpa rasa berdosa.

"Berat ih, bang!" Kulepas lengan David dari pundakku. Si empunya malah tersenyum lebar. "Mbak Indah diet. Aku mau ke Texas. Ikut bang?"

"Texas mulu! Meksiko sekali-kali," ucap David.

"Ish! Serahlah." Aku langsung melenggang pergi.

Tak lama berselang, ketika aku menuruni tangga, seseorang menjajari langkahku. David. Ia tersenyum lebar dan berjalan di sampingku.

Sesampainya di sana, benar kata Indah, tempatnya penuh mahasiswa. Harus antre dan berdesak-desakan. Tetap saja harga murah itu yang jadi juara! Aku sampai senyum-senyum sendiri saat membayar nasi, sayur dan tempe beserta es teh hanya dengan selembar lima ribu rupiah.

"Dikit amat makannya," ucap David begitu kami duduk. Saling berhadapan. Bersama mahasiswa lainnya. "Pantesan cuma habis goceng."

Aku tertawa. "Sedikit-banyak itu relatif. Segini tuh udah bikin aku kenyang, bang."

"Ngomong-ngomong, hari ini kamu banyak senyum lho, Ta. Lagi bahagia ya? Habis menang lotre? Bagi dong."

Aku tertawa. "Apaan sih. Memangnya nggak boleh kalau aku senyum-senyum? Senyum kan ibadah."

"Creepy. Kamu sadar kamu senyum sambil nata buku di rak?" David menyeringai tak percaya. Ia menyuapkan nasi, sayur dan ayam kecapnya lalu kerupuk.

"Mau mudik, bang. Makanya hepi terus bawaannya. Seminggu lagi kan aku pulang." Akupun mulai makan.

David menaikkan alisnya tanda mengerti. "Tapi tetep berangkat ke nikahannya Indah kan?"

Aku mengangguk. "Iya dong. Meski undangan belum disebar, mbak Indahnya udah ngewanti-wanti buat kosongin jadwal di hari itu."

"Dateng sama siapa? Nggak mungkin sendiri kan."

Aku membusungkan dadaku dengan bangga. "Sendiri dong. Memangnya bang Dep, takut dicengin." Aku terkekeh sebelum kembali berucap, "mayan, siapa tahu ketemu jodohnya di sana, bang."

Bersamaan dengan selesainya kalimatku, David tersedak es tehnya. Bahkan ada yang sampai keluar dari hidungnya. Aku langsung menyambar satu pak tisu kecil dari dalam pouch-ku, kuambil sekenanya berapa lembar lalu kuberikan padanya. Kuusap punggungnya dari seberang meja. Di detik ini kami berdua sudah menarik perhatian banyak orang.

Status: It's ComplicatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang